Wednesday, September 19, 2018

urf


METODE IJTIHAT
(URF DAN DZARIAH)
Makalah disusun guna memenuhi tugas
Mata kuliah: Ushul Fiqih
Dosen Pengampu: Masturi, Lc, M.Pd.

Disusun kelompok 8:
1.     Chandri vidya Sari     ( 1710610066 )
2.     Umi Istiqomah            ( 1710610067 )
3.     Anisa Tri Rahmawati ( 1710610068 )


PRODI TADRIS MATEMATIKA
JURUSAN TARBIYAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS
TAHUN 2018
                                                                                          BAB I
                                                                PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Konsep bahwa islam sebagai agama wahyu yang mempunyai doktrin-doktrin ajaran tertentu yang harus diimani, juga tidak melepaskan perhatiannya terhadap kondisi masyarakat tertentu. Kearifan lokal (hukum)islam tersebut ditunjukkan dengan beberapa ketentuan hukum dalam alquran yang merupakan pelestarian terhadap tradisi masyarakat pra-islam.
S.waqar Ahmad Husaini mengemukakan, bahwa agama islam sangan memperhatikan  tradisi dan konvensi masyarakat untuk dijadikan sumber bagi juris prudensi hukum islam dengan penyempurnaan dan batasan-batasan tertentu.prinsip demikian terus dijalankan oleh Nabi Muhammad saw.
Kebijakan bebijakan beliau yang berkaitan dengan hukum yang tertuang dalam sunnahnyabanyak mencerminkan kearifan beliau terhadap tradisi-tradisi para sahabat atau masyarakat. Sehingga sangatlah penting bagi umat muslim untuk mengetahui serta mengamalkan salah satu metode Ushul fiqih untuk meng-istimbath setiap permasalahan dalam kehidupan ini.

B.    Rumusan Masaah
1.     Apa pengertian ‘urf dan dzari’ah ?
2.     Apa saja macam-macam ‘urf dan dzari’ah ?
3.     Bagaimana kehujjahan ‘urf dan dzari’ah ?
C.    Tujuan
1.     Mengetahui Pengertian urf dan dzariah.
2.     Mengetahui macam-macam urf dan dzariah.
3.     Mengetahui kehujjahan urf dan dzariah.


                                               

                                                            BAB II
                                                     PEMBAHASAN
A.    Pengertian ‘Urf dan Dzari’ah
1.     ‘Urf
Menurut bahasa, urf berarti sesuatu yang dikenal.Menurut istilah ialah segala sesuatu yang telah dikenal dan menjadi kebiasaan manusia baik berupa ucapan, perbuatan atau tidak melakukan sesuatu. Sebagian ushuliyyin, seperti al-Nasafi dari kalangan hanafi, ibnu Abidin, al-Rahawi dalam Syarh kitab al-Mannar dan Ibnu wa al-Nazha’ir berpendapat bahwa urf sama dengan adat. Tidak ada perbedaan antara keduanya.Namun sebagian ushuliyyin, seperti ibnu human dan al-bazdawi membedakan antara adat dengan urf dalam membahas kedudukannya sebagai salah satu dalil untuk menetapkan hukum syara’.Adat didefinisikan sebagai sesuatu yang dikerjakan berulang-ulang tanpa adanya hubungan rasional.Sedangkan urf ialah kebiasaan mayoritas kaum, baik dalam perkataan atau perbuatan.Dalam pengertian ini adat lebih di banding urf.Adat mencakup seluruh jenis urf, tetapi tidak sebaliknya. Kebiasaan individu-individu atau kelompok tertentu dalam maka, berpakaian , tidur, dan sebagainya dinamakan adat, tetapi tidak disebut ‘urf. Tetapi, dari sisis yang lain, urf lebih umum dibanding adat, sebab adat hanya mencakup perbuatan, sedang urf mencakup perbuatan dan ucapan sekaligus.[1]
2.     Dzari’ah
Secara etimologi, dzari’ah berarti “jalan menuju kepada  sesuatu”. Ada juga yang mengkhususkan pengertian dzari’ah dengan “sesuatu yang membawa kepada yang dilarang dan mengandung kemudlaratan”, akan tetapi, Ibnu Qayyin Al-Jauziyah mengatakan bahwa pembahasan pengertian dzari’at kepada sesuatu yang dilarang saja tidak tetap, karena ada juga dzari’ah yang bertujuan kepada yang dianjurkan oleh sebab itu, menurutnya, pengertian dzari’at lebih baik dikemukakan yang bersifat umum, sehingga dzari’ah mengandung  dua pengertian, yaitu: yang dilarang, disebut dengan sad al-dzari’ah dan yang dituntut untuk dilaksanakan disebut fath al-dzari’ah.
Berikut ini pengertian dzari’ah menurut para ulama’, yaitu:
1.     Sad al-dzari’ah
Imam al-Syathibi mendefinisikan dzari’ah dengan: “melakukan sesuatu pekerjaan yang selama mengandung kemaslahatan untuk menuju kepada suatu kemafsyadatan.”
Maksutnya seseorang melakukan suatu pekerjaan yang pada dasarnya yang dibolehkan karena mengandung suatu kemaslahatan, tetapi tujuan yang akan dia capai berakhir pada suatu kemafsadatan.
Contohnya, pada dasarnya jual beli itu halal, karena jual beli merupakan salah satu sarana tolong menlong untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia.Seseorang membeli sebuah kendaraan berharga tigapuluh juta rupiah secara kredit adalah sah karena pihak penjual memberikan keringanan kepada pembeli untuk tidak segera melunasinya. Akan tetapi, bila kendaraan itu dijual kembali kepada penjual (pembeli kredit) dengan harga tunai sebesar limabelas juta rupiah,maka tujuan ini akan membawa kepada suatu kemafsadatan, karena seakan-akan dalam yang diperjual belikan tidak ada dan pedagang kendaraan itu tinggal menunggu keuntungan saja. Maksutnya pembeli saat membeli kendaraan mendapatkan uang sebesar limabelas juta rupiah tetapi ia harus melunasi hutangnya (kredit kendaraan itu) sebesar tigapuluh juta rupiah. Jual beli seperti ini dalam fiqih disebut dengan bai’u al ajal.Gambaran jual beli seperti ini menurut al-Syathibi, tidak lebih dari melipat gandakan hutang tanpa sebab.Karennya, perbuatan seperti ini dilarang.[2]
2.     Fath al-Dzari’ah
Fath al-Dzari’ah adalah suatu perbedaan yang dapat membawa kepada sesuatu yang dianjurkan, bahkan diwajibkan syara’. Misalnya, sholat jumat itu hukumnya wajib, maka berusaha untuk sampai kemasjid dengan meninggalkan segala aktifitas lain juga diwajibkan.
Tapi menurut wahbah al-Zuhaili hal tersebut bukanlah termasuk dalam dzari’ah, tetapi termasuk dalam kaidah  yang oleh jumhurul ulama’ ushul fiqih disebut sebagai muqaddimah (pendahuluan ) dari suatu pekerjaan . menunaikan yang wajib itu, juga diwajibkan, sesuai kaidah yang mengatakan
                                                                      مالايتم الوجب إلابه فهو واجب                     
Artinya:Apabila suatu kewajiban tergantung kepada sesuatu yang lain, maka suatu yang lain ini pun wajib dikerjakan.[3]

