Wednesday, September 19, 2018

urf


METODE IJTIHAT
(URF DAN DZARIAH)
Makalah disusun guna memenuhi tugas
Mata kuliah: Ushul Fiqih
Dosen Pengampu: Masturi, Lc, M.Pd.

Disusun kelompok 8:
1.     Chandri vidya Sari     ( 1710610066 )
2.     Umi Istiqomah            ( 1710610067 )
3.     Anisa Tri Rahmawati ( 1710610068 )


PRODI TADRIS MATEMATIKA
JURUSAN TARBIYAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS
TAHUN 2018
                                                                                          BAB I
                                                                PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Konsep bahwa islam sebagai agama wahyu yang mempunyai doktrin-doktrin ajaran tertentu yang harus diimani, juga tidak melepaskan perhatiannya terhadap kondisi masyarakat tertentu. Kearifan lokal (hukum)islam tersebut ditunjukkan dengan beberapa ketentuan hukum dalam alquran yang merupakan pelestarian terhadap tradisi masyarakat pra-islam.
S.waqar Ahmad Husaini mengemukakan, bahwa agama islam sangan memperhatikan  tradisi dan konvensi masyarakat untuk dijadikan sumber bagi juris prudensi hukum islam dengan penyempurnaan dan batasan-batasan tertentu.prinsip demikian terus dijalankan oleh Nabi Muhammad saw.
Kebijakan bebijakan beliau yang berkaitan dengan hukum yang tertuang dalam sunnahnyabanyak mencerminkan kearifan beliau terhadap tradisi-tradisi para sahabat atau masyarakat. Sehingga sangatlah penting bagi umat muslim untuk mengetahui serta mengamalkan salah satu metode Ushul fiqih untuk meng-istimbath setiap permasalahan dalam kehidupan ini.

B.    Rumusan Masaah
1.     Apa pengertian ‘urf dan dzari’ah ?
2.     Apa saja macam-macam ‘urf dan dzari’ah ?
3.     Bagaimana kehujjahan ‘urf dan dzari’ah ?
C.    Tujuan
1.     Mengetahui Pengertian urf dan dzariah.
2.     Mengetahui macam-macam urf dan dzariah.
3.     Mengetahui kehujjahan urf dan dzariah.


                                               

