METODE
IJTIHAD
(Maslahah Mursalah dan Istishab)
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah Ushul Fiqih Semester II
DosenPengampu: Masturi, Lc.,M.Pd.
DisusunOleh:
Kelompok 7
1.
Lusiana
Maulida (1710610063)
2.
M.
Fathur Rahman (1710610064)
3.
Zaini
Faiq (1710610065)
PROGAM
STUDI TADRIS MATEMATIKA
JURUSAN
TARBIYAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS
2018
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Dalam
ilmu ushul fiqh kita akan banyak diperkenalkan pada pembahasan tentang berbagai
macam sumber dan dalil hukum yang tidak disepakati. Dalil-dalil hukum
tersebut para jumhur ulama ada dalil hukum yang tidak disepakati dan dalil yang
disepakati.
Selain
dari empat dalil hukum yang disepakati yang mana para ulama sepakat, tetapi ada
juga dalil hukum yang mana mayoritas ulama islam tidak sepakat atas penggunaan
dalil-dalil tersebut sebagian diantara mereka.Ada yang menggunakan dalil-dalil
ini sebagai alasan penetapan hukum syara’, dan sebagian yang lain
mengingkarinya. Oleh karena itu sumber hukum yang tidak disepakati oleh para ulama
itu banyak dan yang kami temui ada lima hukum, tetapi dalam pembahasan ada 2 yang
akan dibahas yaituMaslahah Mursalah dan Al-istishab.
B.
Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud Maslahah Mursalah?
2. Apa saja macam-macam Maslahah Mursalah?
3. Bagaimana kehujjahan Maslahah Mursalah?
4. Apa yang dimaksud Istishab?
5. Apa saja macam-macam Istishab?
6. Bagaimana kehujjahan Istishab?
C.
Tujuan
1. Mengetahui pengertian dari Maslahah
Mursalah dan Istishab
2. Mengetahui macam-macam Maslahah Mursalah
dan Istishab
3. Mengetahui kehujjahan Maslahah Mursalah
dan Istishab
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Maslahah Mursalah
Maslahahmursalahmenurutlughat terdiri dari dua kata, yaitu
maslahah danmursalah. Kata maslahah berasal dari kata kerja bahasa arabيَصْلُحُ – صَلَحَ menjadi صُلْحاًatau مَصْلَحَةً yang berarti sesuatu yang
mendatangkan kebaikan. Sedangkan katamursalah berasal dari kata kerja yang
ditasrifkan sehingga menjadi isim maf’ul, yaitu: مُرْسِلٌ – اِرْساَلاً – يُرْسِلُ – اَرْسَلَ menjadiمُرْسَلٌ yang berarti diutus, dikirim atau dipakai (dipergunakan).
Perpaduan dua kata menjadi maslahah mursalah yang berarti prinsip kemaslahatan
(kebaikan) yang dipergunakan menetapkan suatu hukum Islam.Juga dapat berarti,
suatuperbuatan yang mengandungnilaibaik (bermanfaat)[1].
Menurut Muhammad Hasbi As-Siddiqi, maslahah ialah:
اَلْمُحَافَظَةُ عَلَى مَقْصُوْدِ الشَّارِعِ بِدَفْعِ
الْمَفَاسِدِ عَنِ الْخَلْقِ.
Artinya:
“Memelihara tujuan syara’ dengan jalan menolak segala
sesuatu yang merusakkan makhluk.”[2]
Menurut Imam Ar-Razi
maslahahadalah sebagai berikut:
بِاَنَّهَا عِبَارَةٌ عَنِ الْمَنْفَعَةِ الَّتِيْ
قَصَدَهاَ الشَّارِعُ الْحَكِيْمُ لِعِبَادِهِ فِى حِفْظِ دِيْنِهِمْ
وَنُفُوْسِهِمْ وَعُقُوْلِهِمْ وَنَسْلِهِمْ وَاَمْوَالِهِمْ.
Artinya:
“Maslahah adalah
perbuatan yang bermanfaat yang telah diperintahkan oleh musyarri’ (Allah)
kepada hambaNya tentang pemeliharaan agamanya, jiwanya, akalnya, keturunannya,
dan harta bendanya.”
