HADITS
DHA’IF
MAKALAH
Disusun
Guna Memenuhi Salah Satu Tugas
Mata Kuliah : Ulumul Hadist
Dosen Pengampu : Moh. Irhas, M.Pd.I
Disusun Oleh :
Kelompok 7
1.
Rossyana Latifatul F. (1710610049)
2.
Lailatul Nikmah (1710610058)
3.
Zuly Mar’atul Luthfiyah (1710610077)
PROGRAM STUDI TADRIS MATEMATIKA
JURUSAN TARBIYAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS
TAHUN AKADEMIK
2018
BAB I
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Ilmu hadist merupakan salah satu
pilar-pilar tsaqofah islam yang memang sudah selayaknya dimiliki oleh setiap
kaum muslim. Dewasa ini, begitu banyak opini umum yang berkembang yang
mengatakan bahwa ilmu hadist hanya cukup dipelajari oleh para alfus sholeh yang
memang benar-benar memiliki kredibilitas dalam ilmu agama sehingga stigma ini
membuat sebagian kaum muslim merasa tidak harus untuk mempelajari ilmu hadist. Terlebih dengan
keadaan saat ini dimana sangat bayak beredar hadits-hadits dho’if dan hadits palsu
yang beredar di tengah-tengah kaum muslim dan tentunya hal ini akan membuat kaum
muslimin menjadi pelaku bid’ah. Jika kaum muslim masih memandang remeh tentang
ilmu hadits ini maka tentu ini adalah suatu hal yang sangat berbahaya bagi
aqidah kaumm muslimin dalam menjalankah sunnah rosul. Oleh karena itulah,
perlunya kita sebagai umat muslim memilki pengetahuan yang luas tentang ilmu
hadits.
Seperti yang
telah diketahui bahwa hadits dho’if adalah hadits yang lemah atau hadits yang
tidak memilki syarat-syarat hadits shohih dan hadits hasan. Sebagian ulama
berpendapat bahwa hadits dhiof ini tidak dapat dijadikan sebagai hujjah namun
sebagian ulama yang lainnya juga ada yang berpendapat bahwa hadits dhoif ini
dapat digunakan sebagai hujjah. Dengan adanya khilafiah atau perbedaan pendapat
diantara para ulama,maka sangat perlulah kita sebagai umat muslim mengetahui
bagaimana cara kita bersikap dalam menghadapi hadits dhoif tersebut karena hal
ini akan langsung berkaitan dengan aqidah dan ibadah-ibadah kita kepada Allah
SWT.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa pengertian Hadist Dha’if ?
2.
Apa sebab-sebab adanya Hadist Dha’if ?
3.
Apa Syarat Hadist Dha’if ?
4.
Apa macam-macam Hadist Dha’if ?
5.
Bagaimana pandangan Ulama dalam
pengamalan Hadist Dha’if ?
C.
Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian Hadist Dha’if.
2. Untuk mengetahui sebab-sebab adanya Hadist Dha’if.
3. Untuk mengetahui Syarat Hadist Dha’if.
4. Untuk mengetahui Macam-macam Hadist dha’if.
5. Untuk menjelaskan pandangan Ulama dalam pengamalan Hadist Dha’if.
D.
Manfaat
1. Agar dapat mengetahui pengertian Hadist Dha’if.
2. Agar dapat mengetahui sebab-sebab adanya Hadist Dha’if.
3. Agar dapat mengetahui syarat Hadist Dha’if.
4. Agar dapat mengetahui Macam-macam Hadist dha’if.
5. Agar dapat menjelaskan pandangan Ulama dalam pengamalan Hadist Dha’if.
BAB II
PEMBAHASAN
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Hadits Dha’if
Kata dha’if menurut bahasa berasal dari
kata dhuifun yang berarti lemah lawan dari kata qawiy yang
berarti kuat. Sedangkan dha’if berarti
hadits yang tidak memenuhi hadits hasan. Hadits dhaif disebut juga hadits
mardud (ditolak).[1]
Kata dha’if menurut
bahasa berarti ‘ajiz atau lemah
sebagai lawan dari kata qawiy atau
yang kuat.Adapun lawan dari kata shahih adalah kata dha’if yang berarti saqim
atau yang sakit.Sebutan hadis dha’if
secara bahasa berarti hadis yang lemah atau hadis yang kuat (Ranuwijaya dikutip
Suyitno, 2008). Menurut Suyitno (2010) mengemukakan bahwa secara istilah ada
beberapa definisi hadits dha’if yang
dikemukakan oleh para ulama, seperti :
1.
Al-Nawawi mendefinisikan hadis dhaif sebagai:
ﻣَﺎﻟﻢﻳﻮﺟﺪﻓﻴﻪﺷﺮﻭﻃﺍﻟﺼﺤﺔﻭﻻﺷﺮﻭﻃﺍﻟﺤﺴﻦ
“Hadits yang di dalamnya tidak terdapat syarat-syarat hadits shahih dan
syarat-syarat hadits hasan”[2]
2.