B.    Macam-macam Urf dan Dzari’ah
Dilihat dari segi obyeknya, urf dibagi dua, yaitu:
1.     Urf lafzdi qouli iyalah kebiasaan masyarakat dalam mempergunakan lafadz tertentu dalam mengungkapkan sesuatu, sehingga maksna ungkapan itulah yang dipahami dan terlintas difikiran masyarakat.
2.     Urf amali ialah kebiasaan masyarakat yang berkaitan dengan perbuatan biasa atau muamalah keperdataan.
Dari segi cakupannya Urf dibagi dua, yaitu:
1.     Urf’amm ialah kebiasaan tertentu yang berlaku secara luas diseluruh masyarakat dan seluruh daerah.
2.     Urf khash ialah kebiasaan yang berlaku didaerah dan masyarakat tertentu.
Dilihat dari segi diterima atau ditolaknya urf dibagi dua yaitu:
1.     Urf shahih, ialah urf yang tidak bertentangan dengan salah satu dalil syara’, tidak bertentangan dengan maslahah mu’tabarah dan tidak mendatangkan mafsadah yang nyata. Urf shahih adalah urf yang baik dan dapat diterima karena tidak bertentangan dengan syara’. Seperti mengadakan pertunangan sebelum akad nikah. Atau kebiasaan masyarakat bersalaman dengan teman sesama jenis kelamin kala bertemu.
2.     Urf fasid yaitu urf yang tidak baik dan tidak dapat diterima karena bertentangan dengan syara’. Seperti kebiasaan mengadakan sesajian. Atau sebagai kebiasaan para pedagang mengurangi timbangan.
Hukum urf yang shahih harus dipelihara dan dilestarikan sebagai bagian darihukum islam. Sedangkan urf fasid harus ditinggalkan karena bertentangan dengan dalil dan semangat hukum islam dalam membina masyarakat.[4]
Adapun dua pembagian dzari’ah yang dikemukakan para ulama’ushul fiqih.dzari’ah dilihat dari segi kualitas kemafsadatannya dan dzari’ah dilihat dari jenis kemafsyadatannya.
1.     Dzariah dilihat dari segi kualitas kemafsyadatannya.
Imam assyatibi Mengemukakan bahwa dari segi kualitas kemafsyadatannya, dzari’ah terbag menjadi empat macam:
a.      Perbuatan yang dilakukan itu membawa kepada kemafsyadatannya secara pasti (qath’i), misalnya seseorang menggali sumur didepan pintu rumah orang lain pada malam hari dan pemilik rumah tidak memilikinya. Bentuk memafsyadatan perbuatan ini dapat dipastikan, yaitu terjatuhnya pemilik rumah ke dalam sumur tersebut. Dan itu dapat dipastikan karena pemilik rumah tidak mengetahui adanya sumur didepan pintu rumahnya. Perbuatan seperti ini dilaang dan jika teryata pemilik rumah jatuh kesumur tersebut, maka penggali lobang dikenakan hukuman, karena perbuatan itu dilakukan dengan sengaja untuk mencelakakan orang lain.
b.     Perbuatan yang dilakukan itu boleh dilakukan karena jarang membawa kepada kemafsyadatan, misalnya menggali sumur ditempat yang biasanya tidak memberi mudhorot atau menjual sejenis makanan yang biasanya tidak memberi mudhorot kepada orang yang memakannya perbuatan seperti ini tetap pada hukum asalnya , yaitu mubah (boleh), karena yang dilarang itu adalah apabila  diduga keras bahwa perbuatan itu membawa kemafsyadatan , sedangkan kasus ini jarang terjadi kemafsyadatan.
c.      Perbuatan yang dilakukan itu biasanya atau besar kemungkinan membawa kepada kemafsyadatan. Misalnya, menjual senjata kepada musuh  atau menjual anggur kepada produsen minuman keras. Menjual senjata kepada musuh sangat mungkin senjataitu akan digunakan untuk perang atau paling tidak digunakan untuk membunuh. Demikian juga dengan penjual anggur  kepada produsen minuman keras sangat mungkin anggur yang dijual itu akan di proses menjadi  menjadi minuman keras, prbuatan seperti ini sangat dilarang karena dugaan keras (zat al-ghalib) bahwa perbuatan itu membawa padakemafsyadatan , sehingga dapat dijadikan patokan dalam menetapkan laranan terhadap perbuatan itu.
d.     Perbuatan itu pada dasarnya boleh dilakukan karena mengandung kemaslahatan tetapi memungkinkan juga perbuatan itu membawa kepada kemafsyadatan. Misalnya, kasus jual beli yang menjadi sarana bagi riba, ini dihukumi haram.
2.     Dzari’ah dari segi jenis kemafsyadatan yang ditimbulkan.
Menurut Ibnu qoyyim al-zauziyah,dzari;ah dari segi ini terbagi kepada,
a.      Perbuatan ini membantu kepada kemafsadatan seperti meminum miniman keras yang mengakibatkan mabuk, dan mabuk itu suatu kemafsyadatan.
b.     Perbuatan ini pada dasarnya perbuatan yang dibolehkan atau yang dianjurkan, tetapi dijadikan jalan untuk melakukan suatu perbuatan yang haram, baik dengan tujuan yang di sengaja atau tidak. Perbuatan yang mengandung tujuan disengaja  atau tidak . perbuatan yang mengandung tujuan di sengaja.misalnya, seseorang menikahi seorang wanita yang ditalak tiga suaminya dengan tujuan  agar suami pertama wanita itu bisa menikahinya kembali (nikah al-tahlil). Perbuatan yang dilakukan tanpa tujuan sejak semula adalah mencaci maki ibu bapak orang lain. Akibat mencaci maki orang tua orang lain, menyebabkan orang tuanya juga akan dicaci maki oleh orang tersebut.
Keduamacam dzari’ah ini ibnu qoyyim al-zauziyah dibagi lagi kepada:
a.      Yang kemaslahatan pekerjan itu lebih kuat dari kemafsyadatannya.
b.     Yang memafsyadatan lebih besar dari kemaslahatannya.