Sedangkan menurut Imam
Al-Ghazali:
اَمَّا الْمَصْلَحَةُ فَهِيَ عِبَارَةٌ فِى الْاَصْلِ
عَنْ جَلْبِ مَنْفَعَةٍ اَوْ دَفْعِ مَضَرَّةٍ.
Artinya:
“Maslahah pada dasarnya ialah meraih manfaat dan
menolak madarat.” (lihat: Al-Mustafa oleh Imam Al-Ghazali, Juz I, halaman 39)[3].
Adapun
definisi lain mengenaimaslahah mursalah, yaitu Menurut bahasa, maslahan berarti
manfaat dan kebaikan, sedang mursalahberarti lepas. Menurut istilah,masalahah
mursalah ialah kemaslahatan yang tidak di tetapkan oleh syara’ dalam penetapan
hukum dan tidak ada dalil yang menyuruh mengambil atau menolaknya.
B.
Macam-Macam Maslahah Mursalah
Dari segi pandangan syara’ maslahah di
bagi menjadi 3,yaitu[4]:
1.
Maslahah Mu’tabarah
Yaitu kemaslahatan yang didukung oleh
syari’ dan dijadikan dasar dalam penetapan hukum.
Misalnya kewajiban puasa pada bulan ramadhan. Mengandung kemaslahatan
bagi manusia, yaitu untuk mendidik manusia agar sehat secara jasmani maupun
rohani. Kemaslahatan ini melekat langsung pada kewajiban puasa ramadhan dan
tidak dapat dibatalkan oleh siapapun. Demikian juga kemaslahatan yang melekat
pada kewajiban zakat, yaitu untuk mendidik jiwa muzakki agar tebebas dari sifat
kikir dan kecintaan yang berlebihan pada harta, dan untuk menjamin kehidupan
orang miskin. Kemaslahatan ini tidak dapat dibatalkan, sebab jika dibatalkan
akan menyebabkan hilangnya urgensi dan relevansi dari pensyariatan zakat.
2.
Maslahah Mulghoh
yaitu kemaslahatan yang ditolak oleh syar’i dan syar’i menetapkan
kemaslahatan lain selain itu.
Misalnya adalah kemaslahatan perempuan menjadi imam bagi laki-laki yang
bertentangan dengan kemaslahatan yang di tetapkan oleh syar’i yaitu pelarangan
perempuan menjadi imam bagi laki-laki. Demikian juga kemaslahatan yang
diperoleh oleh seorang pencuri, ditolak oleh syar’i dengan mengharamkan
pencurian, demi melindungi kemaslahatan yang lebih besar, yaitu kemaslahatan
rasa aman bagi masyarakat.
3.
Maslahah Mursalah
Yaitu kamaslahatan yang belum tertulis
dalam nash dan ijma’, serta tidak ditemukan nash atau ijma’ yang melarang atau
memerintahkan mengambilnya. Kemaslahatan ini dilepaskan oleh syari’ dan
diserahkan kepada manusia untuk mengambil atau tidak mengambilnya. Jika
kemaslahatan itu diambil oleh manusia, maka akan mendatangkan kebaikan bagi mereka,
jika tidak diambil juga tidak akan mendatangkan dosa.
Misalnya, pencatatan perkawinan, penjatuhan talak di pengadilan,
kewajiban memiliki SIM bagi pengendara kendaraan bermotor, dan lain-lain.
Sedangkan ulama’
ushulmembagi maslahah kepada tiga bagian[5],
yaitu:
1. Maslahah Dharuriyah
Maslahah Dharuriyah yaitu segala hal harus ada demi kemaslahatan mereka.
Bila hal itu tidak ada atau tidak terpelihara secara baik kehidupan manusia
akan kacau, kemaslahatannya tidak terwujud, baik di dunia maupun di akhirat.
Perkara-perkara ini dapat dikembalikan kepada lima perkara yang
merupakan perkara pokok yang harus dilindungi, yaitu agama, jiwa, akal,
keturunan, dan harta.
2. Maslahah Hajjiyah
Maslahah
hajjiyah merupakan semua bentuk perbuatan dan tindakan yang tidak terkait
dengan dasar yang lain (yang ada pada maslahah dharuriyah) yang dibutuhkan oleh
masyarakat tetap juga terwujud, tetapi dapat terhindarkan kesulitan dan
menghilangkan kesempitan[6].