Menurut Ibnu Shalah, hadis dhaif adalah:
ما لم يجمع صفات الصحيح ولاصفات الحسن
“Yang tidak terkumpul
sifat-sifat shahih dan sifat-sifat hasan.”
Karena sesuatu yang tidak memenuhi syarat-syarat hadis hasan sudah barang
tentu tidak memenuhi syarat-syarat hadis shahih.[3]
Para ulama
memberikan batasan bagi hadis dha’if:
الحديث الضعيف هو الحديث الذي لم يجمع صفات الحديث الصحيح ولا صفات
الحديث
“Hadis dha’if adalah
hadis yang tidak menghimpun sifat-sifat hadis shahih dan juga tidak menghimpun
sifat-sifat hadis hasan.”
3.
Menurut Nur Al-Din Itr, bahwa definisi yang paling baik, ialah:
ما فقد شرطا من شروط الحديث المقبول
“Hadis yang hilang
salah satu syaratnya dari syarat-syarat hadis maqbul (hadis shahih atau yang
hasan).”
Jadi dapat diambil kesimpulan bahwa pengertian hadis dhaif adalah hadis yang
lemah, yakni para ulama masih memiliki dugaan yang lemah, apakah hadis itu
berasal dari Rasulullah SAW atau bukan. Hadis
dhaif itu juga bukan saja tidak memenuhi syarat-syarat hadis shahih tetapi juga
tidak memenuhi syarat-syarat hadis hasan.
B.
Sebab-sebab Adanya Hadits Dha’if
Para ahli hadis mengemukakan sebab-sebab tertolaknya hadis bisa dilihat dari dua jurusan,
yaitu:
a.
Sanad Hadis
Dari segi sanad hadis, diperinci dalam dua
bagian:
1.
Ada kecacatan pada para perawinya baik meliputi
keadilannya maupun kedlabitannya, yaitu:
a)
Dusta. Hadis yang perawinya dusta disebut hadis maudhu’.
b)
Tertuduh dusta. Hadis yang rawinya tertuduh dusta disebut
hadis matruk.
c)
Fasiq.
d)
Banyak salah.
e)
Lengah dalam menghafal. Disebut hadis munkar.
f)
Banyak wahamnya (terdapat illat dalam matan atau sanad).
Disebut hadis mu’allal.
g)
Menyalahi ayat yang lebih tsiqqah atau dipercaya. Disebut
hadis mudraj bila ada penambahan suatu sisipan. Disebut maqlub bila
dipitarbalikkan. Disebut mudhtharib bila rawi-rawinya tertukar. Disebut
mukharraf bila huruf-syakalnya tertukar. Disebut mushahhaf bila ada perubahan
titik kata.
h)
Tidak diketahui identitasnya. Disebut hadis mubham.
i)
Penganut bid’ah.
j)
Tidak baik hafalannya. Disebut hadis syadz dan
mukhtalith.
2.
Sanadnya Tidak Bersambung
a)
Gugur pada sanad pertama. Disebut hadis mu’allaq.
b)
Gugur pada sanad terakhir (shahabat). Disebut hadis
mursal.
c)
Gugur dua orang rawi atau lebih secara berurutan. Disebut
hadis mu’dhal.
b.
Matan Hadis:
Mauquf dan Maqthu’
C.
Syarat-syarat Hadits Dha’if
Ada enam Syarat Hadist Dha’if menurut as-Suyuthi yaitu :
1. Perawinya tidak adil.
2. Perawinya tidak dhabit artinya kuat daya hafalannya baik berupa ingatan
maupun catatan.
3. Sanadnya tidak muttashil, artinya bersambung smpai rasulullah.
4. Tidak syadz, terdapat kerancuan antara para perawi yang satu dengan yang
lain.
5. Tidak ada illat baik terdapat sanad maupun matan.
6. Tidak mencelakakan.
Meskipun dilihat dari segi sanadnya suatu
hadist dinilai Dha’if tetapi matannya belum tentu, maka seseorang
peneliti harus menjelaskan letak kedha’ifannya. Boleh jadi kedha’ifannya tersebut akan terangkat oleh
periwayatan lain, sehingga hadist tersebut naik derajatnya.[5]
D.
Macam-macam Hadits Dha’if
Adapun klasifikasi hadits dha’if yaitu :
1)
Pada Sanad
a.