Kedua bentuk dzari’ah ini, menurutnya ada  empat bentuk yaitu:
a.      Yang secara sengaja ditunjukkan  untuk suatu kemafsyadatan, seperti meminum minuman keras. Pekerjaan seperti ini dilarang oleh syara’.
b.     Pekerjaan yang pada dasarnya diperbolehkan, tetapi ditunjukkan untuk melakukan suatu kemafsyadatan, seperti nikah al-taqlil, pekerja  seperti inipun dilarang oleh syara’
c.      Pekerjaan ini hukumnya boleh dan pelakunya tidak bertujuan untuk suatu kemafsadatan, tetapi biasanya akan berakibat suatukemafsadatan  , seperti mencaci maki sesembahan orang yang munafik yang diduka keras akan mengakibatkan munculnya cacian yang sama terhadap Allah SWT, pekerjaan seperti ini pun dilarang oleh syara’.
d.     Suatu pekerjaan yang pada dasarnya diperbolehkan,tetapi adakalanya perbuatan itu membawa kepada suatu kemafsyadatan, seperti melihat wanita yang sudah dipinang. Dalam kasus ini menurut Ibnu qoyyim kemaslahatannya lebih besar dari pada kemafsyadatannya. Oleh sebab itu, diperbolehkan sesuai kebutuhan.[5]

C.    Kehujjahan ‘Urf dan Dzari’ah
Para ulama’ memandang urf sebagai salah satu dalil untuk mengistimbatkan hukum islam. Hal ini dapat dilihat dari beberapa ucapan ulama, misalnya : (adat istiadat itu dapat dijadikan hukum ),(sesuatu yang telah dikenalkebaikannya oleh urf, itu seperti sesuatu yang di syariatkan), (sesuatu yang ditetapkan dengan urf itu seperti sesuatu yang ditetapkan  berdasarkan dalil syara’) dan lain-lain.[6]
Ada juga sebagian ulama’ yang memperkuat kehujjahan urf dengan dalil alquran dan hadits. Mereka mengemukakan ayat 199 surat Al-A’raf sebagai dalil yang berarti ‘jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakanyang ma’ruf, dan berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh.
Diantara hadis yang di dijadikan dalil kehujjahan urf adalah hadits yang diriwayatkan jama’ah selain tirmidzi yang menceritakan kisah pengaaduan hindun perihaal sifat bakhil suaminya Abu sofyan, dalam pemberian nafkah. Beliau bersabda:       
خذيمايكفيكوولدكبالمعروف 
Artinya: Ambillah (dari harta suamimu)kadar yang cukup untukmu dan anakmu menurut ukuran yang ma’ruf.”
Disamping dalil diatas, para ulama’ yang menggunakan urf sebagai dalil mengemukakan beberapa argument kehujjahan urf:
1.     Kita mendapati allah meresipir urf-urf orang arab yang dipandang baik. Seperti diakuinya beberapa system perdagangan dan perserikatan, baik berupa jual beli, mudharabah,ijarah,salam dan lain-lainnya.beberapa jenis transaksi tersebut menunjukkan bahwa allah melestarikan urf shahih yang sesuai dengan kemaslahatan manusia.
2.     Urf pada dasarnya berdasarkan pada salah satu dalil-dalil syara’ yang mu’tabarah, seperti ijma’, maslahah mursalah, dan sad al-zhara’. Kebolehan istihna’ telah menjadi ijma’ ulama’ dan ijma’ ulama’ adalah dalil yang mu’tabar
3.     Para ulama’ dari masa kemasa telah menggunakan ijma’ sebagai dalil atau hujjah hukum islam.[7]