Hajjiyah ini tidak rusak dan terancam jika tidak dipenuhi tetapi hanya
menimbulkan kepicikan dan kesempitan, dan hajjiyah ini berlaku dalam lapangan
ibadah, adat, muamalat dan bidang jinayat.
Misalnya
diperbolehkan seseorang tidak berpuasa
dalam bulan ramadhan ketika sedang sakit atau sedang dalam perjalanan
jauh. Begitu pula diperbolehkannya seseorang mengqashar shalat bila ia sedang
dalam bepergian jauh.
3. Maslahah Tahsiniyah
Maslahah tahsiniyah merupakan tindakan atau sifat-sifat yang pada prinsipnya
berhubungan dengan makarimul akhlak serta memelihara keutamaan dalam bidang
ibadah, adat dan muamalah[7].
Imam Abu Zahrah menambahkan bahwa termasuk dalam lapangan tahsiniyah
adalah melarang wanita-wanita muslimat keluar ke jalan-jalan umum memakai
pakaian yang seronok atau perhiasan-perhiasan yang mencolok mata. Sebab hal ini
bisa menimbulkan fitnah dikalangan masyarakat banyak yang pada gilirannya akan
terjadi hal-hal yang tidak diinginkan oleh keluarga, terutama oleh agama.
Selanjutnya dikatakan bahwa adanya larangan tersebut bagi wanita
sebenarnya merupakan kemuliaan baginya untuk menjaga kehormatan dirinya agar
tetap bisa menjadi wanita yang baik dan menjadi kebanggaan keluarga dan agama
di masa mendatang[8].
C.
Kehujjahan Maslahah Mursalah
Dalam
kehujjahan maslahah mursalah terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama
ushul,diantaranya[9]:
1. Maslahah mursalah tidak dapat menjadi
hujjah atau dalil menurut ulama-ulama syafi’iyah, ulama-ulama hanafiyyah dan
sebagian ulama Malikiyah, dengan alasan[10]:
a.) Bahwa dengan nash-nash dan qiyas yang
dibenarkan, syariat senantiasa memperlihatkan kemaslahatan umat manusia. Tak
ada satupun kemaslahatan manusia yang tidak diperhatikan oleh syari’at melalui
petunjuknya.
b.) Pembinaan hukum islam yang semata-mata
didasarkan kepada maslahat berarti membuka pintu bagi keinginan hawa nafsu.
2. Menurut Al Ghazali, maslahah mursalah
yang dapat dijadikan dalil hanya maslahah dharuriyah. Sedangkan maslahah
hajjiyah dan maslahah tahsiniyah tidak dapat dijadikan dalil.
3. Menurut Imam Malik maslahah mursalah
adalah dalil hukum syara’. Pendapat ini juga diikuti oleh Imam haromain. Mereka
mengemukakan argumen sebagai berikut:
a.) Nash-nash syara’ menetapkan bahwa
syari’at itu diundangkan untuk merealisasikan kemaslahatan manusia, karenanya
berhujjah dengan maslahah mursalah sejalan dengan karakter syara’ dan
prinsip-prinsip yang mendasarinya serta tujuan pensyariatannya.
b.) Kemaslahatan manusia serta sarana
mencapai kemaslahatan itu berubah karena perbedaan tempat dan keadaan. Jika
hanya berpegang pada kemaslahatan yang ditetapkan berdasarkan nash saja, maka
berarti mempersempit sesuatu yang Allah telah lapangkan dan mengabaikan banyak
kemaslahatan bagi manusia, dan ini tidak sesuai dengan prinsip-prinsip umum
syariat.
c.) Para mujtahid dari kalangan sahabat
dan generasi sesudahnya banyak melakukan ijtihad berdasarkan maslahah dan tidak
ditentang oleh seorang pun dari mereka. Karenanya ini merupakan ijma’.[11]
D.