Dha’if karena
tidak bersambung Sanadnya
1)
Munqathi’
“Hadis yang gugur
sanadnya disatu tempat atau lebih atau pada sanadnya disebutkan nama seseorang
yang tidak dikenal namanya.” Contoh:
روى عبد الرزاق عن الثوري عن أبي إسحاق عن زيد بن يثيعٍ عن حذيفة
مرفوعًا : إن وليتموها أبا بكرٍ فقويٌّ أمينٌ
Diriwayatkan Abdurrazzaq, dari
ats-Tsauri, dari Abu Ishaq, dari Yazid bin Yutsai’, dari Hudzaifah secara
marfu’, “Jika kalian mengangkat Abu Bakr, maka ia adalah seorang yang kuat
lagi amanah.”
Riwayat ini telah hilang/gugur
dalam sanadnya seorang perawi di pertengahan sanad, yaitu Syuraik, yang gugur
diantara ats-Tsauri dan Abu Ishaq.
Ats-Tsauri tidak pernah mendengar
dari Abu Ishaq secara langsung, dan hanya mendengarkannya dari Syuraik, dan
Syuraik mendengarkannya dari Abu Ishaq.
Contoh lain hadits riwayat
Ibnu Majah dan at-Tirmidzi yang gugur sanadnya berupa perawi sebelum sahabat:
كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلّٰى
اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ إِذَا دَخَلَ الْمَسْجِدَ قَالَ بِسْمِ اللهِ وَ
الصَّلَاةُ وَ السَّلَامُ عَلَى رَسُوْلِ اللهِ, اَللّٰهُمَّ اغْفِرْ لِيْ
ذُنُوْبِيْ وَ افْتَحْ لِيْ أَبْوَابَ رَحْمَتِكَ[6]
2)
Muallaq
Hadis muallaq menurut bahasa, berarti hadis
yang tergantung. Dari segi istilah, hadis muallaq adalah hadits yang gugur satu
rawi atau lebih diawal sanad. Juga termasuk hadis
muallaq, bila semua rawinya digugurkan (tidak disebutkan).
Contoh: Bukhari
berkata, kala Malik, dari Zuhri,dari Abu Salamah, dari Abu Hurairah, bahwa
Rasulullah bersabda:
لاتقاضلوابين الأنبياء
Artinya:
3)
Mursal
Hadis mursal, menurut bahasa berarti hadis yang
terlepas, para ulama memberikan batasan hadits mursal adalah hadits yang gugur
rawinya diakhir sanad, yang dimaksud dengan rawi diakhir sanad adalah rawi pada
tingkatan sahabat. Jadi, hadits mursal adalah hadits yang dalam sanadnya tidak
menyebutkan sahabat nabi, sebagai rawi yang seharusnya menerima langsung dari
Rasulullah SAW. Seperti ketika tabi’in mengatakan:
a) Mursal al-jali, yaitu tidak disebutkannya (gugur) nama sahabat tersebut
dilakukan oleh tabi’in besar
b) Mursal al-khafi, yaitu pengguguran nama sahabat dilakukan oleh tabi’in yang
masih kecil.[9]
Contoh hadits
mursal:
قَالَ رَسُوْلُ اللهِ ص.م : بَيْنَنَا وَبَيْنَ
الْمُنَا فِقِيْنَ شُهُوْدُ الْعِشَاءِ وَالْصُبْحِ لَاَ يْسْتَطِيْعُوْنَ.
Artinya:”Rasulullah bersabda: “Antara kita
dengan kaum munafik, ada batasan yaitu menghadiri jama’ah isya dan subuh mereka
tidak sanggup menghadirinya.” (HR. Malik).
Hadits tersebut diriwayatkan Imam Malik dari
Abdurrahman dari Haudalah, dari Said bin Mutsayyab. Siapa
sahabat nabi yang meriwayatkan hadits itu kepada Said bin Mutsayyab, tidaklah
disebutkan dalam sanad diatas.
Kebanyakan ulama memandang hadits mursal
sebagai hadits dhaif dan tidak diterima sebagai hujjah, tetapi sebagian kecil
ulama, termasuk Abu Hanifah, Malik bin Anas, dan Ahmad bin Hambal dapat
menerima hadits mursal menjadi hujjah bin rawinya adil.
4) Mudallas
Hadits
mudallas yaitu “hadits yang diriwayatkan menurut cara yang diperkirakan, bahwa
hadits itu tiada bernoda. “
Pada
hadits mudallas ini rowi yang menggugurkan pernah bertemu dengan rawi yang
digugurkan. Pengguguran itu dimaksudkan agar aib atau kelemahan suatu hadits
dapat tertutupi. Orang yang melakukan tadlis(perbuatannya) disebut mudallis dan
hadis nya disebut hadis mudallas. Hadits yang diriwayatkan Imam Hakim (dalam kitab Ma’rifat Ulumil
Hadits halaman 130) dengan sanadnya sampai ke Ali bin Khasyram, dia berkata :
قال لنا ابن عيينة ، عن الزهري ،
فقيل له : سمعته من الزهري ، فقال : لا ، ولا ممن سمعه من الزهري ، حدثني عبد
الرزاق ، عن معمر ، عن الزهري"
Ibnu Uyainah telah berkata kepada
kami : dari Zuhri. Kemudian Ibnu Uyainah ditanya : “Apakah anda mendengar
langsung dari Zuhri?”. Dia menjawab : “Tidak, bahkan tidak mendengar dari orang
yang dia mendengar langsung dari Zuhri, Abdurrozzaq menceritakan padaku dari
Ma’mar dari Zuhri”. Pada contoh ini, Ibnu
Uyainah telah menghilangkan (membuang) dua orang rawi antara dia dan
Zuhri.