Tentang kehujjahan saddu dzari’ah ada beberapa pendapat:
1.     Imam malik dan imam Ahmad Ibnu hambal dikenal sebagai dua orang imam yang memakai saddu Dzari’ah. Oleh karena itu kedua imam ini menganggap bahwa saddu dzariah dapat menjadi hujjah. Khususnya imam malik yang dikenal selalu menggunakan didalam menetapkan hukum-hukum syara’. Imam malik didalam mempergunakan saddu Dzariah sama dengan mempergumakan masalih mursalah dan urf wal adah.
2.     Ulama’ hanafiyyah , syafiiyah dan syiah menerima saddu dzariah sebagai dalil dalam masalah-masalah tertentu dan menolaknya dalam kasus-kasus lain.Suatu analisis ilmiah yang mendalam menyimpulkan dua dasar.
1)     Dzari’ah itu dijadikan pegangan apabila ia menyebabkan kerusakan yang disebutkan nash. Namun, dijadikan qiyas, apabila membawa kebolehan yang disebut nash. Wajib menutup dzari’ah padayang membawa kerusakan disebabkan kerusakan itu diketahui nash, begitu juga sebaliknya .maka dzari’ah disisni ditunjukkan untuk tuntuk kepada nash.
2)      Segala yang berhubungan dengan amanat menurut hukum syari’atnya tidak boleh dicegah karena kadang-kadang menimbulkan khianat. Bahaya yang diakibatkan oleh dzari’ah lebih banyak dari pada bahaya yang bisa dihindarkandengan meninggalkan dzari’ah itu.
Dengan demikian maka mukhallaf wajib benar-benar mengetahui akan bahaya menggunakan atau bahaya meninggalkan  dzari’ah. Merekapun harus menarjihkan diantara keduanya, kemudian harus mengambil mana yang rajih.[8]
D.    Syarat-syarat Urf
Oleh karena urf bukan merupakan dalil yang berdiri sendiri, melainkan tergantung oleh dalil asli hukum syara’, maka ada sejumlah persyaratan yang harus dipenuhi bagi pengguna urf tersebut, yaitu:
1.‘Urf tersebut harus benar-benar kebiasaan masyarakat.maksutnya kebiasaan orang tertentu dalam masyarakat tidak dapat dikatakan ‘urf.
2.Urf terebut harus masih berlaku pada saat hukum yang didasarkan pada ‘urf tersebut ditetapkan. Jika ‘urf telah berubah,  maka hukum tidak dapat dibangun diatas ‘urf tersebut.
3.Tidak terjadi kesepakatan untuk tidak memberlakukan ‘urf oleh pihak-pihak yang terlibat didalamnya.
4.‘Urf tersebut tidak bertentangan dengan nash atau prinsip-prinsip umum syari’ah.




                       
BAB III
                        PENUTUP
A.    Kesimpulan
Urf menurut bahasa ialah sesuatu yang dikenal.Menurut istilah ialah segala sesuatau yang telah dikenal dan menjadi kebiasaan manusia baik berupa ucapan, perbuatan atau tidak melakukan sesuatu.
Dzari’ah menurut etimologi iyalah “jalan menuju kepada sesuatu.”Ada yang menghususkan pengertian dzari’ah dengan “sesuatu yang membawa kepada yang dilarang dan mengandung kemudlaratan.
Macam-macam dzari’ah dilihat dari segi kualitas kemafsyadatannya dibagi menjadi empat yaitu: perbuatan yang dilakukaan itu membawa kepada kemafsadatan secaracpasti (qath’i), perbuatan yang dilakukan itu boleh dilakukan karena jarang membawa kepada kemafsadatan, perbuatan yang dilakukan itu biasanya atau besar kemungkinan membawa kepada kemafsadatan dan perbuatan itu pada dasarnya boleh dilakukan karena mengandung kemaslahatan tetapi  memungkinkan juga perbuatan itu membawa kapada kemafsadatan. Dzariah dari segi jenis kemafsadatan yang ditimbulkan dibagi menjadi dua yaitu: perbuatan itu memawa kepada suatu kemafsadatan seperti minum minuman keras yang mengakibatkan mabuk, dan mabuk itua suatu memafsadatan  dan perbuatan itu pada dasarnya perbuatan yang di perbolehkan  atau yang dianjurkan, tetapi dijadikan jalan untuk melakukan sesuatu perbuatan yang haram, baik dengan tujuan yang disengaja atau tidak.
B.    Saran
Kami menyadari bahwa pembuatan makalah ini masih banyak terdapat kekurangan. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun dari pembaca senantiasa pemakalah harapkan, yang nantinya dapat dijadikan sebagai usaha perbaikan lebih lanjut.




DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Sulaiman, Sumber Hukum Islam Permasalahan dan Fleksibilitasnya, (Jambi: Sinar Grafika, 1995).