Pengertian Istishab
Secara
bahasa istishab berasal dari bahasa arab yang maknanya yaitu adanya hubungan
perkawinan. Sedangkan secara istilah, menurut ulama ushul yaitu menetapkan
sesuatu menurut keadaan sebelumya sehingga terdapat dalil yang menunjukkan
perubahan keadaan, atau menjadikan hukum yang telah ditetapkan pada masa lalu
secara kekal menurut keadaan sehingga terdapat dalil yang menunjukkan atas
perubahannya.[12]
Sedangkan
pengertianistishab menurut al-Syaukani adalah apa yang telah ditetapkan pada
masa lalu, pada dasarnya masih dapat dilestarikan pada masa yang akan datang
selama tidak didapai sesuatu yang mengubahnya.[13]
Dengan
demikian dapat disimpulkan bahwasanya istishabadalah penetapan hukum atas
sesuatu berdasarkan ketetapan hukum yang terdaulu, sampai adanya dalil yang
dapat membuktikan perubahan hukumnya.
E.
Macam-MacamIstishab
Para ulama
ushul Fiqih mengemukakan bahwa istishab itu ada lima macam, Yaitu:[14]
1.
Istishab hukmul ibahah al ashliyah. Maksudnya,
menetapkan hukum sesuatu yang bermanfaat bagi manusia adalah boleh, selama
belum ada dalil yang menunjukkan keharamannya. Contohnya: seluruh pepohonan
yang ada dihutan merupakan milik bersama manusia dan masing-masing berhak
menebang dan mengambil manfaatkan pohon dan buahnya, sampai pada bukti yang
menunjukkan bahwa hutan itu telah menjadi milik orang.
2.
Istishab Al-Bara`at Al Ashliyat. Yaitu kontinuitas
hukum dasar ketiadaan berdasarkan argumentasi rasio dalam konteks hukum-hukum
syar’i. Maksudnya memberlakukan kelanjutan status ketiadaan dengan adanya
peniadaan yang dibuat oleh akal lantaran tidak adanya dalil syar’i yang
menjelaskannya. Dalam objektivitasnya, istishab tersebut bereferensi kepada
hukum akal dalam hukum ibadah atau baraatul ashliyah (kemurnian menurut
aslinya). Akal menetapkan bahwa dasar hukum pada segala yang diwajibkan adalah
dapat diwajibkan sesuatu, kecuali apabila datang dalil yang tegas
mewajibkannya. Contoh: hukum wudhu seseorang dianggap berlangsung terus sampai
adanya penyebab yang membatalkannya.
3.
Istishab Al-‘Umumi. Istishab terhadap dalil yang
bersifat umum sebelum datangnya dalil yang mengkhususkannya dan istishabdengan
nash selama tidak ada dalil yang nash (yang membatal-kannya). Suatu nash yang
umum mencakup segala yang dapat dicakup olehnya sehingga datang suatu nash lain
yang menghilangkan tenaga pencakupannya itu dengan jalantakhsish. Atau sesuatu
hukum yang umum, tidaklah dikecualikan sesuatupun daripadanya, melainkan dengan
ada suatu dalilyang khusus. Contohnya: kewajiban puasa yang berlaku bagi umat
sebelum Islam, tetap wajib wajib bagi umat Islam (QS.Al-Baqarah : 183) selama
tidak ada nash lain yang membatalkannya.
4.
Istishab An-Nashshi (Istishab Maqlub/Pembalikan).
Yaitu istishab pada kondisi sekarang dalam menentukan status hukum pada masa
lampau, sebab istishab pada bentuk-bentuk sebelumnya, merupakan penetatapan
sesuatu pada masa kedua berdasarkan ketetapannya pada masa pertama lantaran
tidak ditemukannya dalil secara spesifik. Urgensinya, dalam suatu dalil (nash)
terus-menerus berlaku sehingga di-nasakh-kan oleh sesuatu nash, yang lain.
Contoh: kasus adanya seseorang yang sedang dihadapkan pertanyaan, apakah
Muhammad kemarin berada di tempat ini?,padahal kemarin ia benar-benar melihat
Muhammad disini. Maka ia jawab, benar ia berada disini kemarin.
5.
Istishab Al-Washfi Ats-Tsabiti.Sesuatu yang telah
diyakini adanya, atau tidak adanya masa yang telah lalu, tetaplah hukum
demikian sehingga diyakini ada perubahannya. Disebut pula dengan istishabul madhi
bilhali yakni menetapkan hukum yang telah lalu sampai kepada masa sekarang.