                                                            BAB II
                                                     PEMBAHASAN
A.    Pengertian ‘Urf dan Dzari’ah
1.     ‘Urf
Menurut bahasa, urf berarti sesuatu yang dikenal.Menurut istilah ialah segala sesuatu yang telah dikenal dan menjadi kebiasaan manusia baik berupa ucapan, perbuatan atau tidak melakukan sesuatu. Sebagian ushuliyyin, seperti al-Nasafi dari kalangan hanafi, ibnu Abidin, al-Rahawi dalam Syarh kitab al-Mannar dan Ibnu wa al-Nazha’ir berpendapat bahwa urf sama dengan adat. Tidak ada perbedaan antara keduanya.Namun sebagian ushuliyyin, seperti ibnu human dan al-bazdawi membedakan antara adat dengan urf dalam membahas kedudukannya sebagai salah satu dalil untuk menetapkan hukum syara’.Adat didefinisikan sebagai sesuatu yang dikerjakan berulang-ulang tanpa adanya hubungan rasional.Sedangkan urf ialah kebiasaan mayoritas kaum, baik dalam perkataan atau perbuatan.Dalam pengertian ini adat lebih di banding urf.Adat mencakup seluruh jenis urf, tetapi tidak sebaliknya. Kebiasaan individu-individu atau kelompok tertentu dalam maka, berpakaian , tidur, dan sebagainya dinamakan adat, tetapi tidak disebut ‘urf. Tetapi, dari sisis yang lain, urf lebih umum dibanding adat, sebab adat hanya mencakup perbuatan, sedang urf mencakup perbuatan dan ucapan sekaligus.[1]
2.     Dzari’ah
Secara etimologi, dzari’ah berarti “jalan menuju kepada  sesuatu”. Ada juga yang mengkhususkan pengertian dzari’ah dengan “sesuatu yang membawa kepada yang dilarang dan mengandung kemudlaratan”, akan tetapi, Ibnu Qayyin Al-Jauziyah mengatakan bahwa pembahasan pengertian dzari’at kepada sesuatu yang dilarang saja tidak tetap, karena ada juga dzari’ah yang bertujuan kepada yang dianjurkan oleh sebab itu, menurutnya, pengertian dzari’at lebih baik dikemukakan yang bersifat umum, sehingga dzari’ah mengandung  dua pengertian, yaitu: yang dilarang, disebut dengan sad al-dzari’ah dan yang dituntut untuk dilaksanakan disebut fath al-dzari’ah.
Berikut ini pengertian dzari’ah menurut para ulama’, yaitu:
1.     Sad al-dzari’ah
Imam al-Syathibi mendefinisikan dzari’ah dengan: “melakukan sesuatu pekerjaan yang selama mengandung kemaslahatan untuk menuju kepada suatu kemafsyadatan.”
Maksutnya seseorang melakukan suatu pekerjaan yang pada dasarnya yang dibolehkan karena mengandung suatu kemaslahatan, tetapi tujuan yang akan dia capai berakhir pada suatu kemafsadatan.
Contohnya, pada dasarnya jual beli itu halal, karena jual beli merupakan salah satu sarana tolong menlong untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia.Seseorang membeli sebuah kendaraan berharga tigapuluh juta rupiah secara kredit adalah sah karena pihak penjual memberikan keringanan kepada pembeli untuk tidak segera melunasinya. Akan tetapi, bila kendaraan itu dijual kembali kepada penjual (pembeli kredit) dengan harga tunai sebesar limabelas juta rupiah,maka tujuan ini akan membawa kepada suatu kemafsadatan, karena seakan-akan dalam yang diperjual belikan tidak ada dan pedagang kendaraan itu tinggal menunggu keuntungan saja. Maksutnya pembeli saat membeli kendaraan mendapatkan uang sebesar limabelas juta rupiah tetapi ia harus melunasi hutangnya (kredit kendaraan itu) sebesar tigapuluh juta rupiah. Jual beli seperti ini dalam fiqih disebut dengan bai’u al ajal.Gambaran jual beli seperti ini menurut al-Syathibi, tidak lebih dari melipat gandakan hutang tanpa sebab.Karennya, perbuatan seperti ini dilarang.[2]
2.     Fath al-Dzari’ah
Fath al-Dzari’ah adalah suatu perbedaan yang dapat membawa kepada sesuatu yang dianjurkan, bahkan diwajibkan syara’. Misalnya, sholat jumat itu hukumnya wajib, maka berusaha untuk sampai kemasjid dengan meninggalkan segala aktifitas lain juga diwajibkan.
Tapi menurut wahbah al-Zuhaili hal tersebut bukanlah termasuk dalam dzari’ah, tetapi termasuk dalam kaidah  yang oleh jumhurul ulama’ ushul fiqih disebut sebagai muqaddimah (pendahuluan ) dari suatu pekerjaan . menunaikan yang wajib itu, juga diwajibkan, sesuai kaidah yang mengatakan
                                                                      مالايتم الوجب إلابه فهو واجب                     
Artinya:Apabila suatu kewajiban tergantung kepada sesuatu yang lain, maka suatu yang lain ini pun wajib dikerjakan.[3]

