Wednesday, September 19, 2018

metode ijtihad


METODE IJTIHAD
(Maslahah Mursalah dan Istishab)
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah Ushul Fiqih Semester II


DosenPengampu: Masturi, Lc.,M.Pd.
DisusunOleh:
Kelompok 7
1.     Lusiana Maulida               (1710610063)
2.     M. Fathur Rahman           (1710610064)
3.     Zaini Faiq                         (1710610065)
 

PROGAM STUDI TADRIS MATEMATIKA
JURUSAN TARBIYAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS
2018
BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Dalam ilmu ushul fiqh kita akan banyak diperkenalkan pada pembahasan tentang berbagai macam sumber dan dalil hukum yang tidak disepakati.  Dalil-dalil hukum tersebut para jumhur ulama ada dalil hukum yang tidak disepakati dan dalil yang disepakati.
            Selain dari empat dalil hukum yang disepakati yang mana para ulama sepakat, tetapi ada juga dalil hukum yang mana mayoritas ulama islam tidak sepakat atas penggunaan dalil-dalil tersebut sebagian diantara mereka.Ada yang menggunakan dalil-dalil ini sebagai alasan penetapan hukum syara’, dan sebagian yang lain mengingkarinya. Oleh karena itu sumber hukum yang tidak disepakati oleh para ulama itu banyak dan yang kami temui ada lima hukum, tetapi dalam pembahasan ada 2 yang akan dibahas yaituMaslahah Mursalah dan Al-istishab.

B.    Rumusan Masalah
1.     Apa yang dimaksud Maslahah Mursalah?
2.     Apa saja macam-macam Maslahah Mursalah?
3.     Bagaimana kehujjahan Maslahah Mursalah?
4.     Apa yang dimaksud Istishab?
5.     Apa saja macam-macam Istishab?
6.     Bagaimana kehujjahan Istishab?
C.    Tujuan
1.     Mengetahui pengertian dari Maslahah Mursalah dan Istishab
2.     Mengetahui macam-macam Maslahah Mursalah dan Istishab
3.     Mengetahui kehujjahan Maslahah Mursalah dan Istishab




BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Maslahah Mursalah
Maslahahmursalahmenurutlughat terdiri dari dua kata, yaitu maslahah danmursalah. Kata maslahah berasal dari kata kerja bahasa arabيَصْلُحُ – صَلَحَ menjadi صُلْحاًatau مَصْلَحَةً yang berarti sesuatu yang mendatangkan kebaikan. Sedangkan katamursalah berasal dari kata kerja yang ditasrifkan sehingga menjadi isim maf’ul, yaitu: مُرْسِلٌ – اِرْساَلاً – يُرْسِلُ – اَرْسَلَ menjadiمُرْسَلٌ yang berarti diutus, dikirim atau dipakai (dipergunakan). Perpaduan dua kata menjadi maslahah mursalah yang berarti prinsip kemaslahatan (kebaikan) yang dipergunakan menetapkan suatu hukum Islam.Juga dapat berarti, suatuperbuatan yang mengandungnilaibaik (bermanfaat)[1].
Menurut Muhammad Hasbi As-Siddiqi, maslahah ialah:
اَلْمُحَافَظَةُ عَلَى مَقْصُوْدِ الشَّارِعِ بِدَفْعِ الْمَفَاسِدِ عَنِ الْخَلْقِ.
Artinya:
“Memelihara tujuan syara’ dengan jalan menolak segala sesuatu yang merusakkan makhluk.”[2]
Menurut Imam Ar-Razi maslahahadalah sebagai berikut:
بِاَنَّهَا عِبَارَةٌ عَنِ الْمَنْفَعَةِ الَّتِيْ قَصَدَهاَ الشَّارِعُ الْحَكِيْمُ لِعِبَادِهِ فِى حِفْظِ دِيْنِهِمْ وَنُفُوْسِهِمْ وَعُقُوْلِهِمْ وَنَسْلِهِمْ وَاَمْوَالِهِمْ.
Artinya:
“Maslahah adalah perbuatan yang bermanfaat yang telah diperintahkan oleh musyarri’ (Allah) kepada hambaNya tentang pemeliharaan agamanya, jiwanya, akalnya, keturunannya, dan harta bendanya.”
Sedangkan menurut Imam Al-Ghazali:
اَمَّا الْمَصْلَحَةُ فَهِيَ عِبَارَةٌ فِى الْاَصْلِ عَنْ جَلْبِ مَنْفَعَةٍ اَوْ دَفْعِ مَضَرَّةٍ.
Artinya:
“Maslahah pada dasarnya ialah meraih manfaat dan menolak madarat.” (lihat: Al-Mustafa oleh Imam Al-Ghazali, Juz I, halaman 39)[3].
Adapun definisi lain mengenaimaslahah mursalah, yaitu Menurut bahasa, maslahan berarti manfaat dan kebaikan, sedang mursalahberarti lepas. Menurut istilah,masalahah mursalah ialah kemaslahatan yang tidak di tetapkan oleh syara’ dalam penetapan hukum dan tidak ada dalil yang menyuruh mengambil atau menolaknya.
B.    Macam-Macam Maslahah Mursalah
Dari segi pandangan syara’ maslahah di bagi menjadi 3,yaitu[4]:
1.      Maslahah Mu’tabarah
Yaitu kemaslahatan yang didukung oleh syari’ dan dijadikan dasar dalam penetapan hukum.
      Misalnya kewajiban puasa pada bulan ramadhan. Mengandung kemaslahatan bagi manusia, yaitu untuk mendidik manusia agar sehat secara jasmani maupun rohani. Kemaslahatan ini melekat langsung pada kewajiban puasa ramadhan dan tidak dapat dibatalkan oleh siapapun. Demikian juga kemaslahatan yang melekat pada kewajiban zakat, yaitu untuk mendidik jiwa muzakki agar tebebas dari sifat kikir dan kecintaan yang berlebihan pada harta, dan untuk menjamin kehidupan orang miskin. Kemaslahatan ini tidak dapat dibatalkan, sebab jika dibatalkan akan menyebabkan hilangnya urgensi dan relevansi dari pensyariatan zakat.
2.      Maslahah Mulghoh
      yaitu kemaslahatan yang ditolak oleh syar’i dan syar’i menetapkan kemaslahatan lain selain itu.
      Misalnya adalah kemaslahatan perempuan menjadi imam bagi laki-laki yang bertentangan dengan kemaslahatan yang di tetapkan oleh syar’i yaitu pelarangan perempuan menjadi imam bagi laki-laki. Demikian juga kemaslahatan yang diperoleh oleh seorang pencuri, ditolak oleh syar’i dengan mengharamkan pencurian, demi melindungi kemaslahatan yang lebih besar, yaitu kemaslahatan rasa aman bagi masyarakat.
3.      Maslahah Mursalah
Yaitu kamaslahatan yang belum tertulis dalam nash dan ijma’, serta tidak ditemukan nash atau ijma’ yang melarang atau memerintahkan mengambilnya. Kemaslahatan ini dilepaskan oleh syari’ dan diserahkan kepada manusia untuk mengambil atau tidak mengambilnya. Jika kemaslahatan itu diambil oleh manusia, maka akan mendatangkan kebaikan bagi mereka, jika tidak diambil juga tidak akan mendatangkan dosa.
      Misalnya, pencatatan perkawinan, penjatuhan talak di pengadilan, kewajiban memiliki SIM bagi pengendara kendaraan bermotor, dan lain-lain.
Sedangkan ulama’ ushulmembagi maslahah kepada tiga bagian[5], yaitu:

1.     Maslahah Dharuriyah
      Maslahah Dharuriyah yaitu segala hal harus ada demi kemaslahatan mereka. Bila hal itu tidak ada atau tidak terpelihara secara baik kehidupan manusia akan kacau, kemaslahatannya tidak terwujud, baik di dunia maupun di akhirat.
      Perkara-perkara ini dapat dikembalikan kepada lima perkara yang merupakan perkara pokok yang harus dilindungi, yaitu agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta.
2.     Maslahah Hajjiyah
Maslahah hajjiyah merupakan semua bentuk perbuatan dan tindakan yang tidak terkait dengan dasar yang lain (yang ada pada maslahah dharuriyah) yang dibutuhkan oleh masyarakat tetap juga terwujud, tetapi dapat terhindarkan kesulitan dan menghilangkan kesempitan[6].
      Hajjiyah ini tidak rusak dan terancam jika tidak dipenuhi tetapi hanya menimbulkan kepicikan dan kesempitan, dan hajjiyah ini berlaku dalam lapangan ibadah, adat, muamalat dan bidang jinayat.
Misalnya diperbolehkan seseorang tidak berpuasa  dalam bulan ramadhan ketika sedang sakit atau sedang dalam perjalanan jauh. Begitu pula diperbolehkannya seseorang mengqashar shalat bila ia sedang dalam bepergian jauh.
3.     Maslahah Tahsiniyah
      Maslahah tahsiniyah merupakan tindakan atau sifat-sifat yang pada prinsipnya berhubungan dengan makarimul akhlak serta memelihara keutamaan dalam bidang ibadah, adat dan muamalah[7].
     Imam Abu Zahrah menambahkan bahwa termasuk dalam lapangan tahsiniyah adalah melarang wanita-wanita muslimat keluar ke jalan-jalan umum memakai pakaian yang seronok atau perhiasan-perhiasan yang mencolok mata. Sebab hal ini bisa menimbulkan fitnah dikalangan masyarakat banyak yang pada gilirannya akan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan oleh keluarga, terutama oleh agama.
     Selanjutnya dikatakan bahwa adanya larangan tersebut bagi wanita sebenarnya merupakan kemuliaan baginya untuk menjaga kehormatan dirinya agar tetap bisa menjadi wanita yang baik dan menjadi kebanggaan keluarga dan agama di masa mendatang[8].
C.    Kehujjahan Maslahah Mursalah
Dalam kehujjahan maslahah mursalah terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama ushul,diantaranya[9]:
1.     Maslahah mursalah tidak dapat menjadi hujjah atau dalil menurut ulama-ulama syafi’iyah, ulama-ulama hanafiyyah dan sebagian ulama Malikiyah, dengan alasan[10]:
a.)   Bahwa dengan nash-nash dan qiyas yang dibenarkan, syariat senantiasa memperlihatkan kemaslahatan umat manusia. Tak ada satupun kemaslahatan manusia yang tidak diperhatikan oleh syari’at melalui petunjuknya.
b.)    Pembinaan hukum islam yang semata-mata didasarkan kepada maslahat berarti membuka pintu bagi keinginan hawa nafsu.
2.     Menurut Al Ghazali, maslahah mursalah yang dapat dijadikan dalil hanya maslahah dharuriyah. Sedangkan maslahah hajjiyah dan maslahah tahsiniyah tidak dapat dijadikan dalil.
3.     Menurut Imam Malik maslahah mursalah adalah dalil hukum syara’. Pendapat ini juga diikuti oleh Imam haromain. Mereka mengemukakan argumen sebagai berikut:
a.) Nash-nash syara’ menetapkan bahwa syari’at itu diundangkan untuk merealisasikan kemaslahatan manusia, karenanya berhujjah dengan maslahah mursalah sejalan dengan karakter syara’ dan prinsip-prinsip yang mendasarinya serta tujuan pensyariatannya.
b.) Kemaslahatan manusia serta sarana mencapai kemaslahatan itu berubah karena perbedaan tempat dan keadaan. Jika hanya berpegang pada kemaslahatan yang ditetapkan berdasarkan nash saja, maka berarti mempersempit sesuatu yang Allah telah lapangkan dan mengabaikan banyak kemaslahatan bagi manusia, dan ini tidak sesuai dengan prinsip-prinsip umum syariat.
c.) Para mujtahid dari kalangan sahabat dan generasi sesudahnya banyak melakukan ijtihad berdasarkan maslahah dan tidak ditentang oleh seorang pun dari mereka. Karenanya ini merupakan ijma’.[11]
D.    Pengertian Istishab
Secara bahasa istishab berasal dari bahasa arab yang maknanya yaitu adanya hubungan perkawinan. Sedangkan secara istilah, menurut ulama ushul yaitu menetapkan sesuatu menurut keadaan sebelumya sehingga terdapat dalil yang menunjukkan perubahan keadaan, atau menjadikan hukum yang telah ditetapkan pada masa lalu secara kekal menurut keadaan sehingga terdapat dalil yang menunjukkan atas perubahannya.[12]
Sedangkan pengertianistishab menurut al-Syaukani adalah apa yang telah ditetapkan pada masa lalu, pada dasarnya masih dapat dilestarikan pada masa yang akan datang selama tidak didapai sesuatu yang mengubahnya.[13]
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwasanya istishabadalah penetapan hukum atas sesuatu berdasarkan ketetapan hukum yang terdaulu, sampai adanya dalil yang dapat membuktikan perubahan hukumnya.