Yaitu istishab terhadap hukum yang dihasilkan dari ijma’ dalam kasus yang dalam
perkembangannya memicu terjadinya perselisihan pendapat. Contoh: Kasus orang
yang bertayamum, dalam pertengahan shalat melihat air. Menurut ijma’ ditetapkan
shalatnya tidak batal, keabsahan shalat itu ditentukan sebelum melihat air. Hal
ini menunjukkan pula pada keberlanjutan ketetapan hukum, sampai ditemukan
adanya dalil yang menunjukkan batalnya penetapan tersebut.
F.
Kehujjahan Istishab
Ulama
berbeda pendapat mengenai kebolehan istishab sebagai metode ijtihad ketika
tidak ada keterangan dalam dalil al-Qur’an dan sunnah. Ada yang menerima dan
ada pula yang menolaknya.
Ulama yang
menerima istishab sebagai metode penetapan hukum yaitu sebagai berikut:[15]
menurut
mayoritas ulama Hanafiah, khususnya mutaakhirin, istishab bisa dijadikan hujjah
untuk menetapkan hukum yang telah ada sebelumnya dan menganggap hukum itu tetap
berlaku pada masa yang akan datang, tetapi tidak bisa menetapkan hukum yang
akan ada. Alasan mereka seorang mujtahid dalam meneliti hukum suatu masalah
yang sudah ada, mempunyai gambaran bahwa hukumnya sudah ada atau sudah di
batalkan. Akan tetapi ia tidak mengetahui atau tidak menemukan dalil yang
menyatakan bahwa hukum itu sudah dibatalkan. Dalam kaitan ini, mujtahid
tersebut harus berpegang kepada hukum
yang sudah ada, karena ia tidak mengetahui adanya dalil yang membatalkan hukum
itu. Namun penetapan ini hanya berlaku pada kasus yang sudah ada hukumnya dan
tidak berlaku bagi kasus yang akan ditetapkan hukumnya. Artinya, istishab hanya
bisa dijadikan hujjah untuk mempertahankan hukum yang sudah ada, selama tidak
ada dalil yang membatalkan hukum itu, tetapi tidak berlaku untuk menetapkan hak
yang baru muncul.
Adapun
ulama yang menolakistishab sebagai metode ijtihadyaitu sebagai berikut:[16]
Ulama
Malikiyah, Syafi’iyyah,zhahiriyah dan syiah berpendapat bahwa istishab bisa
dijadikan hujjah secara mutlak untuk menetapkan hukum yang sudah ada, selama
belum ada dalil yang mengubahnya. Alasannya adalah, sesuatu yang telah
ditetapkan pada masa lalu, selama tidak ada dalil yang mengubahnya, baik secara
qath’i maupun zhanni, maka semestinya hukum yang telah ditetapkan itu berlaku
terus, karena di duga keras belum ada perubahan. Alasan yang menunjukkan
berlakunya berlakunya syari’at di zaman Rasulullah Saw sampai hari kiamat
adalah menduga keras berlakunya syariat itu sampai sekarang, tanpa ada dalil
yang menasakh-kannya.
BAB III
PENUTUP
A.
Simpulan
1.
Maslahah mursalah berarti kemaslahatan yang tidak di tetapkan oleh
syara’ dalam penetapan hukum dan tidak ada dalil yang menyuruh mengambil atau
menolaknya.
2.
Macam-macam
maslahah mursalah menurut syara’ ada 3, yaitu maslahah mu’tabarah, maslahah
mulghoh, dan maslahah mursalah.
Menurut ushul maslahah dibagi menjadi 3, yaitu maslahah dharuriyah,
hajjiyah, dan tahsiniyah.
3.
Ulama’
berbeda pendapat mengenai kehujjahan maslahah mursalah. Ulama yang menerimanya adalah
dari madzab malikiyah.Ulama’ yang menolaknya adalah dari madzab syafi’iyah, hanafiyah,
dan sebagian malikiyah.
4.