B.    Macam-macam Urf dan Dzari’ah
Dilihat dari segi obyeknya, urf dibagi dua, yaitu:
1.     Urf lafzdi qouli iyalah kebiasaan masyarakat dalam mempergunakan lafadz tertentu dalam mengungkapkan sesuatu, sehingga maksna ungkapan itulah yang dipahami dan terlintas difikiran masyarakat.
2.     Urf amali ialah kebiasaan masyarakat yang berkaitan dengan perbuatan biasa atau muamalah keperdataan.
Dari segi cakupannya Urf dibagi dua, yaitu:
1.     Urf’amm ialah kebiasaan tertentu yang berlaku secara luas diseluruh masyarakat dan seluruh daerah.
2.     Urf khash ialah kebiasaan yang berlaku didaerah dan masyarakat tertentu.
Dilihat dari segi diterima atau ditolaknya urf dibagi dua yaitu:
1.     Urf shahih, ialah urf yang tidak bertentangan dengan salah satu dalil syara’, tidak bertentangan dengan maslahah mu’tabarah dan tidak mendatangkan mafsadah yang nyata. Urf shahih adalah urf yang baik dan dapat diterima karena tidak bertentangan dengan syara’. Seperti mengadakan pertunangan sebelum akad nikah. Atau kebiasaan masyarakat bersalaman dengan teman sesama jenis kelamin kala bertemu.
2.     Urf fasid yaitu urf yang tidak baik dan tidak dapat diterima karena bertentangan dengan syara’. Seperti kebiasaan mengadakan sesajian. Atau sebagai kebiasaan para pedagang mengurangi timbangan.
Hukum urf yang shahih harus dipelihara dan dilestarikan sebagai bagian darihukum islam. Sedangkan urf fasid harus ditinggalkan karena bertentangan dengan dalil dan semangat hukum islam dalam membina masyarakat.[4]
Adapun dua pembagian dzari’ah yang dikemukakan para ulama’ushul fiqih.dzari’ah dilihat dari segi kualitas kemafsadatannya dan dzari’ah dilihat dari jenis kemafsyadatannya.
1.     Dzariah dilihat dari segi kualitas kemafsyadatannya.
Imam assyatibi Mengemukakan bahwa dari segi kualitas kemafsyadatannya, dzari’ah terbag menjadi empat macam:
a.      Perbuatan yang dilakukan itu membawa kepada kemafsyadatannya secara pasti (qath’i), misalnya seseorang menggali sumur didepan pintu rumah orang lain pada malam hari dan pemilik rumah tidak memilikinya. Bentuk memafsyadatan perbuatan ini dapat dipastikan, yaitu terjatuhnya pemilik rumah ke dalam sumur tersebut. Dan itu dapat dipastikan karena pemilik rumah tidak mengetahui adanya sumur didepan pintu rumahnya. Perbuatan seperti ini dilaang dan jika teryata pemilik rumah jatuh kesumur tersebut, maka penggali lobang dikenakan hukuman, karena perbuatan itu dilakukan dengan sengaja untuk mencelakakan orang lain.
b.     Perbuatan yang dilakukan itu boleh dilakukan karena jarang membawa kepada kemafsyadatan, misalnya menggali sumur ditempat yang biasanya tidak memberi mudhorot atau menjual sejenis makanan yang biasanya tidak memberi mudhorot kepada orang yang memakannya perbuatan seperti ini tetap pada hukum asalnya , yaitu mubah (boleh), karena yang dilarang itu adalah apabila  diduga keras bahwa perbuatan itu membawa kemafsyadatan , sedangkan kasus ini jarang terjadi kemafsyadatan.
c.      Perbuatan yang dilakukan itu biasanya atau besar kemungkinan membawa kepada kemafsyadatan. Misalnya, menjual senjata kepada musuh  atau menjual anggur kepada produsen minuman keras. Menjual senjata kepada musuh sangat mungkin senjataitu akan digunakan untuk perang atau paling tidak digunakan untuk membunuh. Demikian juga dengan penjual anggur  kepada produsen minuman keras sangat mungkin anggur yang dijual itu akan di proses menjadi  menjadi minuman keras, prbuatan seperti ini sangat dilarang karena dugaan keras (zat al-ghalib) bahwa perbuatan itu membawa padakemafsyadatan , sehingga dapat dijadikan patokan dalam menetapkan laranan terhadap perbuatan itu.
d.     Perbuatan itu pada dasarnya boleh dilakukan karena mengandung kemaslahatan tetapi memungkinkan juga perbuatan itu membawa kepada kemafsyadatan. Misalnya, kasus jual beli yang menjadi sarana bagi riba, ini dihukumi haram.
2.     Dzari’ah dari segi jenis kemafsyadatan yang ditimbulkan.
Menurut Ibnu qoyyim al-zauziyah,dzari;ah dari segi ini terbagi kepada,
a.      Perbuatan ini membantu kepada kemafsadatan seperti meminum miniman keras yang mengakibatkan mabuk, dan mabuk itu suatu kemafsyadatan.
b.     Perbuatan ini pada dasarnya perbuatan yang dibolehkan atau yang dianjurkan, tetapi dijadikan jalan untuk melakukan suatu perbuatan yang haram, baik dengan tujuan yang di sengaja atau tidak. Perbuatan yang mengandung tujuan disengaja  atau tidak . perbuatan yang mengandung tujuan di sengaja.misalnya, seseorang menikahi seorang wanita yang ditalak tiga suaminya dengan tujuan  agar suami pertama wanita itu bisa menikahinya kembali (nikah al-tahlil). Perbuatan yang dilakukan tanpa tujuan sejak semula adalah mencaci maki ibu bapak orang lain. Akibat mencaci maki orang tua orang lain, menyebabkan orang tuanya juga akan dicaci maki oleh orang tersebut.
Keduamacam dzari’ah ini ibnu qoyyim al-zauziyah dibagi lagi kepada:
a.      Yang kemaslahatan pekerjan itu lebih kuat dari kemafsyadatannya.
b.     Yang memafsyadatan lebih besar dari kemaslahatannya.

