Wednesday, September 19, 2018


HADITS DHAIF
MAKALAH
Disusun Guna Memenuhi Salah Satu Tugas
Mata Kuliah : Ulumul Hadist
Dosen Pengampu : Moh. Irhas, M.Pd.I


Disusun Oleh :
Kelompok 7
1.     Rossyana Latifatul F.                         (1710610049)
2.     Lailatul Nikmah                                 (1710610058)
3.     Zuly Mar’atul Luthfiyah                    (1710610077)


PROGRAM STUDI TADRIS MATEMATIKA
JURUSAN TARBIYAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS
TAHUN AKADEMIK 2018
BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Ilmu hadist merupakan salah satu pilar-pilar tsaqofah islam yang memang sudah selayaknya dimiliki oleh setiap kaum muslim. Dewasa ini, begitu banyak opini umum yang berkembang yang mengatakan bahwa ilmu hadist hanya cukup dipelajari oleh para alfus sholeh yang memang benar-benar memiliki kredibilitas dalam ilmu agama sehingga stigma ini membuat sebagian kaum muslim merasa tidak harus untuk mempelajari ilmu hadist. Terlebih dengan keadaan saat ini dimana sangat bayak beredar hadits-hadits dho’if dan hadits palsu yang beredar di tengah-tengah kaum  muslim dan tentunya hal ini akan membuat kaum muslimin menjadi pelaku bid’ah. Jika kaum muslim masih memandang remeh tentang ilmu hadits ini maka tentu ini adalah suatu hal yang sangat berbahaya bagi aqidah kaumm muslimin dalam menjalankah sunnah rosul. Oleh karena itulah, perlunya kita sebagai umat muslim memilki pengetahuan yang luas tentang ilmu hadits.
            Seperti yang telah diketahui bahwa hadits dho’if adalah hadits yang lemah atau hadits yang tidak memilki syarat-syarat hadits shohih dan hadits hasan. Sebagian ulama berpendapat bahwa hadits dhiof ini tidak dapat dijadikan sebagai hujjah namun sebagian ulama yang lainnya juga ada yang berpendapat bahwa hadits dhoif ini dapat digunakan sebagai hujjah. Dengan adanya khilafiah atau perbedaan pendapat diantara para ulama,maka sangat perlulah kita sebagai umat muslim mengetahui bagaimana cara kita bersikap dalam menghadapi hadits dhoif tersebut karena hal ini akan langsung berkaitan dengan aqidah dan ibadah-ibadah kita kepada Allah SWT.

B.    Rumusan Masalah
1.          Apa pengertian Hadist Dha’if ?
2.          Apa sebab-sebab adanya Hadist Dha’if ?
3.          Apa Syarat Hadist Dha’if ?
4.          Apa macam-macam Hadist Dha’if ?
5.          Bagaimana pandangan Ulama dalam pengamalan Hadist Dha’if ?

C.    Tujuan
1.     Untuk mengetahui pengertian Hadist Dha’if.
2.     Untuk mengetahui sebab-sebab adanya Hadist Dha’if.
3.     Untuk mengetahui Syarat Hadist Dha’if.
4.     Untuk mengetahui Macam-macam Hadist dha’if.
5.     Untuk menjelaskan pandangan Ulama dalam pengamalan Hadist Dha’if.

D.    Manfaat
1.     Agar dapat mengetahui pengertian Hadist Dha’if.
2.     Agar dapat mengetahui sebab-sebab adanya Hadist Dha’if.
3.     Agar dapat mengetahui syarat Hadist Dha’if.
4.     Agar dapat mengetahui Macam-macam Hadist dha’if.
5.     Agar dapat menjelaskan pandangan Ulama dalam pengamalan Hadist Dha’if.












BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Hadits Dha’if
Kata dha’if menurut bahasa berasal dari kata dhuifun yang berarti lemah lawan dari kata qawiy yang berarti kuat. Sedangkan dha’if  berarti hadits yang tidak memenuhi hadits hasan. Hadits dhaif disebut juga hadits mardud (ditolak).[1]
            Kata dha’if menurut bahasa berarti ‘ajiz atau lemah sebagai lawan dari kata qawiy atau yang kuat.Adapun lawan dari kata shahih adalah kata dha’if yang berarti saqim atau yang sakit.Sebutan hadis dha’if secara bahasa berarti hadis yang lemah atau hadis yang kuat (Ranuwijaya dikutip Suyitno, 2008). Menurut Suyitno (2010) mengemukakan bahwa secara istilah ada beberapa definisi hadits dha’if yang dikemukakan oleh para ulama, seperti :
1.     Al-Nawawi mendefinisikan hadis dhaif sebagai:
ﻣَﺎﻟﻢﻳﻮﺟﺪﻓﻴﻪﺷﺮﻭﻃﺍﻟﺼﺤﺔﻭﻻﺷﺮﻭﻃﺍﻟﺤﺴﻦ
            Hadits yang di dalamnya tidak terdapat syarat-syarat hadits shahih dan syarat-syarat hadits hasan[2]
2.     Menurut Ibnu Shalah, hadis dhaif adalah:
ما لم يجمع صفات الصحيح ولاصفات الحسن
      Yang tidak terkumpul sifat-sifat shahih dan sifat-sifat hasan.”
            Karena sesuatu yang tidak memenuhi syarat-syarat hadis hasan sudah barang tentu tidak memenuhi syarat-syarat hadis shahih.[3]
Para ulama memberikan batasan bagi hadis dha’if:
الحديث الضعيف هو الحديث الذي لم يجمع صفات الحديث الصحيح ولا صفات الحديث
      “Hadis dha’if adalah hadis yang tidak menghimpun sifat-sifat hadis shahih dan juga tidak menghimpun sifat-sifat hadis hasan.”
3.     Menurut Nur Al-Din Itr, bahwa definisi yang paling baik, ialah:
ما فقد شرطا من شروط الحديث المقبول
      Hadis yang hilang salah satu syaratnya dari syarat-syarat hadis maqbul (hadis shahih atau yang hasan).”
            Jadi dapat diambil kesimpulan bahwa pengertian hadis dhaif adalah hadis yang lemah, yakni para ulama masih memiliki dugaan yang lemah, apakah hadis itu berasal dari Rasulullah SAW atau bukan. Hadis dhaif itu juga bukan saja tidak memenuhi syarat-syarat hadis shahih tetapi juga tidak memenuhi syarat-syarat hadis hasan.

B.    Sebab-sebab Adanya Hadits Dha’if
Para ahli hadis mengemukakan sebab-sebab tertolaknya hadis bisa dilihat dari dua jurusan, yaitu:
a.      Sanad Hadis
Dari segi sanad hadis, diperinci dalam dua bagian:
1.     Ada kecacatan pada para perawinya baik meliputi keadilannya maupun kedlabitannya, yaitu:
a)     Dusta. Hadis yang perawinya dusta disebut hadis maudhu’.
b)     Tertuduh dusta. Hadis yang rawinya tertuduh dusta disebut hadis matruk.
c)     Fasiq.
d)     Banyak salah.
e)     Lengah dalam menghafal. Disebut hadis munkar.
f)      Banyak wahamnya (terdapat illat dalam matan atau sanad). Disebut hadis mu’allal.
g)     Menyalahi ayat yang lebih tsiqqah atau dipercaya. Disebut hadis mudraj bila ada penambahan suatu sisipan. Disebut maqlub bila dipitarbalikkan. Disebut mudhtharib bila rawi-rawinya tertukar. Disebut mukharraf bila huruf-syakalnya tertukar. Disebut mushahhaf bila ada perubahan titik kata.
h)     Tidak diketahui identitasnya. Disebut hadis mubham.
i)      Penganut bid’ah.
j)      Tidak baik hafalannya. Disebut hadis syadz dan mukhtalith.
2.     Sanadnya Tidak Bersambung
a)     Gugur pada sanad pertama. Disebut hadis mu’allaq.
b)     Gugur pada sanad terakhir (shahabat). Disebut hadis mursal.
c)     Gugur dua orang rawi atau lebih secara berurutan. Disebut hadis mu’dhal.
d)     Jika rawi yang digugurkan tidak berturut-turut. Disebut hadis munqathi’.[4]
b.     Matan Hadis: Mauquf dan Maqthu’

