Wednesday, September 19, 2018

artikel mata kuliah PPKN


Alih fungsi lahan Pertanian Ke Zona Industri Kota Kudus

            Penggunaan lahan didaerah pedesaan kini beralih fungsi seperti halnya dengan daerah perkotaan. Lahan yang dulu dipenuhi dengan beraneka jenis  tanaman seperti padi, jagung, tebu maupun singkong kini terancam musnah. Para pemilik lahan kini lebih memilih untuk menyewakannya pada perusahaan-perusahaan Industri, daripada mengolah lahan tersebut sebagai lahan pertanian. Sebagai contoh, Desa Terban yang berada di bagian Timur Kota Kudus, sekitar 12 Km dari Pusat Kota, dapat dijangkau melalui jalur pantura kurang lebih 30 menit perjalanan.( Arfin, 2012:77)
            Secara geografis, Desa Terban terletak dilereng Gunung Patiayam dengan ketinggian 60 m dari permukaan laut. Desa ini terkenal akan wisata sejarahnya, yakni Situs Purbakala Patiayam yang terletak di dukuh Kancilan. Hal ini diperkuat dengan diterbitkannya Surat Keputusan Kepala Peninggalan Purbakala (BP3) Nomor 988/102.SP/BP3/P.IX/2005. (Siti, 2009:10) Hadirnya situs ini semakin menambah variasi tempat wisata di Kabupaten Kudus, yang selama ini terkenal akan wisata religinya.
            Desa Terban juga mendapat julukan sebagai Zona Industri. Hal ini dikarenakan semakin maraknya perusahaan industri yang berdiri di desa Terban. Biasanya disebut juga sebagai Kawasan Industri. Kawasan Industri adalah suatu tempat pemusatan kegiatan industri yang dilengkapi dengan prasarana dan sarana yang disediakan dan dikelola oleh perusahaan kawasan industri. (Timocitin, 2000:54). Berbagai sektor Industri yang dijalankan, diantaranya seperti Rokok, Mebel, Kertas, Produk Makanan, sampai Produksi Karung yang sekarang ini sudah vakum.
            Perkembangan kawasan industri (Industrial Estate) di Indonesia sudah dimulai sejak tahun 1970 dengan mengemban dua misi besar. Pertama, merangsang tumbuhnya iklim industri, terutama bagi daerah-daerah yang iklim investasinya belum berkembang seperti Cilacap, Cilegon dan Ujung Pandang. Kedua, menjadi sasaran bagi pengaturan ruang, terutama untuk menghindari tuntutan biaya sosial yang tinggi, khususnya didaerah-daerah yang iklim industri dan investasinya tinggi seperti Pulo Gadung di Jakarta, dan Rungkut di Surabaya. Namun hal ini kurang relevan apabila dicanangkan di desa Terban dikarenakan lahan-lahan yang masih dapat dioperasionalkan sebagai lahan pertanian.
            Lahan yang seharusnya dijadikan sebagai tempat produksi bahan dasar sembako seperti Padi, Jagung, serta Tebu kini terancam tersingkirkan. Akibatnya Indonesia kekurangan pasokan bahan dasar dari nasi ataupun gula. Sehingga Indonesia harus meng-impor beras dari luar negeri. Padahal indonesia terkenal akan julukannya sebagai paru-paru dunia,“Nandur opo ae, angger diceblokke mesti uripe”. Semboyan ini perlu kita impementasikan, bukan hanya diucapkan. Tak malukah kita sebagai pemilik lahan yang sebenarnya ? Haruskah beras saja sampai impor dari luar?.
            Dalam Pasal 4 Keputusan Presiden Nomor 41 Tahun 1996 telah diatur bahwa pembangunan kawasan industri tidak mengurangi tanah pertanian. Namun hal tersebut tidaklah sesuai dengan kenyataan yang ada. Indonesia yang terkenal akan identitas nasional sebagai negara agraris lambat laun bertransformasi sebagai negara industri. Identitas Nasional sendiri dapat bercirikan dari 3 unsur berikut yakni Identitas Fundamental, Instrumental, dan Alamiah.(Malaiha Dewi, 2011: 14-15). Negara Agraris termasuk dalam Unsur Alamiah yang meliputi Negara Kepulauan, Budaya maupun Kepercayaan(Agama).
