Alih fungsi lahan Pertanian Ke Zona Industri Kota Kudus
Penggunaan lahan didaerah pedesaan
kini beralih fungsi seperti halnya dengan daerah perkotaan. Lahan yang dulu
dipenuhi dengan beraneka jenis tanaman
seperti padi, jagung, tebu maupun singkong kini terancam musnah. Para pemilik
lahan kini lebih memilih untuk menyewakannya pada perusahaan-perusahaan
Industri, daripada mengolah lahan tersebut sebagai lahan pertanian. Sebagai
contoh, Desa Terban yang berada di bagian Timur Kota Kudus, sekitar 12 Km dari
Pusat Kota, dapat dijangkau melalui jalur pantura kurang lebih 30 menit
perjalanan.( Arfin, 2012:77)
Secara geografis, Desa Terban
terletak dilereng Gunung Patiayam dengan ketinggian 60 m dari permukaan laut.
Desa ini terkenal akan wisata sejarahnya, yakni Situs Purbakala Patiayam yang
terletak di dukuh Kancilan. Hal ini diperkuat dengan diterbitkannya Surat
Keputusan Kepala Peninggalan Purbakala (BP3) Nomor 988/102.SP/BP3/P.IX/2005. (Siti,
2009:10) Hadirnya situs ini semakin menambah variasi tempat wisata di Kabupaten
Kudus, yang selama ini terkenal akan wisata religinya.
Desa Terban juga mendapat julukan
sebagai Zona Industri. Hal ini dikarenakan semakin maraknya perusahaan industri
yang berdiri di desa Terban. Biasanya disebut juga sebagai Kawasan Industri. Kawasan
Industri adalah suatu tempat pemusatan kegiatan industri yang dilengkapi dengan
prasarana dan sarana yang disediakan dan dikelola oleh perusahaan kawasan
industri. (Timocitin, 2000:54). Berbagai
sektor Industri yang dijalankan, diantaranya seperti Rokok, Mebel, Kertas,
Produk Makanan, sampai Produksi Karung yang sekarang ini sudah vakum.
Perkembangan
kawasan industri (Industrial Estate) di Indonesia sudah dimulai sejak
tahun 1970 dengan mengemban dua misi besar. Pertama, merangsang
tumbuhnya iklim industri, terutama bagi daerah-daerah yang iklim investasinya
belum berkembang seperti Cilacap, Cilegon dan Ujung Pandang. Kedua, menjadi
sasaran bagi pengaturan ruang, terutama untuk menghindari tuntutan biaya sosial
yang tinggi, khususnya didaerah-daerah yang iklim industri dan investasinya
tinggi seperti Pulo Gadung di Jakarta, dan Rungkut di Surabaya. Namun hal ini
kurang relevan apabila dicanangkan di desa Terban dikarenakan lahan-lahan yang
masih dapat dioperasionalkan sebagai lahan pertanian.
Lahan
yang seharusnya dijadikan sebagai tempat produksi bahan dasar sembako seperti
Padi, Jagung, serta Tebu kini terancam tersingkirkan. Akibatnya Indonesia
kekurangan pasokan bahan dasar dari nasi ataupun gula. Sehingga Indonesia harus
meng-impor beras dari luar negeri. Padahal indonesia terkenal akan
julukannya sebagai paru-paru dunia,“Nandur opo ae, angger diceblokke mesti
uripe”. Semboyan ini perlu kita impementasikan, bukan hanya diucapkan. Tak
malukah kita sebagai pemilik lahan yang sebenarnya ? Haruskah beras saja sampai
impor dari luar?.
Dalam Pasal 4
Keputusan Presiden Nomor 41 Tahun 1996 telah diatur bahwa pembangunan kawasan
industri tidak mengurangi tanah pertanian. Namun hal tersebut tidaklah sesuai
dengan kenyataan yang ada. Indonesia yang terkenal akan identitas nasional
sebagai negara agraris lambat laun bertransformasi sebagai negara industri. Identitas
Nasional sendiri dapat bercirikan dari 3 unsur berikut yakni Identitas
Fundamental, Instrumental, dan Alamiah.(Malaiha Dewi, 2011: 14-15). Negara
Agraris termasuk dalam Unsur Alamiah yang meliputi Negara Kepulauan, Budaya
maupun Kepercayaan(Agama).