C.    Syarat-syarat Hadits Dha’if
Ada enam Syarat Hadist Dha’if menurut as-Suyuthi yaitu :
1.     Perawinya tidak adil.
2.     Perawinya tidak dhabit artinya kuat daya hafalannya baik berupa ingatan maupun catatan.
3.     Sanadnya tidak muttashil, artinya bersambung smpai rasulullah.
4.     Tidak syadz, terdapat kerancuan antara para perawi yang satu dengan yang lain.
5.     Tidak ada illat baik terdapat sanad maupun  matan.
6.     Tidak mencelakakan.
Meskipun dilihat dari segi sanadnya suatu hadist dinilai Dha’if tetapi matannya belum tentu, maka seseorang peneliti harus menjelaskan letak kedha’ifannya. Boleh jadi kedha’ifannya tersebut akan terangkat oleh periwayatan lain, sehingga hadist tersebut naik derajatnya.[5]
D.    Macam-macam Hadits Dha’if
Adapun klasifikasi hadits dhaif yaitu :
1)     Pada Sanad
a.      Dha’if karena tidak bersambung Sanadnya
1)     Munqathi’
“Hadis yang gugur sanadnya disatu tempat atau lebih atau pada sanadnya disebutkan nama seseorang yang tidak dikenal namanya.” Contoh:
روى عبد الرزاق عن الثوري عن أبي إسحاق عن زيد بن يثيعٍ عن حذيفة مرفوعًا : إن وليتموها أبا بكرٍ فقويٌّ أمينٌ
Diriwayatkan Abdurrazzaq, dari ats-Tsauri, dari Abu Ishaq, dari Yazid bin Yutsai’, dari Hudzaifah secara marfu’, “Jika kalian mengangkat Abu Bakr, maka ia adalah seorang yang kuat lagi amanah.”
Riwayat ini telah hilang/gugur dalam sanadnya seorang perawi di pertengahan sanad, yaitu Syuraik, yang gugur diantara ats-Tsauri dan Abu Ishaq.
Ats-Tsauri tidak pernah mendengar dari Abu Ishaq secara langsung, dan hanya mendengarkannya dari Syuraik, dan Syuraik mendengarkannya dari Abu Ishaq.
Contoh lain hadits riwayat Ibnu Majah dan at-Tirmidzi yang gugur sanadnya berupa perawi sebelum sahabat:
كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلّٰى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ إِذَا دَخَلَ الْمَسْجِدَ قَالَ بِسْمِ اللهِ وَ الصَّلَاةُ وَ السَّلَامُ عَلَى رَسُوْلِ اللهِ, اَللّٰهُمَّ اغْفِرْ لِيْ ذُنُوْبِيْ وَ افْتَحْ لِيْ أَبْوَابَ رَحْمَتِكَ[6]
2)     Muallaq
      Hadis muallaq menurut bahasa, berarti hadis yang tergantung. Dari segi istilah, hadis muallaq adalah hadits yang gugur satu rawi atau lebih diawal sanad. Juga termasuk  hadis muallaq, bila semua rawinya digugurkan (tidak disebutkan).
Contoh: Bukhari berkata, kala Malik, dari Zuhri,dari Abu Salamah, dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah bersabda:
لاتقاضلوابين الأنبياء
Artinya:
“Jangan lah kamu melebihkan sebagian Nabi dan sebagian yang lain”. (HR. Bukhari)[7]
3)     Mursal
Hadis mursal, menurut bahasa berarti hadis yang terlepas, para ulama memberikan batasan hadits mursal adalah hadits yang gugur rawinya diakhir sanad, yang dimaksud dengan rawi diakhir sanad adalah rawi pada tingkatan sahabat. Jadi, hadits mursal adalah hadits yang dalam sanadnya tidak menyebutkan sahabat nabi, sebagai rawi yang seharusnya menerima langsung dari Rasulullah SAW. Seperti ketika tabi’in mengatakan: 
قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلّٰى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَذَا[8] 
a)     Mursal al-jali, yaitu tidak disebutkannya (gugur) nama sahabat tersebut dilakukan oleh tabi’in besar
b)     Mursal al-khafi, yaitu pengguguran nama sahabat dilakukan oleh tabi’in yang masih kecil.[9]
Contoh hadits mursal:
قَالَ رَسُوْلُ اللهِ ص.م : بَيْنَنَا وَبَيْنَ الْمُنَا فِقِيْنَ شُهُوْدُ الْعِشَاءِ وَالْصُبْحِ لَاَ يْسْتَطِيْعُوْنَ.
Artinya:”Rasulullah bersabda: “Antara kita dengan kaum munafik, ada batasan yaitu menghadiri jama’ah isya dan subuh mereka tidak sanggup menghadirinya.” (HR. Malik).
Hadits tersebut diriwayatkan Imam Malik dari Abdurrahman dari Haudalah, dari Said bin Mutsayyab. Siapa sahabat nabi yang meriwayatkan hadits itu kepada Said bin Mutsayyab, tidaklah disebutkan dalam sanad diatas.
Kebanyakan ulama memandang hadits mursal sebagai hadits dhaif dan tidak diterima sebagai hujjah, tetapi sebagian kecil ulama, termasuk Abu Hanifah, Malik bin Anas, dan Ahmad bin Hambal dapat menerima hadits mursal menjadi hujjah bin rawinya adil.
4)     Mudallas
            Hadits mudallas yaitu “hadits yang diriwayatkan menurut cara yang diperkirakan, bahwa hadits itu tiada bernoda. “
            Pada hadits mudallas ini rowi yang menggugurkan pernah bertemu dengan rawi yang digugurkan. Pengguguran itu dimaksudkan agar aib atau kelemahan suatu hadits dapat tertutupi. Orang yang melakukan tadlis(perbuatannya) disebut mudallis dan hadis nya disebut hadis mudallas. Hadits yang diriwayatkan Imam Hakim (dalam kitab Ma’rifat Ulumil Hadits halaman 130) dengan sanadnya sampai ke Ali bin Khasyram, dia berkata :
قال لنا ابن عيينة ، عن الزهري ، فقيل له : سمعته من الزهري ، فقال : لا ، ولا ممن سمعه من الزهري ، حدثني عبد الرزاق ، عن معمر ، عن الزهري"
Ibnu Uyainah telah berkata kepada kami : dari Zuhri. Kemudian Ibnu Uyainah ditanya : “Apakah anda mendengar langsung dari Zuhri?”. Dia menjawab : “Tidak, bahkan tidak mendengar dari orang yang dia mendengar langsung dari Zuhri, Abdurrozzaq menceritakan padaku dari Ma’mar dari Zuhri”. Pada contoh ini, Ibnu Uyainah telah menghilangkan (membuang) dua orang rawi antara dia dan Zuhri. 
5)     Mu’dhal
Hadis mu’dhal ialah :
“Hadits yang gugur 2 orang sanadnya atau lebih, secara berturut-turut.”