Kedua bentuk dzari’ah ini, menurutnya ada  empat bentuk yaitu:
a.      Yang secara sengaja ditunjukkan  untuk suatu kemafsyadatan, seperti meminum minuman keras. Pekerjaan seperti ini dilarang oleh syara’.
b.     Pekerjaan yang pada dasarnya diperbolehkan, tetapi ditunjukkan untuk melakukan suatu kemafsyadatan, seperti nikah al-taqlil, pekerja  seperti inipun dilarang oleh syara’
c.      Pekerjaan ini hukumnya boleh dan pelakunya tidak bertujuan untuk suatu kemafsadatan, tetapi biasanya akan berakibat suatukemafsadatan  , seperti mencaci maki sesembahan orang yang munafik yang diduka keras akan mengakibatkan munculnya cacian yang sama terhadap Allah SWT, pekerjaan seperti ini pun dilarang oleh syara’.
d.     Suatu pekerjaan yang pada dasarnya diperbolehkan,tetapi adakalanya perbuatan itu membawa kepada suatu kemafsyadatan, seperti melihat wanita yang sudah dipinang. Dalam kasus ini menurut Ibnu qoyyim kemaslahatannya lebih besar dari pada kemafsyadatannya. Oleh sebab itu, diperbolehkan sesuai kebutuhan.[5]

C.    Kehujjahan ‘Urf dan Dzari’ah
Para ulama’ memandang urf sebagai salah satu dalil untuk mengistimbatkan hukum islam. Hal ini dapat dilihat dari beberapa ucapan ulama, misalnya : (adat istiadat itu dapat dijadikan hukum ),(sesuatu yang telah dikenalkebaikannya oleh urf, itu seperti sesuatu yang di syariatkan), (sesuatu yang ditetapkan dengan urf itu seperti sesuatu yang ditetapkan  berdasarkan dalil syara’) dan lain-lain.[6]
Ada juga sebagian ulama’ yang memperkuat kehujjahan urf dengan dalil alquran dan hadits. Mereka mengemukakan ayat 199 surat Al-A’raf sebagai dalil yang berarti ‘jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakanyang ma’ruf, dan berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh.
Diantara hadis yang di dijadikan dalil kehujjahan urf adalah hadits yang diriwayatkan jama’ah selain tirmidzi yang menceritakan kisah pengaaduan hindun perihaal sifat bakhil suaminya Abu sofyan, dalam pemberian nafkah. Beliau bersabda:       
خذيمايكفيكوولدكبالمعروف 
Artinya: Ambillah (dari harta suamimu)kadar yang cukup untukmu dan anakmu menurut ukuran yang ma’ruf.”
Disamping dalil diatas, para ulama’ yang menggunakan urf sebagai dalil mengemukakan beberapa argument kehujjahan urf:
1.     Kita mendapati allah meresipir urf-urf orang arab yang dipandang baik. Seperti diakuinya beberapa system perdagangan dan perserikatan, baik berupa jual beli, mudharabah,ijarah,salam dan lain-lainnya.beberapa jenis transaksi tersebut menunjukkan bahwa allah melestarikan urf shahih yang sesuai dengan kemaslahatan manusia.
2.     Urf pada dasarnya berdasarkan pada salah satu dalil-dalil syara’ yang mu’tabarah, seperti ijma’, maslahah mursalah, dan sad al-zhara’. Kebolehan istihna’ telah menjadi ijma’ ulama’ dan ijma’ ulama’ adalah dalil yang mu’tabar
3.     Para ulama’ dari masa kemasa telah menggunakan ijma’ sebagai dalil atau hujjah hukum islam.[7]