5)
Mu’dhal
Hadis mu’dhal ialah :
“Hadits yang gugur 2 orang sanadnya atau lebih,
secara berturut-turut.”
Dengan pengertian diatas, menunjukkan bahwa hadis mudal berbeda dengan
hadis munqathi’. Pada hadis Mudhal, gugurnya 2 orang perawi terjadi secara
berturut-turut, dan dimanapun saja. Contoh
dari hadits mu’dhal yaitu hadits yang diriwayatkan oleh Al-Hakim dalam Ma’rifah
Ulum Al-Hadits yang disandarkan kepada Al-Qa’nabi dari Mali telah
sampai kepadanya bahwa Abu Hurairah berkata:
Rasulullah
bersabda:
لِلْمَمْلُوكِ
طَعَامُهُ وَكِسْوَتُهُ بالمعروف وَلا يُكَلَّفُ مِنَ الْعَمَلِ إِلا مَا يُطِيقُ[10]
“Bagi
budak mendapat makanan dan pakaian, ia tidak boleh dibebani kecuali pekerjaan
yang sesuai dengan kemampuan”.
Hadits
diatas mu’dhal karena digugurkan oleh dua orang perawi secara berturut-turut
antara Malik dan Abu Hurairah, yaitu Muhammad bin Ajlan dan ayahnya. Hadits
mu’dhal tergolong mardud (tertolak) karena tidak diketahui
keadaan perawi yang digugurkan. Apakah mereka tergolong orang-orang yang
diterima periwayatannya atau tidak. Demi keaslian suatu hadits, sanad yang
terputus, dan yang digugurkan di antara para perawinya, maka tidak dapat
diterima.
b.
Dha’if karena
tiadanya syarat adil
1) Hadis Maudhu’
Hadits maudu’ ialah hadits yang bukan hadits
Rasulullah Saw tapi disandarkan kepada beliau oleh orang secara dusta dan
sengaja atau secara keliru tanpa sengaja, Contoh:
لايدخل ولد الزنا الجنة الي سبع ابتاء
Artinya:
“Anak jin tidak masuk surga hingga tujuh
turunan”.
2) Hadis Matruk
Hadits
ini, menurut bahasa berarti hadits yang ditinggalkan
/dibuang. Para ulama memberikan batasan bahwa hadits matruk adalah
hadits yang diriwayatkan oleh orang-orang yang pernah dituduh berdusta (baik berkenaan dengan hadits ataupun mengenai urusan lain ), atau
pernah melakukan maksiat, lalai, atau banyak wahamnya, seperti seperti riwayat Umar
bin Syamr, dari Jabir, dari Harits, dari ‘Ali RA. ‘Amr di sini terkena
sifat matrukul hadits.[11] Contoh hadits matruk :
“Rasulullah Saw bersabda, sekiranya tidak ada wanita, tentu Allah dita’ati dengan sungguh-sungguh”.
“Rasulullah Saw bersabda, sekiranya tidak ada wanita, tentu Allah dita’ati dengan sungguh-sungguh”.
Hadits tersebut diriwayatkan oleh Ya’qub bin Sufyan bin ‘Ashim dengan sanad
yang terdiri dari serentetan rawi-rawi, seperti : Muhammad bin ‘Imran, ‘Isa bin
Ziyad, ‘Abdur Rahim bin Zaid dan ayahnya, Said bin mutstayyab, dan Umar bin
Khaththab. Diantara nama-nama
dalam sanad tersebut, ternyata Abdur Rahim dan ayahnya pernah tertuduh
berdusta. Oleh karena itu, hadits tersebut ditinggalkan / dibuang.
3)
Hadis Munkar
Hadist munkar, secara bahasa berarti
hadits yang diingkari atau tidak dikenal. Batasan yang diberikan para ‘ulama
bahwa hadits munkar ialah hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang lemah dan
menyalahi perawi yang kuat, Contoh :
مَنْ أَقَامَ الصَّلَاةَ وَ أَتَى الزَّكَاةَ وَ
حَجَّ وَ صَامَ وَ قَرَى الضَّيْفَ, دَخَلَ الجَنَّةَ
“Barangsiapa yang mendirikan shalat,
membayarkan zakat, mengerjakan haji, dan menghormati tamu, niscaya masuk surga.
