Wednesday, September 19, 2018

review jurnal


REVIEW JURNAL
PERBEDAAN ANTARA HADIS MUDALLAS DAN MURSAL”


Disusun Guna Memenuhi Tugas Tengah Semester
Mata Kuliah : Ulumul Hadits
Dosen Pengampu: Moh. Irhas, M.Pd.I


Hasil gambar untuk logo stain kudus


Disusun Oleh:
Zuly Mar’atul Luthfiyah (1710610077)
Tadris Matematika B



 

PROGRAM STUDI TADRIS MATEMATIKA
JURUSAN TARBIYAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS
TAHUN AKADEMIK 2018


KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas limpahan rahmat dan taufiq-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah tugas review jurnal yang berjudul: “Perbedaan Antara Hadis Mudallas Dan Mursal” Sholawat dan taslim penulis haturkan kepada junjungan Nabi besar Muhammad SAW, keluarga, sahabat dan para umatnya hingga akhir zaman.
Penulis menyadari sepenuhnya, meskipun telah mengupayakan semaksimal mungkin untuk menyempurnakan kualitas isi yang disajikan, namun masih banyak kekurangan-kekurangan yakni masih jauh dari kesempurnaan. Oleh sebab itu penulis senantiasa memohon ridho Allah SWT serta sangat mengharapkan bimbingan dari berbagai pihak, kritik dan saran yang sifatnya membangun demi kesempurnaan makalah ini.
Akhir kata kami berharap semoga review ini dapat bermanfaat, khususnya bagi penulis sendiri dan pembaca pada umumnya. Terima kasih juga saya haturkan kepada Pak Irhas,M.Pd selaku dosen pengampu mata kuliah ini, sehingga menjadikan saya berkesempatan untuk menulis review tentang topic yang saya minati.


Kudus, 5 April 2018
Penulis









DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL.................................................................................          i
KATA PENGANTAR..................................................................................         ii
DAFTAR  ISI................................................................................................         ii
A.    PENDAHULUAN.............................................................................         1
B.    RINGKASAN JURNAL...................................................................         1
1.     Identitas Jurnal...........................................................................        1
2.     Ringkasan...................................................................................         2
C.    PEMBAHASAN...............................................................................       16
D.    KESIMPULAN DAN SARAN.........................................................       18



















A.    PENDAHULUAN
Pada kesempatan yang baik ini, sebagai pemenuhan tugas tengah semester genap mata kuliah ulumul hadits, penulis membuat review dari salah satu jurnal elektronik yang berkaitan dengan Ulumul hadits. Jurnal yang dipilih oleh penulis berdasar pada pemenuhan keingintahuan penulis terhadap materi perbedaan antara Hadis Mudallas dan Mursal sebagai topik yang akan direview. Jurnal ini relevan terhadap Mata Kuliah Ulumul Hadis karena dalam ulumul hadis terdapat sub materi yang membahas tentang Hadis-hadis dho’if yang berkaitan dengan Mudallas dan Mursal beserta perbedaanya yang cukup sering diperbincangkan oleh ahli-ahli agama. Mereka sering bertukar pendapat tentang Hadis Mursal dan Mudallas sehingga kadang kala menimbulkan perbedaan pendapat yang cukup signifikan.
Oleh karena itu, sebagai bentuk apresiasi penulis terhadap para ulama yang membahas topik ini dengan mengerahkan segala pemikirannya, penulis mengambil jurnal yang berjudul “Perbedaan Hadis Mursal dan Mudallas” ini yang nantinya  berisi pengertian beserta pendapat para ulama yang ditelah dijelaskan dalam jurnal tersebut. Sehingga menjadikan penulis mengambil judul yang diminati nya sebagai pemenuhan tugas tengah semester dua .

B.    RINGKASAN JURNAL
1.        Identitas Jurnal
Judul                           : Perbedaan Antara Hadis Mudallas Dan Mursal
Volume                       : Vol. 1 No.2
Tahun terbit                : 2015
Penulis                                    : Zulham Qudsy Farizal  Alam
Lembaga Penerbit      : STAIN Kudus
Alamat Penerbit         : Jalan Conge No.51, Ngembalrejo, Bae, Kabupaten Kudus, Jawa Tengah 59322
Jumlah Halaman         : 26 hlm