Bukan
hanya pengalihan ke lahan industri, menurut Pak Manto selaku tokoh masyarakat
sekitar, menyatakan bahwa lahan penyerapan air milik Perhutani yang sudah
tertanami Jati, Sengon, dan sejenisnya kini dibabati warga untuk dijadikan
lahan pertanian. Sehingga lahan penanaman pohon berkayu (pencegah banjir) yang
berada di gunung patiayam berubah fungsi sebagai lahan pertanian dan lahan yang
seharusnya sebagai lahan pertanian berubah fungsi sebagai lahan industri.
Hal
tersebut menimbulkan perbedaan pendapat diantara warga sekitar. Sebagian warga
merasa prihatin, mungkin hal tersebut tidaklah berdampak negatif bagi mereka,
karena penanaman jati atau sengon sebagai daerah resapan air bertujuan
mencegah banjir, sedangkan daerah yang mereka huni dapat dikatakan
sebagai dataran tinggi. Namun dampaknya bagi kawasan lain mungkin akan menjadi
bencana, contoh yang umum, yakni banjir di Bulung dan sekitarnya. Sebagian yang
lain merasa bahwa daripada lahan tersebut hanya dibiarkan saja, mereka memilih
untuk mengolahnya. “Dari pihak Perhutani sendiri tidak melarang adanya
penanaman tersebut, namun sewaktu-waktu apabila dari Pihak Perhutani ingin
menggunakannya maka warga pun tidaklah protes karena pengambilalihan ini dapat
dikatakan Ilegal” Tutur Ibu Sumarni selaku pengolah lahan.
Pendirian
perusahaan di wilayah pedesaan tak pelak memiliki berbagai macam pengaruh, baik
itu langsung maupun tak langsung. Sebagian masyarakat hanya peduli pada dampak
positif tanpa menghiraukan dampak negatifnya. Dengan didirikannya pabrik
disekitar rumah warga, akan membantu terbukanya lapangan pekerjaan baru. Selain
para pekerja yang bekerja di dalam perusahaan, warga sekitar juga dapat membuka
usaha sendiri dirumah sebagai pengepul kertas. Hal ini pun menjadikan desa
Terban terkenal akan masyarakatnya yang wiraswasta sebagai pengepul kertas. Mereka
mengambil atau biasanya disetori kertas berbalok-balok dari beberapa pabrik
kertas disekitarnya lalu kertas-kertas itu dipilah-pilah untuk dibedakan
jenisnya. Kemudian mereka menyetorkannya kembali ke pabrik tersebut.
Selain
itu, setiap kali bulan Ramadhan, beberapa pabrik biasanya memberi persen berupa
sepaket jajanan Hari Raya kepada warga Desa yang bertempat tinggal disekitar
area pabrik. “ Tiap kali menjelang Hari Raya Idhul Fitri Pabrik Enggal Subur
memberikan sirup, jajanan black-blak-an semacam Tango serta beberapa kue kering
kepada kami.” Ujar Saudari Diyah selaku warga sekitar. Bukan hanya warga namun
pemerintah turut bahagia. Pajak yang dibebankan pada masing-masing perusahaan
akan menambah pendapatan daerah.
Seiring
berjalannya waktu, muncul benih-benih permasalahan yang dialami warga. Masing-masing perusahaan memiliki
karakteristik yang berbeda. Seperti yang disebutkan diatas, sebagian perusahaan
memiliki pengaruh positif terhadap warga sekitarnya. Namun, hal ini tidak lekas
menjadi acuan bahwa tiap pabrik yang ada akan mensejahterakan pekerja nya
hingga tingkat pensiun. “ Saat ini belum ada kejelasan adanya jaminan sosial
dari Pabrik tempat saya bekerja” ujar Ibu Warsini selaku salah satu pekerja di
Pabrik Kasih Sumber Rejeki(KSR). Pabrik yang dimaksud adalah pabrik yang
bekerja di bidang produksi karung yang telah memecat ratusan pekerjanya kurang lebih sekitar setahun lalu. Para
pekerja tidak diberi uang kompensasi sedikitpun dan tanpa adanya pemberitahuan
pemecatan yang jelas. Rumornya, pabrik yang semula bernama Soloroda ini
berpindah kepemilikan dari sang ayah ke anaknya. Namun anaknya mendirikan
pabrik baru dilain tempat dengan dana yang diperoleh dari pemasukan Pabrik
Soloroda ini. Sehingga pemasukan dari pabrik ini kosong, menjadikan pabrik ini terlilit
banyak hutang. Sampai pada akhirnya diberhentikan. Dan sang anak pun melarikan
diri.