( H.R Riwayat Abu Hatim )”
Ibnu
Abi Hatim berkata: Hadits ini munkar, karena terdapat rawi yang
kredibel yaitu Abi Ishaq dan rawi yang kurang kredibel yaitu Hubaib.[12]
Contoh lain: Hadits yang diriwayatkan oleh An-Nasa’i dan Ibnu Majah, dari
riwayat Abi Zukair Yahya bin Muhammad bin Qais, dari Hisyam bin ‘Urwah, dari
ayahnya, dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha secara marfu’:
كلوا البلح بالتمر فإن ابن آدم إذا أكله غضب
الشيطان
Artinya: “Makanlah balah (kurma
mentah) dengan tamr (kurma matang), karena
syaithan akan marah jika anak Adam memakannya.”
An-Nasa’i berkata: “Ini hadits munkar. Abu
Zukair meriwayatkannya secara sendirian. Dia seorang syaikh yang shalih. Imam Muslim
meriwayatkannya sebagai mutaba’at. Hanya saja ia tidak
sampai pada derajat rawi yang dapat meriwayatkan hadits secara sendirian.”
c.
Dha’if karena Tiadanya Dhabit
1)
Hadits mudraj
Hadits mudraj adalah hadits yang menampilkan
(redaksi) tambahan, padahal bukan (bagian dari) hadits.
Contoh:
قال رسولوالله صلي الله عليه وسلم: انا
زعيم، والزعيم الحميل لمن أمن بي واسلم وجاهدفي سبيل الله يبيت في ريض الجنة (رواه
النسائ)
Artinya:
“Rasulullah Saw bersabda: saya itu adalah Zaim
dan Zaim itu adalah penanggungjawab dari orang yang beriman kepadaku, taat dan berjuang di
jalan Allah, dia bertempat tinggal di dalam surga.” (HR. Nasai)
2) Hadits maqlub
Hadits maqlub
yaitu hadits yang lafaz matannya tertukar pada salah seorang perawi pada salah
seorang perawi atau seseorang pada sanasnya. Kemudian didahulukan dalam
penyebutannya, yang seharusnya disebut belakangan atau mengakhirkann
penyebutannya, yang seharusnya di dahulukan atau dengan diletakkannya
sesuatu pada tempat yang lain. seperti hadits riwayat
Hammad an-Nashiby, dari al-A’masy, dari Abi Shalih, dari Abi Hurairah
(Hadits Marfu’):
Hadits ini maqlub,
karena Hammad mengganti Suhail bin Abi Shalih dengan al-A’masy.
Contoh lain:
إذا سجد احدكم فلا يبرك كمايبرك البعير وليضع
يديه قبل وكبته
Artinya:
“ Apabila salah
seorang kamu sujud, jangan menderum seperti menderumnya seekor unta, melainkan hendaknya
meletakkan kedua tangannya sebelum meletakan kedua lututnya,” (HR. Al-
Turmudji)
3) Hadits mudhtharib
Hadits mudhtharib adalah hadits yang
diriwayatkan dengan periwayatannya yang berbeda-beda padahal berasal dari satu
perawi (yang meriwayatkan), dua atau lebih atau dari dua perawi atau lebih yang
berdekatan(dan tidak bisa ditarjih). Contoh:
عَنْ
مَعْقِلِ بْنِ يَسَارٍ قَالَ قَالَ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- « اقْرَءُوا
(يس) عَلَى مَوْتَاكُمْ ».
Dari
Ma’qil bin Yasar radhiyallahu ‘anhu, Nabi SAW bersabda, “Bacakanlah
surat Yasin pada orang yang hampir mati di antara kalian.” (HR. Abu Daud,
no. 3121; Ibnu Majah, no. 1448; An-Nasa’i dalam ‘Amal Al-Yaum wa Al-Lailah, no.
1074. Kata Ibnu Hajar dalam Bulugh Al-Maram, no. 538, hadits ini dianggap
shahih oleh Ibnu Hibban. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits
ini dha’if)
4) Hadits
mushahhaf dan hadits muharraf
Hadits mushahhaf adalah hadits yang
perbedaannya (dengan hadits riwayat lain) terjadi karena perubahan
titik kata, sedangkan bentuk tulisannya tidak berubah. Sedangkan hadis muharraf adalah hadits yang perbedaannya
terjadi disebabkan karena perubahan syakal kata dengan masih tetapnya bentuk
tulisannya.