2.        Ringkasan Jurnal
a.      Pendahuluan
Hadis ataupun sunnah Rasul merupakan pedoman dan tuntunan bagi umat islam setelah Al-quran. Mempelajari hadist adalah kewajiban seorang muslim. Sebagai orang yang mengakui cinta Rasulullah, tentu kita berusaha semaksimal mungkin untuk semangat mempelajari sabda-sabda Rasulullah SAW. Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda,
 “Aku telah tinggalkan pada kamu dua perkara. Kamu tidak akan sesat selama berpegang kepada keduanya, (yaitu) Kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya”. [1]
Rasulullah juga memberi motivasi bagi umatnya untuk mendengar dan meriwayatkan hadits. Sebagaimana yang disebutkan dalam sabdanya:
Dari Zaid bin Tsabit radhiallahu ‘anhu berkata: saya mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Semoga Allah memberikan nudlrah (cahaya di wajah) kepada orang yang mendengarkan sabdaku lalu ia memahaminya, menghafalnya dan menyampaikannya. Berapa banyak orang yang membawa fiqih kepada orang yang lebih faqih darinya, ada tiga perkara yang tidak akan dengki hati muslim dengannya: mengikhlaskan amal karena Allah, menasehati pemimpin kaum muslimin dan berpegang kepada jama’ah mereka karena do’a mereka meliputi dari belakang mereka”.[2]
Secara umum Ilmu Hadis adalah pengetahuan mengenai kaidah-kaidah yang menghantar-kan kepada pengetahuan tentang rawi (periwayat) dan marwi (materi yang diriwayatkan)[3]
Ada pendapat lain yang menyatakan Ilmu Hadis adalah ilmu tentang kaidah-kaidah untuk mengetahui kondisi sanad dan matan[4]