Dengan pengertian diatas, menunjukkan bahwa hadis mudal berbeda dengan hadis munqathi’. Pada hadis Mudhal, gugurnya 2 orang perawi terjadi secara berturut-turut, dan dimanapun saja. Contoh dari hadits mu’dhal yaitu hadits yang diriwayatkan oleh Al-Hakim dalam Ma’rifah Ulum Al-Hadits yang disandarkan kepada Al-Qa’nabi dari Mali telah sampai kepadanya bahwa Abu Hurairah berkata:
Rasulullah bersabda:
لِلْمَمْلُوكِ طَعَامُهُ وَكِسْوَتُهُ بالمعروف وَلا يُكَلَّفُ مِنَ الْعَمَلِ إِلا مَا يُطِيقُ[10]
Bagi budak mendapat makanan dan pakaian, ia tidak boleh dibebani kecuali pekerjaan yang sesuai dengan kemampuan”.
Hadits diatas mu’dhal karena digugurkan oleh dua orang perawi secara berturut-turut antara Malik dan Abu Hurairah, yaitu Muhammad bin Ajlan dan ayahnya. Hadits mu’dhal tergolong mardud (tertolak) karena tidak diketahui keadaan perawi yang digugurkan. Apakah mereka tergolong orang-orang yang diterima periwayatannya atau tidak. Demi keaslian suatu hadits, sanad yang terputus, dan yang digugurkan di antara para perawinya, maka tidak dapat diterima.
b.     Dha’if karena tiadanya syarat adil
1)     Hadis Maudhu’
Hadits maudu’ ialah hadits yang bukan hadits Rasulullah Saw tapi disandarkan kepada beliau oleh orang secara dusta dan sengaja atau secara keliru tanpa sengaja, Contoh:
لايدخل ولد الزنا الجنة الي سبع ابتاء
Artinya:
“Anak jin tidak masuk surga hingga tujuh turunan”.
2)     Hadis Matruk
Hadits ini, menurut bahasa berarti hadits yang ditinggalkan /dibuang. Para ulama memberikan batasan bahwa hadits matruk adalah hadits yang diriwayatkan oleh orang-orang yang pernah dituduh berdusta    (baik berkenaan dengan hadits ataupun mengenai urusan lain ), atau pernah melakukan maksiat, lalai, atau banyak wahamnya, seperti seperti riwayat Umar bin Syamr, dari Jabir, dari Harits, dari ‘Ali RA. ‘Amr di sini terkena sifat matrukul hadits.[11] Contoh hadits matruk :
“Rasulullah Saw bersabda, sekiranya tidak ada wanita, tentu Allah dita’ati dengan sungguh-sungguh”.
Hadits tersebut diriwayatkan oleh Ya’qub bin Sufyan bin ‘Ashim dengan sanad yang terdiri dari serentetan rawi-rawi, seperti : Muhammad bin ‘Imran, ‘Isa bin Ziyad, ‘Abdur Rahim bin Zaid dan ayahnya, Said bin mutstayyab, dan Umar bin Khaththab. Diantara nama-nama dalam sanad tersebut, ternyata Abdur Rahim dan ayahnya pernah tertuduh berdusta. Oleh karena itu, hadits tersebut ditinggalkan / dibuang.
3)     Hadis Munkar
     Hadist munkar, secara bahasa berarti hadits yang diingkari atau tidak dikenal. Batasan yang diberikan para ‘ulama bahwa hadits munkar ialah hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang lemah dan menyalahi perawi yang kuat, Contoh :
مَنْ أَقَامَ الصَّلَاةَ وَ أَتَى الزَّكَاةَ وَ حَجَّ وَ صَامَ وَ قَرَى الضَّيْفَ, دَخَلَ الجَنَّةَ
 “Barangsiapa yang mendirikan shalat, membayarkan zakat, mengerjakan haji, dan menghormati tamu, niscaya masuk surga. ( H.R Riwayat Abu Hatim )”
Ibnu Abi Hatim berkata: Hadits ini munkar, karena terdapat rawi yang kredibel yaitu Abi Ishaq dan rawi yang kurang kredibel yaitu Hubaib.[12]
Contoh lain: Hadits yang diriwayatkan oleh An-Nasa’i dan Ibnu Majah, dari riwayat Abi Zukair Yahya bin Muhammad bin Qais, dari Hisyam bin ‘Urwah, dari ayahnya, dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha secara marfu’:
كلوا البلح بالتمر فإن ابن آدم إذا أكله غضب الشيطان
Artinya: “Makanlah balah (kurma mentah) dengan tamr (kurma matang), karena syaithan akan marah jika anak Adam memakannya.”
An-Nasa’i berkata: “Ini hadits munkar. Abu Zukair meriwayatkannya secara sendirian. Dia seorang syaikh yang shalih. Imam Muslim meriwayatkannya sebagai mutaba’at. Hanya saja ia tidak sampai pada derajat rawi yang dapat meriwayatkan hadits secara sendirian.”
c.      Dha’if karena Tiadanya Dhabit
1)     Hadits mudraj
Hadits mudraj adalah hadits yang menampilkan (redaksi) tambahan, padahal bukan (bagian dari) hadits.
Contoh:
قال رسولوالله صلي الله عليه وسلم: انا زعيم، والزعيم الحميل لمن أمن بي واسلم وجاهدفي سبيل الله يبيت في ريض الجنة (رواه النسائ)
Artinya:
“Rasulullah Saw bersabda: saya itu adalah Zaim dan Zaim itu adalah penanggungjawab dari orang yang beriman kepadaku, taat dan berjuang di jalan Allah, dia bertempat tinggal di dalam surga.” (HR. Nasai)
2)     Hadits maqlub
Hadits maqlub yaitu hadits yang lafaz matannya tertukar pada salah seorang perawi pada salah seorang perawi atau seseorang pada sanasnya. Kemudian didahulukan dalam penyebutannya, yang seharusnya disebut belakangan atau mengakhirkann penyebutannya, yang seharusnya di dahulukan atau dengan diletakkannya sesuatu pada tempat yang lain. seperti hadits riwayat Hammad an-Nashiby, dari al-A’masy, dari Abi Shalih, dari Abi Hurairah (Hadits Marfu’):
إِذَا لَقِيْتُمُ الْمُشْرِكِيْنَ فِيْ طَرِيْقٍ فَلَا تَبْدَأُوْهُمْ بِالسَّلَامِ. [13]
Hadits ini maqlub, karena Hammad mengganti Suhail bin Abi Shalih dengan al-A’masy. Contoh lain:
إذا سجد احدكم فلا يبرك كمايبرك البعير وليضع يديه قبل وكبته
Artinya:
“ Apabila salah seorang kamu sujud, jangan menderum seperti menderumnya seekor unta, melainkan hendaknya meletakkan kedua tangannya sebelum meletakan kedua lututnya,” (HR. Al- Turmudji)
3)     Hadits mudhtharib