Contoh hadis
mushahhaf:
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْر
Abu Bakar Ash-Shuli mentashif, dia berkata :
مَنْ صَامَ َمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ شيئا مِنْ شَوَّالٍ كَانَ كَصِيَامِ مَنْ صَا الدَّهْرِ
Dia mentashhif kata “ستا” menjadi “شيئا” [14]
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْر
Abu Bakar Ash-Shuli mentashif, dia berkata :
مَنْ صَامَ َمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ شيئا مِنْ شَوَّالٍ كَانَ كَصِيَامِ مَنْ صَا الدَّهْرِ
Dia mentashhif kata “ستا” menjadi “شيئا” [14]
Contoh hadis
muharraf misalnya hadits dari
Jabir r.a:
و حَدَّثَنِي بِشْرُ بْنُ خَالِدٍ حَدَّثَنَا مُحَمَّدٌ
يَعْنِي ابْنَ جَعْفَرٍ عَنْ شُعْبَةَ قَالَ سَمِعْتُ سُلَيْمَانَ قَالَ سَمِعْتُ
أَبَا سُفْيَانَ قَالَ سَمِعْتُ جَابِرَ بْنَ عَبْدِ اللَّهِ قَال رُمِيَ أُبَيٌّ يَوْمَ
الْأَحْزَابِ عَلَى أَكْحَلِهِ فَكَوَاهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ[15]
Artinya:”Ubai (bin Ka’ab) telah
terkena panah pada perang Ahzab mengenai lengannya,lalu Rasulullah nengobatinya
dengan besi hangat.”
Ghandar mentahrif hadits ini
tersebut dengan Abiyang artinya ayahku, yang sesungguhnya
adalah Ubay bin ka’ab. Kalau pentahrifan Ghandar ini diterima,
berarti yang terpanah adalah ayah Jabir. Padahal ayah Jabir telah meninggal
pada perang Uhud, yang terjadi sebelum perang Ahzab.
d.
Dha’if karena
kejanggalan dan kecacatan
1.
Hadits syadz
Hadits syadz adalah hadits yang diriwayatkan oleh orang maqbul, akan tetapi
bertentangan (matannya) dengan periwayatannya dari orang yang kualitasnya lebih
utama.
Contoh: hadits yang diriwayatkan oleh muslim,
dari Nubaisyah Al-Hudzali, dia berkata, Rasulullah bersabda:
ايام التشريق ايام اكل وشرب
Artinya:
Contoh lain:
أَنَّ رَجُلاً تُوُفِّيَ عَلَى عَهْدِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ وَ لَمْ يَدَعْ وَارِثًا إِلاَّ مَوْلَى أَعْتَقَهُ,
فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ: هَلْ لَهُ أَحَدٌ؟
فَقَالُوْا لاَ, إِلاَّ غُلَامٌ أَعْتَقَهُ, فَجَعَلَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ مِيْرَاثَهُ
Ada
dua jalur periwayatan mengenai hadits tersebut, yaitu:
a)
Jalur periwayatan at-Tirmidzi yang bersanad Ibnu Uyainah, dari ‘Amr bin Dinar,
dari ‘Ausajah, dari Ibnu Abbas. Jalur ini merupakan matarantai sanad
hadits mahfudh, sebab di samping memiliki perawi-perawi yang tsiqah dan
juga mempunyai muttabi’, yaitu Ibnu Juraij dan lainnya.
b)
Jalur periwayatan Ashab as-Sunan, dapat dilihat dari dua periwayatan, yaitu:
a)
Dari Hammad, dari ‘Amr bin Dinnar, dari ‘Ausajah adalah hadits mursal,
sebab ‘Ausajah meriwayatkan hadits ini tanpa melalui sahabat Ibnu Abbas.
b)
Dari Hammad bin Zaid (termasuk muhaddits tsiqqah), tetapi dalam periwayatannya
berlawanan dengan periwayatan Ibnu Uyainah yang lebih utama, sebab
sanadnya muttashil dan ada muttabi’nya, maka dari
itu hadits at-Tirmidzi melalui jalur periwayatan Ibnu Uyainah disebut
hadits mahfudh.
Dari
kenyataan di atas, periwayatan at-Tirmidzi melalui sanad Ibnu Uyainah yang
lebih utama, disebut hadits mahfudh, sedang yang melalui Ashab as-Sunnah
disebut syadz.[17]
2. Hadits
mu’allal
Hadits mu’allal adalah hadits yang diketahui
‘illatnya setelah dilakukan penelitian dan penyelidikan meskipun pada lahirnya
telah tampak selamat(dari cacat). Contoh:
قال رسولوالله صلي الله عليه وسلم : البيعان
بالخيار مالم يتفرفا
Artinya:
“Rasulullah bersabda: penjual dan pembeli boleh
berikhtiar, selama mereka masih belum berpisah”
2)
Pada Matan
a.