Tentang kehujjahan saddu dzari’ah ada beberapa pendapat:
1.     Imam malik dan imam Ahmad Ibnu hambal dikenal sebagai dua orang imam yang memakai saddu Dzari’ah. Oleh karena itu kedua imam ini menganggap bahwa saddu dzariah dapat menjadi hujjah. Khususnya imam malik yang dikenal selalu menggunakan didalam menetapkan hukum-hukum syara’. Imam malik didalam mempergunakan saddu Dzariah sama dengan mempergumakan masalih mursalah dan urf wal adah.
2.     Ulama’ hanafiyyah , syafiiyah dan syiah menerima saddu dzariah sebagai dalil dalam masalah-masalah tertentu dan menolaknya dalam kasus-kasus lain.Suatu analisis ilmiah yang mendalam menyimpulkan dua dasar.
1)     Dzari’ah itu dijadikan pegangan apabila ia menyebabkan kerusakan yang disebutkan nash. Namun, dijadikan qiyas, apabila membawa kebolehan yang disebut nash. Wajib menutup dzari’ah padayang membawa kerusakan disebabkan kerusakan itu diketahui nash, begitu juga sebaliknya .maka dzari’ah disisni ditunjukkan untuk tuntuk kepada nash.
2)      Segala yang berhubungan dengan amanat menurut hukum syari’atnya tidak boleh dicegah karena kadang-kadang menimbulkan khianat. Bahaya yang diakibatkan oleh dzari’ah lebih banyak dari pada bahaya yang bisa dihindarkandengan meninggalkan dzari’ah itu.
Dengan demikian maka mukhallaf wajib benar-benar mengetahui akan bahaya menggunakan atau bahaya meninggalkan  dzari’ah. Merekapun harus menarjihkan diantara keduanya, kemudian harus mengambil mana yang rajih.[8]
D.    Syarat-syarat Urf
Oleh karena urf bukan merupakan dalil yang berdiri sendiri, melainkan tergantung oleh dalil asli hukum syara’, maka ada sejumlah persyaratan yang harus dipenuhi bagi pengguna urf tersebut, yaitu:
1.‘Urf tersebut harus benar-benar kebiasaan masyarakat.maksutnya kebiasaan orang tertentu dalam masyarakat tidak dapat dikatakan ‘urf.
2.Urf terebut harus masih berlaku pada saat hukum yang didasarkan pada ‘urf tersebut ditetapkan. Jika ‘urf telah berubah,  maka hukum tidak dapat dibangun diatas ‘urf tersebut.
3.Tidak terjadi kesepakatan untuk tidak memberlakukan ‘urf oleh pihak-pihak yang terlibat didalamnya.
4.‘Urf tersebut tidak bertentangan dengan nash atau prinsip-prinsip umum syari’ah.




                       
BAB III
                        PENUTUP
A.    Kesimpulan
Urf menurut bahasa ialah sesuatu yang dikenal.Menurut istilah ialah segala sesuatau yang telah dikenal dan menjadi kebiasaan manusia baik berupa ucapan, perbuatan atau tidak melakukan sesuatu.
Dzari’ah menurut etimologi iyalah “jalan menuju kepada sesuatu.”Ada yang menghususkan pengertian dzari’ah dengan “sesuatu yang membawa kepada yang dilarang dan mengandung kemudlaratan.
Macam-macam dzari’ah dilihat dari segi kualitas kemafsyadatannya dibagi menjadi empat yaitu: perbuatan yang dilakukaan itu membawa kepada kemafsadatan secaracpasti (qath’i), perbuatan yang dilakukan itu boleh dilakukan karena jarang membawa kepada kemafsadatan, perbuatan yang dilakukan itu biasanya atau besar kemungkinan membawa kepada kemafsadatan dan perbuatan itu pada dasarnya boleh dilakukan karena mengandung kemaslahatan tetapi  memungkinkan juga perbuatan itu membawa kapada kemafsadatan. Dzariah dari segi jenis kemafsadatan yang ditimbulkan dibagi menjadi dua yaitu: perbuatan itu memawa kepada suatu kemafsadatan seperti minum minuman keras yang mengakibatkan mabuk, dan mabuk itua suatu memafsadatan  dan perbuatan itu pada dasarnya perbuatan yang di perbolehkan  atau yang dianjurkan, tetapi dijadikan jalan untuk melakukan sesuatu perbuatan yang haram, baik dengan tujuan yang disengaja atau tidak.
B.    Saran
Kami menyadari bahwa pembuatan makalah ini masih banyak terdapat kekurangan. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun dari pembaca senantiasa pemakalah harapkan, yang nantinya dapat dijadikan sebagai usaha perbaikan lebih lanjut.




DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Sulaiman, Sumber Hukum Islam Permasalahan dan Fleksibilitasnya, (Jambi: Sinar Grafika, 1995).

Haroen, Nasrun, Ushul Fiqih I, (Jakarta: Logos Publishing House, 1996).
Suwarjin, Ushul Fiqih, (Ypgyakarta: teras, 2012).
Uman, Chaerul, Ushul Fiqih I, (Bandung: Pustaka Setia, 2002).




[1]Suwarjin, Ushul Fiqih, (Ypgyakarta: teras, 2012), hlm. 148-149.
[2]Nasrun Haroen, Ushul Fiqih I, (Jakarta: Logos Publishing House, 1996), hlm. 160-162.
[3]Nasrun Haroen, Op.Cit., hlm. 172.
[4]Chaerul Uman, Ushul Fiqih I, (Bandung: Pustaka Setia, 2002), hlm. 160-164.
[5]Nasrun Haroen, Op.Cit., hlm. 162-166.
[6]Sulaiman Abdullah, Sumber Hukum Islam Permasalahan dan Fleksibilitasnya, (Jambi: Sinar Grafika, 1995), hlm.79.
[7]Suwarjin, Op.Cit., hlm. 151-153.
[8]Chaerul Uman, Op.Cit., hlm. 190-193.

No comments:

Post a Comment