            Bukan hanya pengalihan ke lahan industri, menurut Pak Manto selaku tokoh masyarakat sekitar, menyatakan bahwa lahan penyerapan air milik Perhutani yang sudah tertanami Jati, Sengon, dan sejenisnya kini dibabati warga untuk dijadikan lahan pertanian. Sehingga lahan penanaman pohon berkayu (pencegah banjir) yang berada di gunung patiayam berubah fungsi sebagai lahan pertanian dan lahan yang seharusnya sebagai lahan pertanian berubah fungsi sebagai lahan industri.
            Hal tersebut menimbulkan perbedaan pendapat diantara warga sekitar. Sebagian warga merasa prihatin, mungkin hal tersebut tidaklah berdampak negatif bagi mereka, karena penanaman jati atau sengon sebagai daerah resapan air  bertujuan  mencegah banjir, sedangkan daerah yang mereka huni dapat dikatakan sebagai dataran tinggi. Namun dampaknya bagi kawasan lain mungkin akan menjadi bencana, contoh yang umum, yakni banjir di Bulung dan sekitarnya. Sebagian yang lain merasa bahwa daripada lahan tersebut hanya dibiarkan saja, mereka memilih untuk mengolahnya. “Dari pihak Perhutani sendiri tidak melarang adanya penanaman tersebut, namun sewaktu-waktu apabila dari Pihak Perhutani ingin menggunakannya maka warga pun tidaklah protes karena pengambilalihan ini dapat dikatakan Ilegal” Tutur Ibu Sumarni selaku pengolah lahan.
            Pendirian perusahaan di wilayah pedesaan tak pelak memiliki berbagai macam pengaruh, baik itu langsung maupun tak langsung. Sebagian masyarakat hanya peduli pada dampak positif tanpa menghiraukan dampak negatifnya. Dengan didirikannya pabrik disekitar rumah warga, akan membantu terbukanya lapangan pekerjaan baru. Selain para pekerja yang bekerja di dalam perusahaan, warga sekitar juga dapat membuka usaha sendiri dirumah sebagai pengepul kertas. Hal ini pun menjadikan desa Terban terkenal akan masyarakatnya yang wiraswasta sebagai pengepul kertas. Mereka mengambil atau biasanya disetori kertas berbalok-balok dari beberapa pabrik kertas disekitarnya lalu kertas-kertas itu dipilah-pilah untuk dibedakan jenisnya. Kemudian mereka menyetorkannya kembali ke pabrik tersebut.
            Selain itu, setiap kali bulan Ramadhan, beberapa pabrik biasanya memberi persen berupa sepaket jajanan Hari Raya kepada warga Desa yang bertempat tinggal disekitar area pabrik. “ Tiap kali menjelang Hari Raya Idhul Fitri Pabrik Enggal Subur memberikan sirup, jajanan black-blak-an semacam Tango serta beberapa kue kering kepada kami.” Ujar Saudari Diyah selaku warga sekitar. Bukan hanya warga namun pemerintah turut bahagia. Pajak yang dibebankan pada masing-masing perusahaan akan menambah pendapatan daerah.
            Seiring berjalannya waktu, muncul benih-benih permasalahan yang dialami warga.  Masing-masing perusahaan memiliki karakteristik yang berbeda. Seperti yang disebutkan diatas, sebagian perusahaan memiliki pengaruh positif terhadap warga sekitarnya. Namun, hal ini tidak lekas menjadi acuan bahwa tiap pabrik yang ada akan mensejahterakan pekerja nya hingga tingkat pensiun. “ Saat ini belum ada kejelasan adanya jaminan sosial dari Pabrik tempat saya bekerja” ujar Ibu Warsini selaku salah satu pekerja di Pabrik Kasih Sumber Rejeki(KSR). Pabrik yang dimaksud adalah pabrik yang bekerja di bidang produksi karung yang telah memecat ratusan pekerjanya  kurang lebih sekitar setahun lalu. Para pekerja tidak diberi uang kompensasi sedikitpun dan tanpa adanya pemberitahuan pemecatan yang jelas. Rumornya, pabrik yang semula bernama Soloroda ini berpindah kepemilikan dari sang ayah ke anaknya. Namun anaknya mendirikan pabrik baru dilain tempat dengan dana yang diperoleh dari pemasukan Pabrik Soloroda ini. Sehingga pemasukan dari pabrik ini kosong, menjadikan pabrik ini terlilit banyak hutang. Sampai pada akhirnya diberhentikan. Dan sang anak pun melarikan diri.