Hadits mudhtharib adalah hadits yang diriwayatkan dengan periwayatannya yang berbeda-beda padahal berasal dari satu perawi (yang meriwayatkan), dua atau lebih atau dari dua perawi atau lebih yang berdekatan(dan tidak bisa ditarjih). Contoh:
عَنْ مَعْقِلِ بْنِ يَسَارٍ قَالَ قَالَ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- « اقْرَءُوا (يس) عَلَى مَوْتَاكُمْ ».
Dari Ma’qil bin Yasar radhiyallahu ‘anhu, Nabi SAW bersabda, “Bacakanlah surat Yasin pada orang yang hampir mati di antara kalian.” (HR. Abu Daud, no. 3121; Ibnu Majah, no. 1448; An-Nasa’i dalam ‘Amal Al-Yaum wa Al-Lailah, no. 1074. Kata Ibnu Hajar dalam Bulugh Al-Maram, no. 538, hadits ini dianggap shahih oleh Ibnu Hibban. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini dha’if)
4)     Hadits mushahhaf dan hadits muharraf
Hadits mushahhaf adalah hadits yang perbedaannya (dengan hadits riwayat lain) terjadi karena perubahan titik kata, sedangkan bentuk tulisannya tidak berubah. Sedangkan hadis muharraf adalah hadits yang perbedaannya terjadi disebabkan karena perubahan syakal kata dengan masih tetapnya bentuk tulisannya.
Contoh hadis mushahhaf:
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْر
Abu Bakar Ash-Shuli mentashif, dia berkata :
مَنْ صَامَ َمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ شيئا مِنْ شَوَّالٍ كَانَ كَصِيَامِ مَنْ صَا الدَّهْرِ
Dia mentashhif kata “
ستا” menjadi “شيئا” [14]
Contoh hadis muharraf misalnya hadits dari Jabir r.a:
و حَدَّثَنِي بِشْرُ بْنُ خَالِدٍ حَدَّثَنَا مُحَمَّدٌ يَعْنِي ابْنَ جَعْفَرٍ عَنْ شُعْبَةَ قَالَ سَمِعْتُ سُلَيْمَانَ قَالَ سَمِعْتُ أَبَا سُفْيَانَ قَالَ سَمِعْتُ جَابِرَ بْنَ عَبْدِ اللَّهِ قَال رُمِيَ أُبَيٌّ يَوْمَ الْأَحْزَابِ عَلَى أَكْحَلِهِ فَكَوَاهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ[15]
Artinya:”Ubai (bin Ka’ab) telah terkena panah pada perang Ahzab mengenai lengannya,lalu Rasulullah nengobatinya dengan besi hangat.”
Ghandar mentahrif hadits ini tersebut dengan Abiyang artinya ayahku, yang sesungguhnya adalah Ubay bin ka’ab. Kalau pentahrifan Ghandar ini diterima, berarti yang terpanah adalah ayah Jabir. Padahal ayah Jabir telah meninggal pada perang Uhud, yang terjadi sebelum perang Ahzab.
d.     Dha’if karena kejanggalan dan kecacatan
1.     Hadits syadz
Hadits syadz adalah hadits yang diriwayatkan oleh orang maqbul, akan tetapi bertentangan (matannya) dengan periwayatannya dari orang yang kualitasnya lebih utama.
      Contoh: hadits yang diriwayatkan oleh muslim, dari Nubaisyah Al-Hudzali, dia berkata, Rasulullah bersabda:
ايام التشريق ايام اكل وشرب
Artinya:
Hari-hari tasyrik adalah hari-hari makan dan minum”[16]
Contoh lain:
أَنَّ رَجُلاً تُوُفِّيَ عَلَى عَهْدِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ وَ لَمْ يَدَعْ وَارِثًا إِلاَّ مَوْلَى أَعْتَقَهُ, فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ: هَلْ لَهُ أَحَدٌ؟ فَقَالُوْا لاَ, إِلاَّ غُلَامٌ أَعْتَقَهُ, فَجَعَلَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ مِيْرَاثَهُ
       Ada dua jalur periwayatan mengenai hadits tersebut, yaitu:
a) Jalur periwayatan at-Tirmidzi yang bersanad Ibnu Uyainah, dari ‘Amr bin Dinar, dari ‘Ausajah, dari Ibnu Abbas. Jalur ini merupakan matarantai sanad hadits mahfudh, sebab di samping memiliki perawi-perawi yang tsiqah dan juga mempunyai muttabi’, yaitu Ibnu Juraij dan lainnya.
b) Jalur periwayatan Ashab as-Sunan, dapat dilihat dari dua periwayatan, yaitu:
a) Dari Hammad, dari ‘Amr bin Dinnar, dari ‘Ausajah adalah hadits mursal, sebab ‘Ausajah meriwayatkan hadits ini tanpa melalui sahabat Ibnu Abbas.
b) Dari Hammad bin Zaid (termasuk muhaddits tsiqqah), tetapi dalam periwayatannya berlawanan dengan periwayatan Ibnu Uyainah yang lebih utama, sebab sanadnya muttashil dan ada muttabi’nya, maka dari itu hadits at-Tirmidzi melalui jalur periwayatan Ibnu Uyainah disebut hadits mahfudh.
Dari kenyataan di atas, periwayatan at-Tirmidzi melalui sanad Ibnu Uyainah yang lebih utama, disebut hadits mahfudh, sedang yang melalui Ashab as-Sunnah disebut syadz.[17]
2.     Hadits mu’allal
Hadits mu’allal adalah hadits yang diketahui ‘illatnya setelah dilakukan penelitian dan penyelidikan meskipun pada lahirnya telah tampak selamat(dari cacat). Contoh:
قال رسولوالله صلي الله عليه وسلم : البيعان بالخيار مالم يتفرفا
Artinya:
“Rasulullah bersabda: penjual dan pembeli boleh berikhtiar, selama mereka masih belum berpisah”
2)     Pada Matan
a.      Mauquf
Hadis Mauquf; segala sesuatu yang disandarkan kepada seorang shahabat, baik perkataan, pebuatan, atau persetujuannya, bersambung sanadnya maupun terputus. Sandaran ini hanya sampai kepada shahabat, tidak sampai kepada Rasulullah.[18]Seperti contoh:
يَقُوْلُ: إِذَا أَمْسَيْتَ فَلاَ تَنْتَظِرِ الصَّبَاحَ وَ إِذَا أَصْبَحْتَ فَلاَ تَنْتَظِرِ الْمَسَاءَ وَ خُذْ مِنْ صِحَّتِكَ لِمَرَضِكَ وَ مِنْ حَيَاتِكَ لِمَوْتِكَ
Hadits riwayat Bukhari tersebut adalah hadits mauquf, sebab matannya berasal dari perkataan Ibnu ‘Umar dan tidak ada petunjuk yang mengatakan adalah Nabi SAW.[19]
b.     Maqthu’
Hadis Maqthu’; segala sesuatu yang disandarkan kepada tabi’in maupun orang sesudahnya, baik perkataan, pebuatan, atau persetujuannya, bersambung sanadnya maupun terputus.[20]Seperti perkataan Haram bin Jubair (seorang tabi’in besar) yaitu:
 اَلْمُؤْمِنُ إِذَا عَرَفَ رَبَّهُ عَزَّ وَ جَلَّ أَحَبَّهُ وَ إِذَا أَحَبَّهُ أَقْبَلَ إِلَيْهِ[21]