b.     Kajian Teori
1)       Pengertian Hadist Mursal
Secara bahasa مرسل merupakan isim maf’ul dari kata ارسل yang bermakna lepas. Sedang secara istilah, menurut ahli hadist, hadist mursal adalah hadist yang gugur sanadnya seseorang setelah tabi’in.[5] Atau dengan kata lain hadist yang disandarkan langsung oleh tabi’in kepada rasulullah tanpa menyebutkan rawi dari tingkatan sahabat. Hadist disebut mursal seakan-akanpelakunya melepaskan sanad-sanadnya dan tidak menyebutkannya dengan seorang rawi yang populer.[6]
Berbeda dengan ulama muhaditsin, ulama fiqih mendefinisikan hadist mursal dengan hadist yang gugur sanadnya, baik sebelum atau sesudah tabi’in.[7]
Hadis mursal adalah hadis yang disandarkan kepada Nabi oleh seorang tabi’in dengan mengatakan. “Rasulullah SAW. Berkata…” baik ia tabi’in besar maupun tabi’in kecil.
Macam-macam hadist mursal:
a)      Mursal jally
b)      Mursal shahabi
c)      Mursal khafi
Kitab Yang Memuat Hadis Mursal:
1.                  Al-Marâsîl karya Abu Daud.
2.                  Tuhfatul Asyrâf (bagian akhir) karya Al-Hafizh Al-Muzzi.
3.                  Al-Jâmi’ Al-Kabîr (bagian akhir) karya Al-Imam As-Suyuthi.
1.                  Pengertian hadis mudallas
Kata mudallas adalah bentuk isim maf’ul dari kata
دَلَّسَ يُدَلِّسُ تَدْلِيْسًا فَهُوَ مُدَلِّسٌ وَمُدَلَّسٌ
Kata at-tadlis secara bahasa diartikan menyimpan atau menyembunyikan cacat barang dagangan dari pembelianya. Pembeli mengira bahwa barang dagangan itu bagus, indah, dan menarik, tetapi setelah diteliti benar dan dibolak-balik, ternyata terdapat cacat pada barang dagangan itu. Adapun menurut istilah, hadis mudallas adalah sebagai berikut.
Menurut Syaikh Mana’ Al-Qaththan secara istilah adalah menyembunyikan aib dalam hadits dan menampakkan kebaikan pada dzahirnya[8]
1.                  Pembagian Hadis Mudallas
Hadis mudallas dibagi menjadi dua macam yang pokok, yaitu tadlis al-isnad dan tadlis asy-syuyukh:
1.                  Tadlis Al-Isnad
أَنْ ْيَرْوِيَ الرَّاوِي عَمَّنْ لَقِيَهُ مَا لَمْ يَسْمَعْه مِنْهُ مُوْهِمًا سَمَاعَه
Seorang perawi meriwayatkan suatu hadis yang ia tidak mendengarnya dari seseorang yang pernah ia temui dengan cara yang menimbulkan dugaan bahwa ia mendengarnya.
Tadlis al-isnad adalah seorang perawi meriwayatkan sebagian hadis yang telah ia dengar dari seorang syaikh, tetapi hadis yang di tadlis-kan ini memang tidak mendengar darinya, ia mendengar dari syaikh lain yang mendengar daripadanya.
Kemudian tadlis al-isnad dibagi menjadi dua, yaitu sebagai berikut:
a)     Tadlis At-Taswiyah,
b)     Tadlis Al-Athfi,
2.     Tadlis Asy-syuyukh
Seorang perawi meriwayatkan dari seorang syaikh sebuah hadis yang ia dengar darinya kemudian ia berinama lain atau nama panggilan (kuniyah) atau nama bangsa dan atau nama sifat yang tidak di kenal supaya tidak di kenal.
Ada beberapa faktor yang mendorong terjadinya tadlis asy-syuyukh, yaitu:
a.      Kelemahan seorang syaikh atau ia tidak tsiqoh.
b.     Wafat syaikh belakangan sehingga dimungkinkan ia bersama jama’ah dalam mendengar hadis dari penyampai berita, padahal tidak demikian.
c.      Usia muda memungkinkan terjadinya tadlis asy-syuyukh, karena ia lebih muda dari pada yang meriwayatkannya;
d.     Banyaknya periwayatan, ia ia tidak suka memperbanyak periwayatan dengan menyrbutkan suatu nama
Sedangkan untuk tadlis isnad, di samping 3 faktor pendorong pertama di atas, di tambah dua hal sebagai berikut.
a.      Memberikan pemahaman isnad ‘ali (isnad yang sedikit perawinya).
b.     Luput sedikit sebagian sanad hadis yang banyak dan panjang sebagaimana yang ia dengar syaikh.
c.      Di antara buku tentang hadis mudallas yang terkenal adalah sebagian berikut.
1)     At-Tabyin li Asma Al-Mudallisin, karya Al-khatib Al-baghdadi.
2)     Ta’rif Ahl At-Taqdis bi Maratib Al-mawshufin bi At-tadlis, karya Ibnu Hajar.
c.      Metodologi Penelitian
Obyek dari penelitian ini adalah menyangkut pemikiran para ulama mengenai topic Hadis Mursal dan Mudallas beserta perbedaannya. Sasaran penelitian terhadap topik yang dimaksud diarahkan pada pemikirannya, jumhur ulama dikhususkan pada ciri-ciri dan perbedaan diantara kedua hadis tersebut . Dengan demikian, bila ditinjau dari obyek penelitian, maka penelittian ini masuk dalam kerangka penelitian literatif.
Adapun metode yang digunakan dalam studi ini adalah deskriptif analisis dengan pendekatan filosofis dan kompratif. Dalam pencarian data, metode yang digunakan adalah library research. Adapun buku yang dijadikan sumber primer yaitu; At-Tabyin li Asma Al-Mudallisin, karya Al-khatib Al-baghdadi.(1989). Sementara sumber sekunder adalah berbagai buku, artikel yang memilki hubungan dengsan topik pembahasan yang sedang dikaji.
d.     Pembahasan
1.     Hadits Mursal
a.      Pengertian Hadits Mursal
Hadis mursal adalah keadaan dimana seorang tabiin besar yang berjumpa dengan sekelompok shahabat mengatakan bahwa Rasulullah mengatakan ini atau Rasulullah melakukan hal ini, definisi ini disepakati oleh para ulama.
Bentuk ungkapan hadis mursal; seorang tabi’in mengatakan, “Rasulullah saw bersabda demikian”, “Melakukan demikian”, “Dilakukan hal demikian di hadapan beliau”, atau “Beliau memiliki sifat demikian” seraya memberitakan tentang salah satu sifat beliau saw.
b.     Hukum Berargumen dengan Hadis Mursal