            Selain permasalahan dari pabrik produksi karung, masalah lain tak pelak menjadi fokus masalah peneliti yakni bau menyengat yang berasal dari pabrik produksi kertas menganggu aktivitas para warga dalm kesehariannya. Bau ini akan lebih terasa ketika tiba waktunya malam hari.
            Bagi warga sekitar hal tersebut tidaklah dianggap serius karena mereka sudah terbiasa menjalaninya. Namun bagi sebagian lain tidaklah semudah itu. Misal, para warga terutama ibu-ibu rutin mengadakan Jam’iyyahan Yasinan. Tiap kali yang mendapat gilir dari RT 01 RW 07 yang bertempat tinggal persis dibelakang pabrik kertas, ibu-ibu yang berasal dari RT maupun RW lain merasa kurang nyaman akan bau menyengat tersebut. Bukan hanya masalah bau, namun serbuk-serbuk tak terlihat yang bertebaran dari pabrik pengolah kayu juga menjadi hal yang perlu menjadi sorotan perhatian.
            Beberapa hal tersebut mengarah pada pemenuhan Hak Asasi Manusia yang kurang diperhatikan bagi sebagian kalangan. Dalam Pasal  9 butir ke 2 UU No. 39 Tahun 1999 berbunyi “Setiap orang berhak hidup tentram, aman, damai, bahagia, sejahtera lahir dan batin.” (Malaiha Dewi, 2011: 143)menjelaskan bahwa setiap orang berhak mendapatkan kedamaian hidup tanpa adanya gangguan dari pihak manapun. Hal itupun dibahas juga dalam pasal 41 dengan UU yang sama, bahwa setiap orang berhak atas jaminan sosial yang dibutuhkan untuk hidup yang layak.
            Begitulah permasalahan yang muncul baru-baru ini di desa Terban yang mayoritas penduduknya mengais rejeki dari adanya pabrik yang bertempat di kawasan tersebut. Dari kesemua masalah yang dihadapi masih banyak persoalan yang perlu menjadi momok perhatian masyarakat. Dalam hal ini  penulis menyarankan adanya revitalisasi struktur pengolahan lahan secara maksimal, sehingga tidak terjadi ketimpangan sosial diantara para warga. Perlunya pembatasan kawasan Industri yang jauh dari pemukiman warga. Lahan yang baik untuk pertanian sebaiknya lebih dioptimalkan sehingga hasil pertanian yang diperoleh memiliki nilai jual yang mampu menyaingi uang kontrak sewa lahan berbagai perusahaan. Perlunya UU yang mengatur pemberdayaan pekerja sebaik mungkin. Jangan hanya merasa mereka hanya buruh yang sudah bagus diberi pekerjaan, namun pikirkanlah penghidupan mereka sehari-harinya, mungkin saja diantara anak-anak mereka kelak akan menjadi tokoh yang berperan penting bagi Indonesia, dari ranah ekonomi, politik sampai ke pendidikan bangsa. Diharapkan terciptanya masyarakat yang aman, tentram dan tidak merasa terganggu.







Referensi:
Anonim. 2010. Kawasan Industri. http://repository.unpas.ac.id .
Dewi, Siti Malaiha. 2011. Pendidikan Kewarganegaraan. Kudus: Nora Media      Enterprise.
Rakijan, Siti Asmah. 2009. “Selayang Pandang Situs Patiayam” ed. 3th.Kudus:     Situs Patiayam.
Putra, Arfin Praba Djuniadi. 2012. “Museum Situs Purbakala di Kudus”. Skripsi.             Universitas Negeri Surakarta.
Kwanda, Timocitin. 2000. “Pengembangan Kawasan Industri di Indonesia”.         Jurnal Arsitektur, Online, Jilid 28, No. 1,     ( http://puslit.petra.ac.id/journals/architecture/, diakses pada tanggal 27         Mei 2018)


No comments:

Post a Comment