E.    Pandangan Ulama dalam pengamalan Hadist Dha’if
            Hadits dha’if termasuk hadits yang dihukumi mardud (ditolaknya hujjah darinya) memandang hukum aslinya.[22] Hadist dha’if baru dapat dijadikan hujjah oleh ulama-ulama tertentu apabila telah memenuhi syarat-syarat yang cukup ketat.Penolakan penggunaan hadist dha’if itu sangat sulit dipertanggung jawabkan berasal dari Nabi baik dari sisi sanad dan atau matannya. Karena bermuara dari perbedaan persepsi dalam penilaian suatu hadist, maka muncul perbedaan ulama dalam pengamalan hadist dha’if itu.
            Muhammad Ajjaj al-Khatib menyebut ada tiga kelompok dalam menyikapi hadist dha’if, yaitu:
1.     Tidak memakai hadist dha’if secara mutlak, baik untuk fadhail al-a’mal ataupun dalam bidang hukum, yang dipelopori oleh ibn sayid al-Nas, Abu Bakar ibn al-‘Arabi, Bukhari, Muslim, dan Ibn Hazm.
2.     Mengamalkan hadist Dha’if secara mutlak, dengan alasan hadis dha’if itu lebih baik bila dibanding dengan pendapat manusia, yang dipeloori oleh Abu Daud dan Ahmad ibn Hanbal, Abdurrahman al-Mahdi dan Abdullah ibn Mubarak.
3.     Mengamalkan hadist dha’if untuk fadha’il al-a’mal dan nasehat kebajikan dengan syarat-syarat tertentu.     
         Mayoritas ulama yang mengamalkan hadist dha’if baik yang menerima secara mutlak maupun yang menentukan berbagai syarat untuk fadha’il al-a’mal (keutamaan suatu amaliah), targhib (kabar gembira) dan tarhib (suatu ancaman) umumnya berasarkan pada suatu pendapat dari Ahmad ibn Hanbal; bila kami meriwayatkan tentang halal dan haram maka kami perketat persyaratannya, sedangkan riwayat untuk fadhail dan yang sejenisnya maka akan kami peringan.
         Selain itu mereka juga berpendapat, bagaimana dla’ifnya suatu hadist dalam  masalah tertentu , maka itulah yang terkuat selama tidak ada hadist sahih lainnya yang mengingkari dalam maslah itu, juga bagaimanapun lemahnya suatu hadist (selain hadist palsu) akan dapat kemungkinannya dinisbatkan kepada Nabi, lain halnya dengan hasil ijtihad (pemikiran) seseorang yang tidak akan dapat dinisbatkan kepada Nabi.
         Sementara itu bagi ulama yang menolak mengamalkan hadist dha’if yang dimaksud ibn Hanbal itu adalah hadist yang berstatus hasan. Ibn Taimiyyah dan ibn al-Qayyin menafsirkan ucapan Ahmad ibn Hanbal tentang pengamalan hadist dla’if itu maksudnya adalah hadist hasan seperti klasifikasi hadis menurut imam Tirmudzi.
         Inti dari perbedaan pendapat itu adalah sikap kehati-hatian dalam pengamalan ibadah, apakah benar-benar bersumber dari Rasulullah atau tidak. Jalan pemecahannya, hendaknya kita berusaha mengamalkan hadist yang benar-benar berasal dari Nabi, meskipun statusnya Dha’if.[23]