Hadis mursal menurut kebanyakan ulama’ adalah merupakan bagian dari hadis dha’if. Imam Muslim di dalam Muqaddimah ash-Shahih (1/30) berkata, “Riwayat yang mursal menurut pendapat kami dan pendapat ahli hadis tidak dapat menjadi hujjah”. Hanya saja, kedha’ifan hadis mursal adalah ringan, ia akan hilang apabila diikuti dengan riwayat yang setara kedha’ifannya atau lebih sahih darinya6 selama riwayat tabi’nya ini tidak mursal dari thabaqah (tingkat) yang sama dengan riwayat yang pertama.
Namun sebagaimana kita ketahui bahwa para tokoh dan ulama terkemuka, misalnya para pendiri madzhab, mereka justru menganggap hadis Mursal itu dapat dimasukkan ke dalam jenis hadis Shahih, dengan syarat bahwa sanad hadis dari periwayat terakhir atau pembuku hadis hingga tabi’in yang menghubungkan langsung kepada Nabi tersebut memenuhi syarat. Syarat tersebut mereka tekankan karena menurut argumentasi mereka bahwa keterputusan sanad yang seperti itu, yakni ketiadaan perawi pertama dalam rangkaian sanad tidak akan menyebabkan lemahnya sebuah hadis.
Mereka menganggap bahwa hadis Mursal yang seluruh periwayat yang ada dalam sanad tersebut memenuhi syarat dan hanya kerena tidak tersambungnya sanad pada akhir sanad, tidak akan menyebabkan cacatnya sebuah riwayat. Mereka meyakini bahwa periwayat yang hilang atau tidak disebutkan tersebut ialah periwayat pertama atau sahabat. Sikap mereka tersebut disebakan bahwa mereka meyakini dan melaksanakan kaidah yang dirumuskan oleh para ahli hadis bahwa “semua sahabat itu dianggap adil”. Artinya seluruh sahabat itu digolongkan sebagai periwayat yang memenuhi syarat. Logikanya, periwayat tersebut dicantumkan ataupun tidak dalam sebuah sanad, maka tidak akan ada pengaruhnya, hadis tersebut tetap dianggap Shahih, asalkan seluruh sanad setelah itu memenuhi syarat.
Namun untuk memberikan informasi yang lebih luas kiranya dipandang perlu disampaikan beberapa pendapat ulama seputar sikap mereka dalam menghadapi hadis Mursal ini. Pada prinsipnya sikap ulama terhadap hadis Mursal tersebut dapat digolongkan menjadi 4 golongan, yaitu:
a.           Mereka yang menganggap bahwa hadis Mursal tersebut sebagai hadis dhaif.
b.          Mereka yang menganggap bahwa hadis Mursal tersebut masuk dalam kategori hadis shahih dan karena itu dapat dibuat hujjah.
c.           Mereka yang menerima alias menganggap shahih hadis Mursal tersebut dengan beberapa syarat, yaitu:
a.           Yang memursalkan adalah Tabi`in besar
b.          Yang memursalkan tersebut selalu meriwayatkan hadis dari orang yang termasuk tsiqah, dan tentu tidak pernah ditemukan riwayat dari orang yang tidak tsiqah.
c.           Yang memursalkan itu ketika meriwayatkan hadis tidak menyimpang dari periwayat yang telah diketahui ketsiqahannya
Pendapat ini adalah pendapat Imam Syafi`i dan beberapa ahli ilmu. memandang bahwa hadits mursal itu adalah dhaif, karena tidak dapat dijadikan hujjah. Karena rawi yang digugurkan tersebut tidak diketahui identitasnya. Asy-Syafi’iy mengemukakan pengecualian-pengecualian antara lain:
a.        Hadits mursal dari ibnu’l Musayyab. Sebab pada umumnya ia tidak meriwayatkan hadits selain dari abu Hurairah.
b.        Hadits Mursal yang dikuatkan oleh hadits musnad, baik dhaif maupun shahi.
c.        Hadits mursal yang dikuatkan oleh qiyas.
d.       Hadits mursal yang dikuatkan oleh hadits-hadits mursal yang lain.
Demikianlah beberapa pendapat ulama dalam menyikapi hadis Mursal. Namun meskipun berbeda dalam menyikapi hadis Mursal sebagaimana tersebut, sesungguhnya mereka mempunyai semangat yang relatif sama, yakni ingin menyelamatkan hadis yang diwarisi dari Nabi Muhammad SAW. Hanya saja cara yang ditempuh dan dilakukan memang berbeda, sehingga menghasilkan kesimpulan yang berbeda pula.
Selanjutnya perlu diketahui bahwa ada macam hadis Mursal yang secara umum tidak dianggap sebagai hadis Mursal, melainkan dimasukkan kedalam hadis yang musnad dan marfu’. Jenis hadis Mursal ini memang special, namun tidak mendapatkan pembahasan para ulama, karena memang seluruh ulama telah sepakat memasukkan kedalam hadis Shahih, jenis hadis Mursal tersebut ialah hadis yang dimursalkan oleh seorang sahabat. Sebagaimana kita ketahui bahwa tidak semua sahabat itu mendengar atau melihat langsung apa yang dikatakan atau diperbuat oleh sumber hadis, yakni Nabi Muhamma SAW, tetapi sebagian diantara mereka mendapatkan hadis tersebut dari sesama sahabat.
c.      Sebagian Riwayat Mursal Lebih Shahih dari Riwayat yang Lain.
Hadis yang diirsalkan oleh Sa’id bin Musayyib adalah mursal yang paling sahih, karena kebanyakan riwayatnya diperoleh dari shahabat secara langsung. Maka apabila ia mengirsalkan suatu riwayat, artinya ia menirsalkannya dari seorang shahabat.
Adapun irsalnya az-Zuhri dan Qatadah termasuk mursal yang diragukan, karena dalam irsal mereka berarti hilangnya lebih dari seorang rawi antara mereka dengan Nabi saw, maka kebanyakan hadis mursal dari mereka sesungguhnya adalah mu’dlol.
Mursal dibagi ke dalam dua bagian :
1.     Mursal Jali
Mursal di sini maksudnya yang terputus. Jali artinya yang terang, yang nyata. Jadi mursal jali artinya yang putus dengan nyata-nyata, menurut pembicaraan ilmu hadits, ditentukan mursal jali itu untuk satu hadits yang diriwayatkan seorang rowi dari seorang syaikh, tetapi syaikh ini tidak semasa dengannya.
2.     Mursal Khafi