Mauquf
Hadis Mauquf; segala sesuatu yang disandarkan
kepada seorang shahabat, baik perkataan, pebuatan, atau persetujuannya,
bersambung sanadnya maupun terputus. Sandaran ini hanya sampai kepada shahabat,
tidak sampai kepada Rasulullah.[18]Seperti contoh:
يَقُوْلُ: إِذَا أَمْسَيْتَ فَلاَ
تَنْتَظِرِ الصَّبَاحَ وَ إِذَا أَصْبَحْتَ فَلاَ تَنْتَظِرِ الْمَسَاءَ وَ خُذْ
مِنْ صِحَّتِكَ لِمَرَضِكَ وَ مِنْ حَيَاتِكَ لِمَوْتِكَ
Hadits riwayat Bukhari tersebut
adalah hadits mauquf, sebab matannya berasal dari perkataan Ibnu
‘Umar dan tidak ada petunjuk yang mengatakan adalah Nabi SAW.[19]
b.
Maqthu’
Hadis Maqthu’; segala sesuatu yang disandarkan
kepada tabi’in maupun orang sesudahnya, baik perkataan, pebuatan, atau
persetujuannya, bersambung sanadnya maupun terputus.[20]Seperti
perkataan Haram bin Jubair (seorang tabi’in besar) yaitu:
اَلْمُؤْمِنُ
إِذَا عَرَفَ رَبَّهُ عَزَّ وَ جَلَّ أَحَبَّهُ وَ إِذَا أَحَبَّهُ أَقْبَلَ
إِلَيْهِ[21]
E. Pandangan Ulama dalam pengamalan Hadist Dha’if
Hadits dha’if termasuk hadits yang dihukumi mardud (ditolaknya hujjah darinya) memandang hukum aslinya.[22] Hadist dha’if baru dapat
dijadikan hujjah oleh ulama-ulama tertentu apabila telah memenuhi syarat-syarat
yang cukup ketat.Penolakan penggunaan hadist dha’if itu sangat
sulit dipertanggung jawabkan berasal dari Nabi baik dari sisi sanad dan atau
matannya. Karena bermuara dari perbedaan persepsi dalam
penilaian suatu hadist, maka muncul perbedaan ulama dalam pengamalan hadist dha’if itu.
Muhammad Ajjaj al-Khatib menyebut ada tiga kelompok
dalam menyikapi hadist dha’if, yaitu:
1. Tidak memakai hadist dha’if secara mutlak, baik untuk fadhail al-a’mal ataupun dalam bidang
hukum, yang dipelopori oleh ibn sayid al-Nas, Abu Bakar ibn al-‘Arabi, Bukhari,
Muslim, dan Ibn Hazm.
2. Mengamalkan hadist Dha’if secara mutlak, dengan alasan hadis dha’if itu lebih baik bila dibanding dengan
pendapat manusia, yang dipeloori oleh Abu Daud dan Ahmad ibn Hanbal,
Abdurrahman al-Mahdi dan Abdullah ibn Mubarak.
3.
Mengamalkan hadist dha’if untuk fadha’il al-a’mal dan nasehat kebajikan dengan syarat-syarat
tertentu.
Mayoritas ulama yang mengamalkan hadist dha’if baik yang
menerima secara mutlak maupun yang menentukan berbagai syarat untuk fadha’il al-a’mal (keutamaan suatu
amaliah), targhib (kabar gembira) dan
tarhib (suatu ancaman) umumnya
berasarkan pada suatu pendapat dari Ahmad ibn Hanbal; bila kami meriwayatkan
tentang halal dan haram maka kami perketat persyaratannya, sedangkan riwayat
untuk fadhail dan yang sejenisnya
maka akan kami peringan.
Selain itu mereka juga
berpendapat, bagaimana dla’ifnya suatu hadist dalam masalah tertentu , maka itulah yang terkuat
selama tidak ada hadist sahih lainnya yang mengingkari dalam maslah itu, juga
bagaimanapun lemahnya suatu hadist (selain hadist palsu) akan dapat kemungkinannya
dinisbatkan kepada Nabi, lain halnya dengan hasil ijtihad (pemikiran) seseorang
yang tidak akan dapat dinisbatkan kepada Nabi.
Sementara itu bagi ulama yang menolak
mengamalkan hadist dha’if yang dimaksud ibn Hanbal itu adalah hadist yang
berstatus hasan. Ibn Taimiyyah dan ibn al-Qayyin menafsirkan ucapan
Ahmad ibn Hanbal tentang pengamalan hadist dla’if itu maksudnya adalah hadist
hasan seperti klasifikasi hadis menurut imam Tirmudzi.
Inti dari perbedaan pendapat itu adalah
sikap kehati-hatian dalam pengamalan ibadah, apakah benar-benar bersumber dari
Rasulullah atau tidak. Jalan pemecahannya, hendaknya kita
berusaha mengamalkan hadist yang benar-benar berasal dari Nabi, meskipun
statusnya Dha’if.[23]
BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
Hadits dhaif adalah hadits yang tidak memenuhi
syarat/ kriteria hadits shahih atau hasan.