Haroen, Nasrun, Ushul Fiqih I, (Jakarta: Logos Publishing House, 1996).
Suwarjin, Ushul Fiqih, (Ypgyakarta: teras, 2012).
Uman, Chaerul, Ushul Fiqih I, (Bandung: Pustaka Setia, 2002).




[1]Suwarjin, Ushul Fiqih, (Ypgyakarta: teras, 2012), hlm. 148-149.
[2]Nasrun Haroen, Ushul Fiqih I, (Jakarta: Logos Publishing House, 1996), hlm. 160-162.
[3]Nasrun Haroen, Op.Cit., hlm. 172.
[4]Chaerul Uman, Ushul Fiqih I, (Bandung: Pustaka Setia, 2002), hlm. 160-164.
[5]Nasrun Haroen, Op.Cit., hlm. 162-166.
[6]Sulaiman Abdullah, Sumber Hukum Islam Permasalahan dan Fleksibilitasnya, (Jambi: Sinar Grafika, 1995), hlm.79.
[7]Suwarjin, Op.Cit., hlm. 151-153.
[8]Chaerul Uman, Op.Cit., hlm. 190-193.

metode ijtihad


METODE IJTIHAD
(Maslahah Mursalah dan Istishab)
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah Ushul Fiqih Semester II


DosenPengampu: Masturi, Lc.,M.Pd.
DisusunOleh:
Kelompok 7
1.     Lusiana Maulida               (1710610063)
2.     M. Fathur Rahman           (1710610064)
3.     Zaini Faiq                         (1710610065)
 

PROGAM STUDI TADRIS MATEMATIKA
JURUSAN TARBIYAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS
2018
BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Dalam ilmu ushul fiqh kita akan banyak diperkenalkan pada pembahasan tentang berbagai macam sumber dan dalil hukum yang tidak disepakati.  Dalil-dalil hukum tersebut para jumhur ulama ada dalil hukum yang tidak disepakati dan dalil yang disepakati.
            Selain dari empat dalil hukum yang disepakati yang mana para ulama sepakat, tetapi ada juga dalil hukum yang mana mayoritas ulama islam tidak sepakat atas penggunaan dalil-dalil tersebut sebagian diantara mereka.Ada yang menggunakan dalil-dalil ini sebagai alasan penetapan hukum syara’, dan sebagian yang lain mengingkarinya. Oleh karena itu sumber hukum yang tidak disepakati oleh para ulama itu banyak dan yang kami temui ada lima hukum, tetapi dalam pembahasan ada 2 yang akan dibahas yaituMaslahah Mursalah dan Al-istishab.

B.    Rumusan Masalah
1.     Apa yang dimaksud Maslahah Mursalah?
2.     Apa saja macam-macam Maslahah Mursalah?
3.     Bagaimana kehujjahan Maslahah Mursalah?
4.     Apa yang dimaksud Istishab?
5.     Apa saja macam-macam Istishab?
6.     Bagaimana kehujjahan Istishab?
C.    Tujuan
1.     Mengetahui pengertian dari Maslahah Mursalah dan Istishab
2.     Mengetahui macam-macam Maslahah Mursalah dan Istishab
3.     Mengetahui kehujjahan Maslahah Mursalah dan Istishab




BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Maslahah Mursalah
Maslahahmursalahmenurutlughat terdiri dari dua kata, yaitu maslahah danmursalah. Kata maslahah berasal dari kata kerja bahasa arabيَصْلُحُ – صَلَحَ menjadi صُلْحاًatau مَصْلَحَةً yang berarti sesuatu yang mendatangkan kebaikan. Sedangkan katamursalah berasal dari kata kerja yang ditasrifkan sehingga menjadi isim maf’ul, yaitu: مُرْسِلٌ – اِرْساَلاً – يُرْسِلُ – اَرْسَلَ menjadiمُرْسَلٌ yang berarti diutus, dikirim atau dipakai (dipergunakan). Perpaduan dua kata menjadi maslahah mursalah yang berarti prinsip kemaslahatan (kebaikan) yang dipergunakan menetapkan suatu hukum Islam.Juga dapat berarti, suatuperbuatan yang mengandungnilaibaik (bermanfaat)[1].
Menurut Muhammad Hasbi As-Siddiqi, maslahah ialah:
اَلْمُحَافَظَةُ عَلَى مَقْصُوْدِ الشَّارِعِ بِدَفْعِ الْمَفَاسِدِ عَنِ الْخَلْقِ.
Artinya:
“Memelihara tujuan syara’ dengan jalan menolak segala sesuatu yang merusakkan makhluk.”[2]
Menurut Imam Ar-Razi maslahahadalah sebagai berikut:
بِاَنَّهَا عِبَارَةٌ عَنِ الْمَنْفَعَةِ الَّتِيْ قَصَدَهاَ الشَّارِعُ الْحَكِيْمُ لِعِبَادِهِ فِى حِفْظِ دِيْنِهِمْ وَنُفُوْسِهِمْ وَعُقُوْلِهِمْ وَنَسْلِهِمْ وَاَمْوَالِهِمْ.
Artinya:
“Maslahah adalah perbuatan yang bermanfaat yang telah diperintahkan oleh musyarri’ (Allah) kepada hambaNya tentang pemeliharaan agamanya, jiwanya, akalnya, keturunannya, dan harta bendanya.”
Sedangkan menurut Imam Al-Ghazali:
اَمَّا الْمَصْلَحَةُ فَهِيَ عِبَارَةٌ فِى الْاَصْلِ عَنْ جَلْبِ مَنْفَعَةٍ اَوْ دَفْعِ مَضَرَّةٍ.
Artinya:
“Maslahah pada dasarnya ialah meraih manfaat dan menolak madarat.” (lihat: Al-Mustafa oleh Imam Al-Ghazali, Juz I, halaman 39)[3].
Adapun definisi lain mengenaimaslahah mursalah, yaitu Menurut bahasa, maslahan berarti manfaat dan kebaikan, sedang mursalahberarti lepas. Menurut istilah,masalahah mursalah ialah kemaslahatan yang tidak di tetapkan oleh syara’ dalam penetapan hukum dan tidak ada dalil yang menyuruh mengambil atau menolaknya.
B.    Macam-Macam Maslahah Mursalah
Dari segi pandangan syara’ maslahah di bagi menjadi 3,yaitu[4]:
1.      Maslahah Mu’tabarah
Yaitu kemaslahatan yang didukung oleh syari’ dan dijadikan dasar dalam penetapan hukum.
      Misalnya kewajiban puasa pada bulan ramadhan. Mengandung kemaslahatan bagi manusia, yaitu untuk mendidik manusia agar sehat secara jasmani maupun rohani. Kemaslahatan ini melekat langsung pada kewajiban puasa ramadhan dan tidak dapat dibatalkan oleh siapapun. Demikian juga kemaslahatan yang melekat pada kewajiban zakat, yaitu untuk mendidik jiwa muzakki agar tebebas dari sifat kikir dan kecintaan yang berlebihan pada harta, dan untuk menjamin kehidupan orang miskin. Kemaslahatan ini tidak dapat dibatalkan, sebab jika dibatalkan akan menyebabkan hilangnya urgensi dan relevansi dari pensyariatan zakat.
2.      Maslahah Mulghoh
      yaitu kemaslahatan yang ditolak oleh syar’i dan syar’i menetapkan kemaslahatan lain selain itu.
      Misalnya adalah kemaslahatan perempuan menjadi imam bagi laki-laki yang bertentangan dengan kemaslahatan yang di tetapkan oleh syar’i yaitu pelarangan perempuan menjadi imam bagi laki-laki. Demikian juga kemaslahatan yang diperoleh oleh seorang pencuri, ditolak oleh syar’i dengan mengharamkan pencurian, demi melindungi kemaslahatan yang lebih besar, yaitu kemaslahatan rasa aman bagi masyarakat.
3.      Maslahah Mursalah
Yaitu kamaslahatan yang belum tertulis dalam nash dan ijma’, serta tidak ditemukan nash atau ijma’ yang melarang atau memerintahkan mengambilnya. Kemaslahatan ini dilepaskan oleh syari’ dan diserahkan kepada manusia untuk mengambil atau tidak mengambilnya. Jika kemaslahatan itu diambil oleh manusia, maka akan mendatangkan kebaikan bagi mereka, jika tidak diambil juga tidak akan mendatangkan dosa.
      Misalnya, pencatatan perkawinan, penjatuhan talak di pengadilan, kewajiban memiliki SIM bagi pengendara kendaraan bermotor, dan lain-lain.
Sedangkan ulama’ ushulmembagi maslahah kepada tiga bagian[5], yaitu:

1.     Maslahah Dharuriyah
      Maslahah Dharuriyah yaitu segala hal harus ada demi kemaslahatan mereka. Bila hal itu tidak ada atau tidak terpelihara secara baik kehidupan manusia akan kacau, kemaslahatannya tidak terwujud, baik di dunia maupun di akhirat.
      Perkara-perkara ini dapat dikembalikan kepada lima perkara yang merupakan perkara pokok yang harus dilindungi, yaitu agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta.
2.     Maslahah Hajjiyah
Maslahah hajjiyah merupakan semua bentuk perbuatan dan tindakan yang tidak terkait dengan dasar yang lain (yang ada pada maslahah dharuriyah) yang dibutuhkan oleh masyarakat tetap juga terwujud, tetapi dapat terhindarkan kesulitan dan menghilangkan kesempitan[6].
      Hajjiyah ini tidak rusak dan terancam jika tidak dipenuhi tetapi hanya menimbulkan kepicikan dan kesempitan, dan hajjiyah ini berlaku dalam lapangan ibadah, adat, muamalat dan bidang jinayat.
Misalnya diperbolehkan seseorang tidak berpuasa  dalam bulan ramadhan ketika sedang sakit atau sedang dalam perjalanan jauh. Begitu pula diperbolehkannya seseorang mengqashar shalat bila ia sedang dalam bepergian jauh.
3.     Maslahah Tahsiniyah
      Maslahah tahsiniyah merupakan tindakan atau sifat-sifat yang pada prinsipnya berhubungan dengan makarimul akhlak serta memelihara keutamaan dalam bidang ibadah, adat dan muamalah[7].
     Imam Abu Zahrah menambahkan bahwa termasuk dalam lapangan tahsiniyah adalah melarang wanita-wanita muslimat keluar ke jalan-jalan umum memakai pakaian yang seronok atau perhiasan-perhiasan yang mencolok mata. Sebab hal ini bisa menimbulkan fitnah dikalangan masyarakat banyak yang pada gilirannya akan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan oleh keluarga, terutama oleh agama.
     Selanjutnya dikatakan bahwa adanya larangan tersebut bagi wanita sebenarnya merupakan kemuliaan baginya untuk menjaga kehormatan dirinya agar tetap bisa menjadi wanita yang baik dan menjadi kebanggaan keluarga dan agama di masa mendatang[8].
C.    Kehujjahan Maslahah Mursalah
Dalam kehujjahan maslahah mursalah terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama ushul,diantaranya[9]:
1.     Maslahah mursalah tidak dapat menjadi hujjah atau dalil menurut ulama-ulama syafi’iyah, ulama-ulama hanafiyyah dan sebagian ulama Malikiyah, dengan alasan[10]:
a.)   Bahwa dengan nash-nash dan qiyas yang dibenarkan, syariat senantiasa memperlihatkan kemaslahatan umat manusia. Tak ada satupun kemaslahatan manusia yang tidak diperhatikan oleh syari’at melalui petunjuknya.
b.)    Pembinaan hukum islam yang semata-mata didasarkan kepada maslahat berarti membuka pintu bagi keinginan hawa nafsu.
2.     Menurut Al Ghazali, maslahah mursalah yang dapat dijadikan dalil hanya maslahah dharuriyah. Sedangkan maslahah hajjiyah dan maslahah tahsiniyah tidak dapat dijadikan dalil.
3.     Menurut Imam Malik maslahah mursalah adalah dalil hukum syara’. Pendapat ini juga diikuti oleh Imam haromain. Mereka mengemukakan argumen sebagai berikut:
a.) Nash-nash syara’ menetapkan bahwa syari’at itu diundangkan untuk merealisasikan kemaslahatan manusia, karenanya berhujjah dengan maslahah mursalah sejalan dengan karakter syara’ dan prinsip-prinsip yang mendasarinya serta tujuan pensyariatannya.
b.) Kemaslahatan manusia serta sarana mencapai kemaslahatan itu berubah karena perbedaan tempat dan keadaan. Jika hanya berpegang pada kemaslahatan yang ditetapkan berdasarkan nash saja, maka berarti mempersempit sesuatu yang Allah telah lapangkan dan mengabaikan banyak kemaslahatan bagi manusia, dan ini tidak sesuai dengan prinsip-prinsip umum syariat.
c.) Para mujtahid dari kalangan sahabat dan generasi sesudahnya banyak melakukan ijtihad berdasarkan maslahah dan tidak ditentang oleh seorang pun dari mereka. Karenanya ini merupakan ijma’.[11]
D.    Pengertian Istishab
Secara bahasa istishab berasal dari bahasa arab yang maknanya yaitu adanya hubungan perkawinan. Sedangkan secara istilah, menurut ulama ushul yaitu menetapkan sesuatu menurut keadaan sebelumya sehingga terdapat dalil yang menunjukkan perubahan keadaan, atau menjadikan hukum yang telah ditetapkan pada masa lalu secara kekal menurut keadaan sehingga terdapat dalil yang menunjukkan atas perubahannya.[12]
Sedangkan pengertianistishab menurut al-Syaukani adalah apa yang telah ditetapkan pada masa lalu, pada dasarnya masih dapat dilestarikan pada masa yang akan datang selama tidak didapai sesuatu yang mengubahnya.[13]
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwasanya istishabadalah penetapan hukum atas sesuatu berdasarkan ketetapan hukum yang terdaulu, sampai adanya dalil yang dapat membuktikan perubahan hukumnya.




E.    Macam-MacamIstishab
Para ulama ushul Fiqih mengemukakan bahwa istishab itu ada lima macam, Yaitu:[14]
1.              Istishab hukmul ibahah al ashliyah. Maksudnya, menetapkan hukum sesuatu yang bermanfaat bagi manusia adalah boleh, selama belum ada dalil yang menunjukkan keharamannya. Contohnya: seluruh pepohonan yang ada dihutan merupakan milik bersama manusia dan masing-masing berhak menebang dan mengambil manfaatkan pohon dan buahnya, sampai pada bukti yang menunjukkan bahwa hutan itu telah menjadi milik orang.
2.              Istishab Al-Bara`at Al Ashliyat. Yaitu kontinuitas hukum dasar ketiadaan berdasarkan argumentasi rasio dalam konteks hukum-hukum syar’i. Maksudnya memberlakukan kelanjutan status ketiadaan dengan adanya peniadaan yang dibuat oleh akal lantaran tidak adanya dalil syar’i yang menjelaskannya. Dalam objektivitasnya, istishab tersebut bereferensi kepada hukum akal dalam hukum ibadah atau baraatul ashliyah (kemurnian menurut aslinya). Akal menetapkan bahwa dasar hukum pada segala yang diwajibkan adalah dapat diwajibkan sesuatu, kecuali apabila datang dalil yang tegas mewajibkannya. Contoh: hukum wudhu seseorang dianggap berlangsung terus sampai adanya penyebab yang membatalkannya.
3.              Istishab Al-‘Umumi. Istishab terhadap dalil yang bersifat umum sebelum datangnya dalil yang mengkhususkannya dan istishabdengan nash selama tidak ada dalil yang nash (yang membatal-kannya). Suatu nash yang umum mencakup segala yang dapat dicakup olehnya sehingga datang suatu nash lain yang menghilangkan tenaga pencakupannya itu dengan jalantakhsish. Atau sesuatu hukum yang umum, tidaklah dikecualikan sesuatupun daripadanya, melainkan dengan ada suatu dalilyang khusus. Contohnya: kewajiban puasa yang berlaku bagi umat sebelum Islam, tetap wajib wajib bagi umat Islam (QS.Al-Baqarah : 183) selama tidak ada nash lain yang membatalkannya.
4.              Istishab An-Nashshi (Istishab Maqlub/Pembalikan). Yaitu istishab pada kondisi sekarang dalam menentukan status hukum pada masa lampau, sebab istishab pada bentuk-bentuk sebelumnya, merupakan penetatapan sesuatu pada masa kedua berdasarkan ketetapannya pada masa pertama lantaran tidak ditemukannya dalil secara spesifik. Urgensinya, dalam suatu dalil (nash) terus-menerus berlaku sehingga di-nasakh-kan oleh sesuatu nash, yang lain. Contoh: kasus adanya seseorang yang sedang dihadapkan pertanyaan, apakah Muhammad kemarin berada di tempat ini?,padahal kemarin ia benar-benar melihat Muhammad disini. Maka ia jawab, benar ia berada disini kemarin.
5.              Istishab Al-Washfi Ats-Tsabiti.Sesuatu yang telah diyakini adanya, atau tidak adanya masa yang telah lalu, tetaplah hukum demikian sehingga diyakini ada perubahannya. Disebut pula dengan istishabul madhi bilhali yakni menetapkan hukum yang telah lalu sampai kepada masa sekarang. Yaitu istishab terhadap hukum yang dihasilkan dari ijma’ dalam kasus yang dalam perkembangannya memicu terjadinya perselisihan pendapat. Contoh: Kasus orang yang bertayamum, dalam pertengahan shalat melihat air. Menurut ijma’ ditetapkan shalatnya tidak batal, keabsahan shalat itu ditentukan sebelum melihat air. Hal ini menunjukkan pula pada keberlanjutan ketetapan hukum, sampai ditemukan adanya dalil yang menunjukkan batalnya penetapan tersebut.