Mursal di sini sama maksudnya dengan Mursal jali, yaitu dengan makna yang terputus. Khafi artinya yang tersembunyi, yang tidak terang, yang gelap. Jadi mursal khafi ialah putus yang tersembunyi atau putus yang tidak terang.
Dan menurut buku Musthalah hadits Mursal khofi di bagi 2:
a.      Mursal Shahabi :
Jumhur muhadditsiin dan ulama ushul fiqih berpendapat bahwa mursal shahabi adalah shahih dan dapat dijadikan hujjah. Yaitu apa yang dikhabarkan oleh seorang shahabat tentang sesuatu yang telah dikerjakan oleh Nabi atau semisalnya, yang menunjukkan bahwa dia tidak menyaksikan secara langsung karena faktor usianya yang masih kecil, atau karena faktor keterlambatan masuk Islam.
b.     Mursal tabi’i
Mursal artinya terputus sedangkan tabi’I artinya pengikut atau tabi’in. maka mursal tabi’I adalah hadits yang diriwayatkan oleh tabi’in dari nabi baik perkataan, perbuatan atau persetujuan, baik tabi’in senior maupun tabi’in yunior tanpa menyebutkan penghubung antara seorang tabi’in dan nabi SAW yaitu sahabat.
2.     Hadits Mudalas
Abu Ishaq as-Sabi’i adalah Amr bin Abdullah, dia siqah dan banyak meriwayatkan hadis, hanya saja dia dianggap tadlis. Mengenai ia telah mendengarkan hadis dari al-Barra’ bin ‘Azib, jelas telah ditetapkan di dalam beberapa hadis. Hanya pada hadis ini saja ia meriwayatkan dengan ungkapan yang mengandung kemungkinan telah mendengar secara langsung, yaitu dengan ‘an’anah (menggunakan kata ‘an). Padahal hadis ini tidak ia dengarkan langsung dari al-Barra’ bin ‘Azib. Ia mendengarkan hadis tersebut dari Abu Dawud al-A’ma (namanya adalah Nafi’ bin al-Haris), sedangkan ia matruk (tertolak hadisnya) dan dituduh berdusta.
Bukti ia tidak mendengarkan secara langsung ialah, Ibnu Abi Dun-ya mengeluarkan hadis di dalam kitab al-Ikhwan (h.172) dari jalan Abu Bakr bin ‘Iyasy, dari Abu Ishaq, dari Abu Dawud, ia berkata; aku menemui al-Barra’ bin ‘Azib, kemudian aku menjabat tangannya, lalu ia berkata; Aku mendengar Rasulullah saw bersabda… ia menyebutkan hadis di atas.
Di di antara riwayat yang menunjukkan bahwa hadis tersebut berasal dari Abu Dawud al-A’ma adalah; Imam Ahmad mengeluarkan hadis tersebut di dalam Musnad-nya (4/289) dengan jalan, Malik bin Maghul, dari Abu Dawud … dan seterusnya. Dengan demikian, hadis Abu Ishaq dari al-Barra’ adalah Mudallas.
1.      Macam-macam Tadlis
a)                    Tadlis Isnad
b)                    Tadlis Syaikh;
c)                    Tadlis Bilad;
d)                    Tadlis ‘Athf;
e)                    Tadlis as-Sukut.
f)                     Tadlis Taswiyah.
2.       Hukum ‘An‘anah seorang mudallis
Para ulama berbeda pendapat dalam masalah ini, yaitu:
a.     Riwayat mudallis tertolak secara mutlak meskipun jelas-jelas mendengar. Karena perbuatan tadlis itu sendiri merupakan perbutan yang cacat, akan tetapi pendapat ini tidak bisa dijadikan sebagai pegangan.
b.     Apabila tidak secara jelas mendengar, maka riwayatnya tidak bisa diterima.[9]
c.     Ibnu Shalah merinci pendapatnya, yaitu : Apa yang diriwayatkan oleh mudallis dengan lafadz yang memiliki banyak kemungkinan(muhtamal) dan tidak menjelaskan bahwa dia mendengar atau bersambung sanadnya, maka hukumnya adalah mursal dan tidak dijadikan hujjah. Sedang bila lafadz periwayatannya jelas menunjukkan bahwa sanadnya bersambung. Maka diterima dan dijadikan sebagai hujjah.
Secara umum seorang mudallis yang banyak tadlisnya apabila datang dengan membawa riwayat secara ‘an‘anah, dan tidak menyatakan menerima hadis dengan sima’ (mendengar) maka periwayatannya ditolak. Tetapi apabila ia menyatakankan menerima hadis secara sima’ maka riwayat itu dapat diterima.
Adapun orang yang sedikit tadlisnya, yang tidak mentadliskan kecuali dari tokoh yang siqah, maka ‘an‘anahnya ada kemungkinan berarti sima’, kecuali apabila telah jelas bahwa ia mentadliskan suatu hadis. Hal itu ditentukan setelah mengumpulkan jalan-jalan hadisnya dan menguji riwayatnya.
Hadits Syuyukh hukumnya bisa makruh bila orang yang meriwayatkan dari perawi yang lebih kecil umurnya, dan haram bila orang yang tidak tsiqah lalu melakukan tadlis agar tidak diketahui keadaanya, atau membuat pengaburan agar dikira sebagai orang lain yang tsiqah dengan menyamakan nama.
3. Tingkatan Mudallis
Para rawi yang disebut telah melakukan tadlis dikelompokkan ke dalam beberapa tingkatan sesuai dengan banyaknya tadlis mereka, dan kondisi hafalan mereka. Para ulama’ menggolongkan mereka kepada lima tingkatan, yaitu
1.Orang yang tidak dikatakan tadlis kecuali jarang-jarang seperti Yahya bin Sa’id al-Anshari
2.Orang yang tadlisnya ringan, dan hadisnya masih disebutkan di dalam kitab ash-Shahih karena keimamannya di satu sisi dan sedikitnya tadlis mereka di sisi lain, seperti Sufyan bin Sa’id ats-Tsauri, Dia tidak mentadliskan kecuali dari orang yang siqah seperti Sufyan bin Uyainah.
3.Orang yang hadisnya didiamkan oleh sejumlah ulama’, ‘an‘anah mereka tidak diterima, dan tidak cukup untuk hujjah kecuali apabila dinyatakan dengan “mendengar” dan di antara mereka ada yang diterima ‘an‘anahnya selama tidak ada petunjuk yang jelas bahwa hadisnya itu telah ditadliskan, seperti Qatadah ad-Di’amah as-Sadusi14 dan Abu Ishaq as-Sabi’i
4.Orang yang disepakati oleh ahli hadis untuk tidak berhujjah dengan hadisnya yang tidak diriwayatkan dengan ungkapan sima’ karena banyak-nya tadlis mereka dari orang yang lemah dan majhul seperti Muhammad bin Ishaq bin Yassar, dan Abdul Malik bin Abdul Aziz bin Juraij.