E.    Macam-MacamIstishab
Para ulama ushul Fiqih mengemukakan bahwa istishab itu ada lima macam, Yaitu:[14]
1.              Istishab hukmul ibahah al ashliyah. Maksudnya, menetapkan hukum sesuatu yang bermanfaat bagi manusia adalah boleh, selama belum ada dalil yang menunjukkan keharamannya. Contohnya: seluruh pepohonan yang ada dihutan merupakan milik bersama manusia dan masing-masing berhak menebang dan mengambil manfaatkan pohon dan buahnya, sampai pada bukti yang menunjukkan bahwa hutan itu telah menjadi milik orang.
2.              Istishab Al-Bara`at Al Ashliyat. Yaitu kontinuitas hukum dasar ketiadaan berdasarkan argumentasi rasio dalam konteks hukum-hukum syar’i. Maksudnya memberlakukan kelanjutan status ketiadaan dengan adanya peniadaan yang dibuat oleh akal lantaran tidak adanya dalil syar’i yang menjelaskannya. Dalam objektivitasnya, istishab tersebut bereferensi kepada hukum akal dalam hukum ibadah atau baraatul ashliyah (kemurnian menurut aslinya). Akal menetapkan bahwa dasar hukum pada segala yang diwajibkan adalah dapat diwajibkan sesuatu, kecuali apabila datang dalil yang tegas mewajibkannya. Contoh: hukum wudhu seseorang dianggap berlangsung terus sampai adanya penyebab yang membatalkannya.
3.              Istishab Al-‘Umumi. Istishab terhadap dalil yang bersifat umum sebelum datangnya dalil yang mengkhususkannya dan istishabdengan nash selama tidak ada dalil yang nash (yang membatal-kannya). Suatu nash yang umum mencakup segala yang dapat dicakup olehnya sehingga datang suatu nash lain yang menghilangkan tenaga pencakupannya itu dengan jalantakhsish. Atau sesuatu hukum yang umum, tidaklah dikecualikan sesuatupun daripadanya, melainkan dengan ada suatu dalilyang khusus. Contohnya: kewajiban puasa yang berlaku bagi umat sebelum Islam, tetap wajib wajib bagi umat Islam (QS.Al-Baqarah : 183) selama tidak ada nash lain yang membatalkannya.
4.              Istishab An-Nashshi (Istishab Maqlub/Pembalikan). Yaitu istishab pada kondisi sekarang dalam menentukan status hukum pada masa lampau, sebab istishab pada bentuk-bentuk sebelumnya, merupakan penetatapan sesuatu pada masa kedua berdasarkan ketetapannya pada masa pertama lantaran tidak ditemukannya dalil secara spesifik. Urgensinya, dalam suatu dalil (nash) terus-menerus berlaku sehingga di-nasakh-kan oleh sesuatu nash, yang lain. Contoh: kasus adanya seseorang yang sedang dihadapkan pertanyaan, apakah Muhammad kemarin berada di tempat ini?,padahal kemarin ia benar-benar melihat Muhammad disini. Maka ia jawab, benar ia berada disini kemarin.
5.              Istishab Al-Washfi Ats-Tsabiti.Sesuatu yang telah diyakini adanya, atau tidak adanya masa yang telah lalu, tetaplah hukum demikian sehingga diyakini ada perubahannya. Disebut pula dengan istishabul madhi bilhali yakni menetapkan hukum yang telah lalu sampai kepada masa sekarang. Yaitu istishab terhadap hukum yang dihasilkan dari ijma’ dalam kasus yang dalam perkembangannya memicu terjadinya perselisihan pendapat. Contoh: Kasus orang yang bertayamum, dalam pertengahan shalat melihat air. Menurut ijma’ ditetapkan shalatnya tidak batal, keabsahan shalat itu ditentukan sebelum melihat air. Hal ini menunjukkan pula pada keberlanjutan ketetapan hukum, sampai ditemukan adanya dalil yang menunjukkan batalnya penetapan tersebut.