Selain
permasalahan dari pabrik produksi karung, masalah lain tak pelak menjadi fokus
masalah peneliti yakni bau menyengat yang berasal dari pabrik produksi kertas
menganggu aktivitas para warga dalm kesehariannya. Bau ini akan lebih terasa
ketika tiba waktunya malam hari.
Bagi
warga sekitar hal tersebut tidaklah dianggap serius karena mereka sudah
terbiasa menjalaninya. Namun bagi sebagian lain tidaklah semudah itu. Misal,
para warga terutama ibu-ibu rutin mengadakan Jam’iyyahan Yasinan.
Tiap kali yang mendapat gilir dari RT 01 RW 07 yang bertempat tinggal persis dibelakang
pabrik kertas, ibu-ibu yang berasal dari RT maupun RW lain merasa kurang nyaman
akan bau menyengat tersebut. Bukan hanya masalah bau, namun serbuk-serbuk tak
terlihat yang bertebaran dari pabrik pengolah kayu juga menjadi hal yang perlu
menjadi sorotan perhatian.
Beberapa
hal tersebut mengarah pada pemenuhan Hak Asasi Manusia yang kurang diperhatikan
bagi sebagian kalangan. Dalam Pasal 9
butir ke 2 UU No. 39 Tahun 1999 berbunyi “Setiap orang berhak hidup tentram,
aman, damai, bahagia, sejahtera lahir dan batin.” (Malaiha Dewi, 2011: 143)menjelaskan
bahwa setiap orang berhak mendapatkan kedamaian hidup tanpa adanya gangguan
dari pihak manapun. Hal itupun dibahas juga dalam pasal 41 dengan UU yang sama,
bahwa setiap orang berhak atas jaminan sosial yang dibutuhkan untuk hidup yang
layak.
Begitulah
permasalahan yang muncul baru-baru ini di desa Terban yang mayoritas
penduduknya mengais rejeki dari adanya pabrik yang bertempat di kawasan
tersebut. Dari kesemua masalah yang dihadapi masih banyak persoalan yang perlu
menjadi momok perhatian masyarakat. Dalam hal ini penulis menyarankan adanya revitalisasi
struktur pengolahan lahan secara maksimal, sehingga tidak terjadi ketimpangan
sosial diantara para warga. Perlunya pembatasan kawasan Industri yang jauh dari
pemukiman warga. Lahan yang baik untuk pertanian sebaiknya lebih dioptimalkan
sehingga hasil pertanian yang diperoleh memiliki nilai jual yang mampu
menyaingi uang kontrak sewa lahan berbagai perusahaan. Perlunya UU yang
mengatur pemberdayaan pekerja sebaik mungkin. Jangan hanya merasa mereka hanya
buruh yang sudah bagus diberi pekerjaan, namun pikirkanlah penghidupan mereka
sehari-harinya, mungkin saja diantara anak-anak mereka kelak akan menjadi tokoh
yang berperan penting bagi Indonesia, dari ranah ekonomi, politik sampai ke
pendidikan bangsa. Diharapkan terciptanya masyarakat yang aman, tentram dan tidak
merasa terganggu.
Referensi:
Dewi, Siti Malaiha. 2011. Pendidikan Kewarganegaraan. Kudus:
Nora Media Enterprise.
Rakijan, Siti Asmah. 2009. “Selayang Pandang Situs Patiayam” ed.
3th.Kudus: Situs
Patiayam.
Putra, Arfin Praba Djuniadi. 2012. “Museum Situs Purbakala di Kudus”.
Skripsi. Universitas Negeri
Surakarta.
Kwanda, Timocitin. 2000. “Pengembangan Kawasan Industri di
Indonesia”. Jurnal Arsitektur,
Online, Jilid 28, No. 1, ( http://puslit.petra.ac.id/journals/architecture/, diakses pada
tanggal 27 Mei 2018)
No comments:
Post a Comment