5.Orang yang disebut dengan ungkapan lain, selain tadlis, yang mengandung maksud mencela dan menda’ifkannya, hadisnya tertolah meskipun diungkapkan dengan sima’, seperti Abu Junnab al-Kalbiy dan Abu Sa’id al-Biqal.
4.               Perbedaan antara Tadlis dan Mursal Khafi
Perbedaan nya terletak pada hukum ‘an‘anah dari orang yang disebutkan pada salah satu di antara keduanya. Maka pada bab ini sebagian Ahli Ilmu memperluasnya dan menamakan irsal khafi dengan sebutan tadlis. Yang utama, antara keduanya terdapat perbedaan.
Irsal Khafi adalah; seorang ahli hadis meriwayatkan hadis dari guru yang sezaman tetapi tidak pernah bertemu, atau bertemu tetapi ia tidak mendengar hadis darinya. Dalam meriwayatkan hadis itu ungkapannya menggambarkan bahwa ia telah mendengar secara langsung, seperti kata “dari” atau “ia berkata”.
Dengan demikian perbedaan antara Tadlis dan Irsal terletak pada cara sima’nya seorang muhaddis dari gurunya, yang dia riwayatkan hadis darinya. Apabila ia meriwayatkan suatu hadis dari seorang guru yang ia dengar hadis darinya, tetapi hadis itu tidak ia dengar langsung, melainkan dengan adanya perantara, maka itu namanya tadlis. Sedangkan apabila ia meriwayatkan hadis dari seorang guru yang tidak pernah ia lihat, atau dilihatnya tetapi tidak didengar hadis darinya, maka riwayatnya itu dinamakan mursal.
5.               Tambahan; Perbedaan antara Tadlis dan Irsal.
Orang yang dikatakan tadlis, pada umumnya ‘an‘anahnya tertolak sehingga ia memberikan penjelasan pada setiap riwayatnya bahwa ia telah menerima hadis secara sima’ dari seorang guru. Adapun secara khusus, telah dibicarakan dalam pembahasan tentang tingkatan mudallis. Sedangkan orang yang berpendapat, “Sesungguhnya riwayat dari seorang syaikh yang mursal –yang tidak disebut sebagai tadlis- maka ‘an‘anahnya tertolak sehingga ia menjelaskannya periwa-yatannya dengan ungkapan sima’, meskipun sesekali dapat diterima ‘an‘anahnya setelah itu.
6.               Mengenal orang-orang yang disebut sebagai tadlis
Bagi yang ingin mendalami nama-nama mudallis, thabaqatnya dari segi tadlis, silakan merujuk pada kitab-kitab yang telah disusun oleh para ulama’ tentang tadlis dan mudallis. Di antara kitab-kitab yang telah dicetak antara lain;
a.                At-Tabyin li Asma’ al-Mudallisin, karangan Burhanuddin al-Halabiy.
b.               At Tabyiin li Asma Al Mudallisin, karya Al Khathib Al
Baghdadi.
c.                Ta’rif Ahlu at-Taqdis bi Maratib al-Maushufin bi-at-Tadlis, karangan al-Hafidz Ibnu Hajar
d.               Jami’ at-Tahshil fi Ahkam al-Marasil, karangan al-Hafidz Shalahuddin al-‘Ala’i. Ia membahas di dalam kitab itu tentang tadlis dan mudallisnya.
e.                Ittikhaf Dzawi ar-Rusukh biman Rumiya bi at-Tadlis min asy-Syaikh, karangan Fadlilah asy-Syaikh H.ammad bin Muhammad al-Anshari.
Kitab yang terakhir ini sangat bermanfaat, di dalam kitab ini pengarangnya menggabungkan dua kitab pertama di atas, dan memberikan penjelasan terhadap karya as-Suyuthi tentang nama-nama mudallis.
7.               Cara mengetahui Tadlis.
a.      Pemberitahuan dari si mudalisnya sendiri
b.     Penetapan salah seorang imam hadits yang didasarkan pada pengetahuannya yang diperoleh melalui kajian dan penelusuran
8.               Perkataan Ulama’ Tentang Tadlis
a.      Diriwayatkan dari Syu’bah. bahwa ia berkata:”Berzina lebih aku sukai daripada mentadlis(hadits).”
b.     Imam Syafi’I berkata:”Tadlis adalah saudaranya dusta.”
c.      Di riwayatkan dari para hafidz, barang yang diketahui mentadlis para perawi, maka riwayatnya ditolak secara mutlak, walaupun ia meriwayatkan dengan lafadz bersambung serta diketahui dia mentadlis hanya sekali.
d.     Ahmad Muhammad Syakir berkata:” Tujuan mentadlis adalah sama dengan mursal yaitu khawatir kalau syaikhnya diketahui karena akan ditolak.
9.               Penyebab Tercelanya Tadlis
a.      Diragukan mendengar dari syaikh yang belum pernah ia dengar.
b.     Sengaja menutup-nutupi suatu perkara yang disembunyikan.
c.      Diketahui bahwa jika menyebutkan hadits yang ditadliskannya maka ia tidak akan disukai.
d.               Kesimpulan dan Saran
Dari uraian di atas jelaslah bahwa hadis mursal adalah keadaan dimana seorang tabiin besar yang berjumpa dengan sekelompok shahabat mengatakan bahwa Rasulullah mengatakan ini atau Rasulullah melakukan hal ini. Sedangkan hadis mudalas adalah apabila seorang periwayat meriwayatkan (hadits) dari seorang guru yang pernah ia temui dan ia dengar darinya, (tetapi hadits yang ia riwayatkan itu) tidak pernah ia dengar darinya, (sedang ia meriwayatkan) dengan ungkapan yang mengandung makna mendengar, seperti ‘dari’ atau ‘ia bekata’. Kedua jenis hadits tersebut menuai berbagai pendapat dalam pengunaanya sebagai hujjah, ada yang menganggapnya dhoif sehingga tidak bisa dijadikan hujjah, ada juga pendapat yang membolehkan sebagai hujjah namun dengan berbagai syarat dan pengecualian.
Namun demikian baik hadits mursal maupun mudalas mempunyai perbedaan yaitu terletak pada cara sima’nya seorang muhaddis dari gurunya, yang dia riwayatkan hadis darinya. Untuk itu ketelitian dalam menentukan kelayakan hadits sebagai hujjah sangat diperlukan, sehingga tidak terjadi kesalahan dalam pengambilan dasar hukum atau hujjah.