BAB III
PENUTUP

A.     Simpulan
Hadits dhaif adalah hadits yang tidak memenuhi syarat/ kriteria hadits shahih atau hasan.
Para ahli hadis mengemukakan sebab-sebab tertilaknya hadis bisa dilihat dari dua jurusan, yaitu:
b)     Sanad Hadis
c)     Matan Hadis
Ada enam Syarat Hadist Dla’if menurut as-Suyuthi yaitu :
1.     Perawinya tidak adil.
2.     Perawinya tidak dhabit artinya kuat daya hafalannya baik berupa ingatan maupun catatan.
3.     Sanadnya tidak muttashil, artinya bersambung smpai rasulullah.
4.     Tidak syadz, terdapat kerancuan antara para perawi yang satu dengan yang lain.
5.     Tidak ada illat baik terdapat sanad maupun  matan.
6.     Tidak mencelakakan.
Macam-macam Hadis Dho’if dibedakan dari segi  sanad maupun matannya:
1)     Segi Sanad:
a.      Dha’if karena Tidak bersambung Sanadnya
b.     Dha’if karena Tiadanya syarat adil
c.      Dha’if karena Tiadanya Dhabit
d.     Dha’if karena Kejanggalan dan Kecacatan
2)     Segi Matan
a.      Mauquf
b.     Maqthu’
      Hadist dha’if baru dapat dijadikan hujjah oleh ulama-ulama tertentu apabila telah memenuhi syarat-syarat yang cukup ketat. Penolakan penggunaan hadist dla’if itu sangat sulit dipertanggung jawabkan berasal dari Nabi baik dari sisi sanad dan atau matannya. Karena bermuara dari perbedaan persepsi dalam penilaian suatu hadist, maka muncul perbedaan ulama dalam pengamalan hadist dha’if itu.