F.     Kehujjahan Istishab
Ulama berbeda pendapat mengenai kebolehan istishab sebagai metode ijtihad ketika tidak ada keterangan dalam dalil al-Qur’an dan sunnah. Ada yang menerima dan ada pula yang menolaknya.
Ulama yang menerima istishab sebagai metode penetapan hukum yaitu sebagai berikut:[15]
menurut mayoritas ulama Hanafiah, khususnya mutaakhirin, istishab bisa dijadikan hujjah untuk menetapkan hukum yang telah ada sebelumnya dan menganggap hukum itu tetap berlaku pada masa yang akan datang, tetapi tidak bisa menetapkan hukum yang akan ada. Alasan mereka seorang mujtahid dalam meneliti hukum suatu masalah yang sudah ada, mempunyai gambaran bahwa hukumnya sudah ada atau sudah di batalkan. Akan tetapi ia tidak mengetahui atau tidak menemukan dalil yang menyatakan bahwa hukum itu sudah dibatalkan. Dalam kaitan ini, mujtahid tersebut  harus berpegang kepada hukum yang sudah ada, karena ia tidak mengetahui adanya dalil yang membatalkan hukum itu. Namun penetapan ini hanya berlaku pada kasus yang sudah ada hukumnya dan tidak berlaku bagi kasus yang akan ditetapkan hukumnya. Artinya, istishab hanya bisa dijadikan hujjah untuk mempertahankan hukum yang sudah ada, selama tidak ada dalil yang membatalkan hukum itu, tetapi tidak berlaku untuk menetapkan hak yang baru muncul.
Adapun ulama yang menolakistishab sebagai metode ijtihadyaitu sebagai berikut:[16]
      Ulama Malikiyah, Syafi’iyyah,zhahiriyah dan syiah berpendapat bahwa istishab bisa dijadikan hujjah secara mutlak untuk menetapkan hukum yang sudah ada, selama belum ada dalil yang mengubahnya. Alasannya adalah, sesuatu yang telah ditetapkan pada masa lalu, selama tidak ada dalil yang mengubahnya, baik secara qath’i maupun zhanni, maka semestinya hukum yang telah ditetapkan itu berlaku terus, karena di duga keras belum ada perubahan. Alasan yang menunjukkan berlakunya berlakunya syari’at di zaman Rasulullah Saw sampai hari kiamat adalah menduga keras berlakunya syariat itu sampai sekarang, tanpa ada dalil yang menasakh-kannya.


























BAB III
PENUTUP
A.    Simpulan
1.     Maslahah mursalah berarti kemaslahatan yang tidak di tetapkan oleh syara’ dalam penetapan hukum dan tidak ada dalil yang menyuruh mengambil atau menolaknya.
2.     Macam-macam maslahah mursalah menurut syara’ ada 3, yaitu maslahah mu’tabarah, maslahah mulghoh, dan maslahah mursalah.
Menurut ushul maslahah dibagi menjadi 3, yaitu maslahah dharuriyah, hajjiyah, dan tahsiniyah.
3.     Ulama’ berbeda pendapat mengenai kehujjahan maslahah mursalah. Ulama yang menerimanya adalah dari madzab malikiyah.Ulama’ yang menolaknya adalah dari madzab syafi’iyah, hanafiyah, dan sebagian malikiyah.
4.     Istishab berarti penetapan hukum atas sesuatu berdasarkan ketetapan hukum yang terdaulu, sampai adanya dalil yang dapat membuktikan perubahan hukumnya.
5.     Macam-macam istishab ada 5, yaitu istishab hukmul ibahah al ashliyah, istishab al bara’at al ashliyat,istishab al umumi, istishab an Nashshi, dan istishab washfi ats tsabuti.
6.     Ulama’ berbeda pendapat mengenai kehujjahan istishab.
Ulama’ yang menerimanya adalah dari madzabhanafiyah, sedangkan ulama’ yang menolaknya dari madzab syafi’iyah, zhahiriyah, dan syiah.
B.    Saran
Kami menyadari bahwa makalah yang kami susun masih jauh dari kesempurnaan, maka dari itu kami membutuhkan kritik dan saran yang membangun demi perbaikan makalah kami selanjutnya.