C.    PEMBAHASAN
1.     Pokok-pokok Argumentasi penulis dalam pendahuluan
Dalam review jurnal ini penulis menyampaikan gagasannya mengenai jurnal yang direview berdasarkan rasa keingintahuan penulis terhadap materi dari jurnal tersebut.
2.     Pemilihan Kata dan Kajian Teori
Pemilihan kata yang diambil oleh pembuat jurnal sudah relevan dengan topic yang dibahas, bahasa dan tata letaknya sudah sesuai. Dalam mencantumkan Kajian teori, penulis memikirkan point-point penting yang sekiranya memudahkan dalm memahami isi dari jurnal tersebut. Pemilihan diksinya sudah tepat, yang kurang sesuai adalah penyusunan isinya terlalu panjang lebar. Biasanya jurnal berisi point-point penting materi yang hanya perlu dibahas
3.     Metode Penelitian yang dilakukan
Penulis memilih metode deskriptif analisis dikarenakan sesuai dengan topic yang dibahas. Sehingga memudahkan penulis dalam mereview jurnal yang berupa hafalan dan pemahaman yang benar terkait hadis mursal maupun mudallas.
4.     Kerangka berfikir penulis pada bagian pembahasan
v Kelebihan jurnal
Kelebihan dari artikel jurnal ini adalah membahas langsung tentang hadis mursal maupun mudallas sehingga penelitian ini akan sangat bermanfaat sekali mengingat masih sangat jarang penelitian yang mengarah pada studi ulumul hadits terutama hadis musal maupun mudallas. Jurnal ini menjelaskan secara detail mengenai pembagian nya. Dari ukuran spasi maupun jenis font yang digunakan sudah baik. Ayat-ayat yang digunakan juga jelas maknanya, dapat difahami oleh orang awam.
v Kekurangan jurnal
      Kekurangan dari artikel jurnal ini adalah kurang efektif dalam pengolahan kalimatnya. Contoh, karena jurnal ini membahas tentang perbedaan hadis mursal maupun mudallas maka isinya pasti perbedaan dilihat dari sudut pandang manapun. Namun dalam jurnal ini terbatas pada ruang lingkup masing-masing hadits saja. Kekurangan yang tampak terlebih dahulu adalah jumlah halaman dari jurnal ini melebihi batas dari jumlah jurnal yang baik yaitu sekitar 8 sampai 15 halaman. Sehingga menjadikannya kuraf efektif untuk dibaca maupun dipahami karena terkesan memutar-mutar pokok bahasannnya.
5.     Kesimpulan dan saran yang diajukan penulis
Kesimpulan dari penulis memiliki hasil yang sama dengan kesimpulan dalam jurnalnya. Saran dari penulis adalah gunakan kosakata seperlunya saja, tidak memutar-mutar. Apabila ingin memberi contoh, maka gunakan satu saja yang cukup untuk mewakili contoh-contoh lainnya  agar terkesan efektif dan efisien. Pemilihan point-point penting juga perlu diperhatikan, mana yang perlu dicantumkan mana yang tidak sehingga dapat memperjelas topic yang ingin disampaikan bukan menambah beban topic yang akhirnya nanti keluar dari topic yang sedang dibahas.
D.    KESIMPULAN DAN SARAN
Jurnal yang direview memiliki pokok bahasan yang sesuai dengan topiknya. Kesimpulan mengenai topic dari jurnal akan sama halnya dengan review dari penulis. Hanya saja pada akhir isi dari jurnal tersebut kurang relevan dengan topic yang dibicarakan. Jurnal yang baik seharusnya berjumlah  Sehingga penulis menyarankan beberapa perubahan yaitu:
1.     Perhatikan kosa kata dalam menyusun kalimat demi kalimat agar tidak berbelit-belit
2.     Fokus pada topic yang dituju sehingga nantinya tidak akan keluar dari pokok bahasan nya
3.     Apabila telah usai perhatikan juga jumlah halaman jurnal tersebut, sesuai kaidah jurnal yang baik atau tidak.
4.     Apabila memberi penjelasan sebaiknya yang mudah dipahami, Apabila penjelasan yang disertakan lebih rumit, pembaca tentu merasa bingung dan susah memahaminya.
Sekian saran dari penulis. Apabila ada salah-salah kata mohon dimaafkan.