Istishab
berarti penetapan hukum atas sesuatu berdasarkan ketetapan hukum yang terdaulu,
sampai adanya dalil yang dapat membuktikan perubahan hukumnya.
5.
Macam-macam
istishab ada 5, yaitu istishab hukmul ibahah al ashliyah, istishab al bara’at
al ashliyat,istishab al umumi, istishab an Nashshi, dan istishab washfi ats
tsabuti.
6.
Ulama’
berbeda pendapat mengenai kehujjahan istishab.
Ulama’ yang menerimanya adalah dari madzabhanafiyah, sedangkan
ulama’ yang menolaknya dari madzab syafi’iyah, zhahiriyah, dan syiah.
B.
Saran
Kami menyadari
bahwa makalah yang kami susun masih jauh dari kesempurnaan, maka dari itu kami
membutuhkan kritik dan saran yang membangun demi perbaikan makalah kami
selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA
Umam,
Chaerul, dkk. 2000. Ushul Fiqih I. Bandung: CV. PustakaSetia.
Amiruddin,
Zen. 2009. Ushul Fiqih. Yogyakarta: Teras.
Khallaf,
Abdul Wahab. 1994. Ilmu Ushul Fiqh. Semarang: Dina Utama.
Suwarjin.
2012. Ushul Fiqh. Yogyakarta: Teras.
Koto,
Alaiddin. 2004. Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqih. Jakarta: PT. RajaGrafindoPersada
Asmuni,
Yusran. 1996. DirasahIslamiyah II; Pengantar Studi Sejarah Kebudayaan Islam dan
Pemikiran. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.
Kallaf,
Abdul Wahhab, 2000. Kaidah-kaidah Hukum Islam: Ilmu Ushul Fiqh.Jakarta: raja
grafindo Persada.
Asmawi.
2011. Perbandingan Ushul Fiqh. Jakarta: Amzah.
Syarifuddin,
Amir. 2001. Ushul fiqh. Jakarta: Logos.
Suratmaputra,
Ahmad Munif. 2002FilsafatHukum Islam Al-Ghazali: Mashlahah-Mursalah dan
Relevansinya dengan Pembaharuan Hukum Islam. Jakarta: PustakaFirdaus.
Sesi Tanya Jawab
SOAL
1.
Adakah
hubungan antara istishab dan mashalihul mursalah ? (Setiti Minarnik 1710610070)
2.
Apakah
fungsi dari istishab ? (M. Adib Zaki Iqbal 1710610046)
3.
Berikan
contoh istishab dan mashalihul mursalah ! (Lailatun Nikmah 1710610058)
JAWABAN
1.
Hubungan
antara istishab dan mashalihul mursalah adalah sama-sama digunakan untuk
menentukan suatu hukum. (Lusiana Maulida 1710610063)
2.
a). Untuk menentukan suatu hukum dalam Islam.
b). Mempermudah menetapkan suatu hukum berdasarkan
ketetapan hukum yang terdahulu, sampai adanya dalil yang dapat membuktikan
perubahan hukumnya.(M.Fathur Rahman 1710610064)
3. Contoh
maslahah mursalah : diperbolehkan seseorang tidak berpuasa dalam bulan ramadhan ketika sedang sakit atau
sedang dalam perjalananjauh. Begitu pula diperbolehkannya seseorang mengqashar
shalatbilaia sedang dalam bepergian jauh.
Contoh Istishab : seluruh pepohonan yang
ada dihutan merupakan milik bersama manusia dan masing-masing berhak menebang
dan mengambil manfaatkan pohon dan buahnya, sampai pada bukti yang menunjukkan
bahwa hutan itu telah menjadi milik orang. (Zaini Fa’iq 1710610065)
[2]Suratmaputra, Ahmad Munif, FilsafatHukum Islam Al-Ghazali:
Mashlahah-MursalahdanRelevansinyadenganPembaharuanHukum Islam, (Jakarta:
PustakaFirdaus, 2002), hlm. 104.
[12]Abdul Wahhab Kallaf, Kaidah-kaidah Hukum Islam: Ilmu Ushul Fiqh,
terj. Noer Iskandar al-Barsany dan Moch. Tolchah Mansoer, (Jakarta: raja
grafindo Persada, 2000), hlm. 77.
No comments:
Post a Comment