DAFTAR PUSTAKA

Umam, Chaerul, dkk. 2000. Ushul Fiqih I. Bandung: CV. PustakaSetia.
Amiruddin, Zen. 2009. Ushul Fiqih. Yogyakarta: Teras.
Khallaf, Abdul Wahab. 1994. Ilmu Ushul Fiqh. Semarang: Dina Utama.
Suwarjin. 2012. Ushul Fiqh. Yogyakarta: Teras.
Koto, Alaiddin. 2004. Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqih. Jakarta: PT. RajaGrafindoPersada
Asmuni, Yusran. 1996. DirasahIslamiyah II; Pengantar Studi Sejarah Kebudayaan Islam dan Pemikiran. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.
Kallaf, Abdul Wahhab, 2000. Kaidah-kaidah Hukum Islam: Ilmu Ushul Fiqh.Jakarta: raja grafindo Persada.
Asmawi. 2011. Perbandingan Ushul Fiqh. Jakarta: Amzah.
Syarifuddin, Amir. 2001. Ushul fiqh. Jakarta: Logos.
Suratmaputra, Ahmad Munif. 2002FilsafatHukum Islam Al-Ghazali: Mashlahah-Mursalah dan Relevansinya dengan Pembaharuan Hukum Islam. Jakarta: PustakaFirdaus.
Sesi Tanya Jawab
SOAL
1.     Adakah hubungan antara istishab dan mashalihul mursalah ? (Setiti Minarnik 1710610070)
2.     Apakah fungsi dari istishab ? (M. Adib Zaki Iqbal 1710610046)
3.     Berikan contoh istishab dan mashalihul mursalah ! (Lailatun Nikmah 1710610058)
JAWABAN
1.     Hubungan antara istishab dan mashalihul mursalah adalah sama-sama digunakan untuk menentukan suatu hukum. (Lusiana Maulida 1710610063)
2.     a).  Untuk menentukan suatu hukum dalam Islam.
b).  Mempermudah menetapkan suatu hukum berdasarkan ketetapan hukum yang terdahulu, sampai adanya dalil yang dapat membuktikan perubahan hukumnya.(M.Fathur Rahman 1710610064)
3.    Contoh maslahah mursalah : diperbolehkan seseorang tidak berpuasa  dalam bulan ramadhan ketika sedang sakit atau sedang dalam perjalananjauh. Begitu pula diperbolehkannya seseorang mengqashar shalatbilaia sedang dalam bepergian jauh.

Contoh Istishab : seluruh pepohonan yang ada dihutan merupakan milik bersama manusia dan masing-masing berhak menebang dan mengambil manfaatkan pohon dan buahnya, sampai pada bukti yang menunjukkan bahwa hutan itu telah menjadi milik orang. (Zaini Fa’iq 1710610065)





[1]Chaerul Umam, dkk, Ushul Fiqih I, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2000), hlm. 135.
[2]Suratmaputra, Ahmad Munif, FilsafatHukum Islam Al-Ghazali: Mashlahah-MursalahdanRelevansinyadenganPembaharuanHukum Islam, (Jakarta: PustakaFirdaus, 2002), hlm. 104.
[3]ibid
[4]Suwarjin, Ushul Fiqh, (Yogyakarta: Teras, 2012), hlm. 141-142.
[5]Alaiddin Koto, Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqih, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2004), hlm. 122.
[6]Chaerul Umam, dkk, Ushul Fiqih I, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2000), hlm. 139.
[7]Suwarjin, UshulFiqh, (Yogyakarta: Teras, 2012), hlm. 141-142.
[8]Opcit, chaerulumam, dkk, hlm. 140.
[9]Ibid, Chaerul Umam, dkk, hlm. 141-142.
[10]Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, (Semarang: Dina Utama, 1994), hlm. 121.
[11]Suwarjin, Ushul Fiqh, (Yogyakarta: Teras, 2012), hlm. 139.
[12]Abdul Wahhab Kallaf, Kaidah-kaidah Hukum Islam: Ilmu Ushul Fiqh, terj. Noer Iskandar al-Barsany dan Moch. Tolchah Mansoer, (Jakarta: raja grafindo Persada, 2000), hlm. 77.
[13]Ibid
[14]Suwarjin, Ushul Fiqh, (Yogyakarta: Teras, 2012), hlm. 135.
[15]Amir Syarifuddin, Ushul fiqh, (Jakarta: Logos, 2001), hal. 313-314
[16]Ibid

No comments:

Post a Comment