[1] Hadits Shahih Lighairihi, HR. Malik; al-Hakim, al-Baihaqi, Ibnu Nashr, Ibnu Hazm. Dishahihkan oleh Syaikh Salim al-Hilali di dalam At Ta’zhim wal Minnah fil Intisharis Sunnah, hlm. 12-13)
[2] HR. Trimidzi, dalam kitab Al Ilmu, haditsnya hasan shahih
[3] An-Nukat ‘ala Ibni ash-Sholah, Ibnu Hajar, j.1 h.225
[4] Tadrib ar-Rawi, as-Suyuthy, j.1 h.41
[5] Mahmmud thahan, Taisir Musthalah Hadist, (kuwait: haramain,1985), 71
[6] Mahmud Thohan,Taysir Musthalahul Hadis(Beirut: Da’rul Fakr), hal. 166
[7] M. Syuhudi Ismail, Pengantar Ilmu Hadist, (bandung: angkasa,1991) 172

[8] Syaikh Mana’ Al Qaththan, Terjemah Mabahits fi ‘Ulum Al Hadits, 139
[9] Syaikh Mana’ Al Qaththan, Terjemah Mabahits fi ’Ulum Al Hadits, hlm 141 dan 143.Muhammad bin Shalih Al ’Utsaimin, Mushthalah Al Hadits lis Sanah Ats Tsalitsah AtsTsanawiyah, hlm 17. DR. Mahmud Thahan, Taisiru Al Mushthalah Al Hadits, hlm 83


No comments:

Post a Comment