B.     Saran
Dalam memahami makalah yang sangat jauh kesempurnaan ini yang Alhamdulillah telah selesai kami susun, mudah-mudahan bisa memberikan sedikit pengetahuan tentang hadits dhaif. Untuk perbaikan makalah kami ini agar kiranya para pembacanya bisa memberikan koreksi terhadap makalah yang sangat sederhana ini.



























DAFTAR PUSTAKA

Ahmad, Wafie . Hadis Marfu’, Mauquf, dan Maqthu’, online at:             https://wafieahmad.wordpress.com/2014/06/28/hadis-marfu-mauquf-dan-maqthu/             pada tanggal 3 Mei 2018 pukul 18.56
Alwi Al-Maliki, Muhammad. 2006. Ilmu Ushul Hadits . Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
al-Maliki, Muhammad Alawi. 2016. al-Minhal al-Lathif. Dar ar-Rahmah al-Islamiyah.
al-Mas’udi, Hasan. Minhah al-Mughits. Surabaya: Andalas.
Anggraini, Nur Ayu, dkk. 2014. Hadits Dha’if . Palembang: IAIN Raden Fatah.
Anwar Br, Moh. 1981. Mustalahul Hadis. Surabaya: Aliklas.
Hadi, Saeful. Ulumul Hadits. Kulon Progo: Sabda Media.
Mudzakir, Muhammad Ahmad. 2000.Ulumul Hadits. Bandung: CV. Pustaka Setia.
Muhammad, Nuruddin . Pengantar Umum Studi Ulumul Hadits, Jurnal Kajian Filosofis,             3:23.pdf
Suparta, Munzier. 2002. Ilmu Hadis. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Suryadilaga, M. Alfatih, dkk. 2015.Ulumul Hadis. Yogyakarta: Kalimedia.
Zein Muhammad, Ma’shum. 2008. Ulumul Hadits & Musthalah Hadits. Jombang: Darul             Hikmah.











[1]Nur Ayu Anggraini dkk, Hadits Dha’if (Palembang: IAIN Raden Fatah, 2014), hlm. 3.
[2]Munzier Suparta,  Ilmu Hadis(Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2002), hlm. 150.
[3]Moh. Anwar Br, Mustalahul Hadis(Surabaya: Aliklas, 1981), hlm. 93.
[4]Drs. Munzier Suparta, M.A., Op.Cit.,hlm.151.
[5]Nuruddin Muhammad, Pengantar Umum Studi Ulumul Hadits, Jurnal Kajian Filosofis, 3:23.pdf

[6] M. Ma’shum Zein, Ulumul Hadits & Musthalah Hadits, Cet. I, (Jombang: Darul Hikmah, 2008), hlm.128-129
[7] Muhammad Ahmad, dkk. Ulumul Hadits (Bandung: CV. Pustaka setia,2000), hlm. 27.
[8] Muhammad ‘Alawi al-Maliki, al-Minhal al-Lathif, (Daar al-Rahmah al-Islamiyah), hlm. 82
[9] Drs. Munzier Suparta, M.A., Op.Cit.,hlm.155.
[10] Op. Cit, hlm. 131.
[11] Ibid. , hlm. 114-116
[12] Muhammad ‘Alawi al-Maliki, al-Minhal al-Lathif, (Dar ar-Rahmah), hlm. 93-94
[13] Mahmud ath-Thahhan, Taisir Musthalah al-Hadits, Cet. VII, (Surabaya: al-Hidayah), hlm. 107-108
[14] Hasan al-Mas’udi, Minhah al-Mughits, (Surabaya: Andalas),  hlm. 53-54
[15] Maktabah Syamilah, Sahih bukhori juz: 11 hlm: 216
[16] Muhammad Alwi Al-Maliki, Ilmu Ushul Hadits(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), hlm. 114

[17] M. Ma’shum Zein, Ulumul Hadits & Musthalah Hadits, Cet. I, (Jombang: Darul Hikmah, 2008), Hlm. 161-162
[18]Wafie Ahmad, Hadis Marfu’, Mauquf, dan Maqthu’, online at: https://wafieahmad.wordpress.com/2014/06/28/hadis-marfu-mauquf-dan-maqthu/pada tanggal 3 Mei 2018 pukul 18.56
[19] Op. Cit., hlm.168-169
[20] Ibid.                                                                   
[21] Ibid.,. hlm. 169-170
[22] Saeful Hadi, Ulumul Hadits, Cet. XII, (Kulon Progo: Sabda Media), hlm. 172
[23] M. Alfatih Suryadilaga, dkk, Ulumul Hadis (Yogyakarta: Kalimedia, 2015), hlm. 280-282.

No comments:

Post a Comment