Para ahli hadis mengemukakan sebab-sebab tertilaknya
hadis bisa dilihat dari dua jurusan, yaitu:
b)
Sanad Hadis
c)
Matan Hadis
Ada enam Syarat Hadist Dla’if menurut
as-Suyuthi yaitu :
1. Perawinya tidak adil.
2. Perawinya tidak dhabit artinya kuat daya hafalannya baik berupa ingatan
maupun catatan.
3. Sanadnya tidak muttashil, artinya bersambung smpai rasulullah.
4. Tidak syadz, terdapat kerancuan antara para perawi yang satu dengan yang
lain.
5. Tidak ada illat baik terdapat sanad maupun matan.
6. Tidak mencelakakan.
Macam-macam Hadis Dho’if
dibedakan dari segi sanad maupun
matannya:
1)
Segi Sanad:
a.
Dha’if karena Tidak
bersambung Sanadnya
b.
Dha’if karena Tiadanya
syarat adil
c.
Dha’if karena Tiadanya Dhabit
d.
Dha’if karena Kejanggalan dan Kecacatan
2)
Segi Matan
a.
Mauquf
b.
Maqthu’
Hadist dha’if baru dapat dijadikan hujjah oleh
ulama-ulama tertentu apabila telah memenuhi syarat-syarat yang cukup ketat. Penolakan penggunaan hadist dla’if itu sangat
sulit dipertanggung jawabkan berasal dari Nabi baik dari sisi sanad dan atau
matannya. Karena bermuara dari perbedaan persepsi dalam
penilaian suatu hadist, maka muncul perbedaan ulama dalam pengamalan hadist dha’if itu.
B. Saran
Dalam memahami makalah yang sangat jauh
kesempurnaan ini yang Alhamdulillah telah selesai kami susun, mudah-mudahan bisa memberikan sedikit pengetahuan tentang hadits
dhaif. Untuk perbaikan makalah kami ini agar
kiranya para pembacanya bisa memberikan koreksi terhadap makalah yang sangat
sederhana ini.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, Wafie . Hadis Marfu’, Mauquf, dan Maqthu’, online at: https://wafieahmad.wordpress.com/2014/06/28/hadis-marfu-mauquf-dan-maqthu/ pada
tanggal 3 Mei 2018 pukul 18.56
Alwi Al-Maliki,
Muhammad. 2006. Ilmu Ushul
Hadits . Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
al-Maliki, Muhammad Alawi. 2016. al-Minhal al-Lathif. Dar
ar-Rahmah al-Islamiyah.
al-Mas’udi, Hasan. Minhah al-Mughits. Surabaya: Andalas.
Anggraini, Nur Ayu, dkk. 2014. Hadits Dha’if . Palembang: IAIN Raden Fatah.
Anwar Br, Moh.
1981. Mustalahul
Hadis. Surabaya:
Aliklas.
Hadi, Saeful. Ulumul
Hadits. Kulon Progo: Sabda Media.
Mudzakir, Muhammad Ahmad. 2000.Ulumul Hadits. Bandung: CV.
Pustaka Setia.
Muhammad, Nuruddin . Pengantar Umum Studi
Ulumul Hadits, Jurnal Kajian Filosofis, 3:23.pdf
Suparta, Munzier.
2002. Ilmu Hadis. Jakarta:
PT RajaGrafindo Persada.
Suryadilaga, M.
Alfatih, dkk. 2015.Ulumul Hadis. Yogyakarta:
Kalimedia.
Zein
Muhammad, Ma’shum. 2008. Ulumul Hadits & Musthalah Hadits. Jombang: Darul Hikmah.
[3]Moh. Anwar Br, Mustalahul Hadis(Surabaya: Aliklas, 1981),
hlm. 93.
[5]Nuruddin Muhammad, Pengantar Umum Studi Ulumul Hadits,
Jurnal Kajian Filosofis, 3:23.pdf
[6] M. Ma’shum Zein, Ulumul Hadits &
Musthalah Hadits, Cet. I, (Jombang: Darul Hikmah, 2008), hlm.128-129
[17] M. Ma’shum Zein, Ulumul
Hadits & Musthalah Hadits, Cet. I, (Jombang: Darul Hikmah, 2008),
Hlm. 161-162
[18]Wafie Ahmad, Hadis
Marfu’, Mauquf, dan Maqthu’, online at: https://wafieahmad.wordpress.com/2014/06/28/hadis-marfu-mauquf-dan-maqthu/pada tanggal 3 Mei 2018 pukul 18.56
[20] Ibid.
No comments:
Post a Comment