F.     Kehujjahan Istishab
Ulama berbeda pendapat mengenai kebolehan istishab sebagai metode ijtihad ketika tidak ada keterangan dalam dalil al-Qur’an dan sunnah. Ada yang menerima dan ada pula yang menolaknya.
Ulama yang menerima istishab sebagai metode penetapan hukum yaitu sebagai berikut:[15]
menurut mayoritas ulama Hanafiah, khususnya mutaakhirin, istishab bisa dijadikan hujjah untuk menetapkan hukum yang telah ada sebelumnya dan menganggap hukum itu tetap berlaku pada masa yang akan datang, tetapi tidak bisa menetapkan hukum yang akan ada. Alasan mereka seorang mujtahid dalam meneliti hukum suatu masalah yang sudah ada, mempunyai gambaran bahwa hukumnya sudah ada atau sudah di batalkan. Akan tetapi ia tidak mengetahui atau tidak menemukan dalil yang menyatakan bahwa hukum itu sudah dibatalkan. Dalam kaitan ini, mujtahid tersebut  harus berpegang kepada hukum yang sudah ada, karena ia tidak mengetahui adanya dalil yang membatalkan hukum itu. Namun penetapan ini hanya berlaku pada kasus yang sudah ada hukumnya dan tidak berlaku bagi kasus yang akan ditetapkan hukumnya. Artinya, istishab hanya bisa dijadikan hujjah untuk mempertahankan hukum yang sudah ada, selama tidak ada dalil yang membatalkan hukum itu, tetapi tidak berlaku untuk menetapkan hak yang baru muncul.
Adapun ulama yang menolakistishab sebagai metode ijtihadyaitu sebagai berikut:[16]
      Ulama Malikiyah, Syafi’iyyah,zhahiriyah dan syiah berpendapat bahwa istishab bisa dijadikan hujjah secara mutlak untuk menetapkan hukum yang sudah ada, selama belum ada dalil yang mengubahnya. Alasannya adalah, sesuatu yang telah ditetapkan pada masa lalu, selama tidak ada dalil yang mengubahnya, baik secara qath’i maupun zhanni, maka semestinya hukum yang telah ditetapkan itu berlaku terus, karena di duga keras belum ada perubahan. Alasan yang menunjukkan berlakunya berlakunya syari’at di zaman Rasulullah Saw sampai hari kiamat adalah menduga keras berlakunya syariat itu sampai sekarang, tanpa ada dalil yang menasakh-kannya.


























BAB III
PENUTUP
A.    Simpulan
1.     Maslahah mursalah berarti kemaslahatan yang tidak di tetapkan oleh syara’ dalam penetapan hukum dan tidak ada dalil yang menyuruh mengambil atau menolaknya.
2.     Macam-macam maslahah mursalah menurut syara’ ada 3, yaitu maslahah mu’tabarah, maslahah mulghoh, dan maslahah mursalah.
Menurut ushul maslahah dibagi menjadi 3, yaitu maslahah dharuriyah, hajjiyah, dan tahsiniyah.
3.     Ulama’ berbeda pendapat mengenai kehujjahan maslahah mursalah. Ulama yang menerimanya adalah dari madzab malikiyah.Ulama’ yang menolaknya adalah dari madzab syafi’iyah, hanafiyah, dan sebagian malikiyah.
4.     Istishab berarti penetapan hukum atas sesuatu berdasarkan ketetapan hukum yang terdaulu, sampai adanya dalil yang dapat membuktikan perubahan hukumnya.
5.     Macam-macam istishab ada 5, yaitu istishab hukmul ibahah al ashliyah, istishab al bara’at al ashliyat,istishab al umumi, istishab an Nashshi, dan istishab washfi ats tsabuti.
6.     Ulama’ berbeda pendapat mengenai kehujjahan istishab.
Ulama’ yang menerimanya adalah dari madzabhanafiyah, sedangkan ulama’ yang menolaknya dari madzab syafi’iyah, zhahiriyah, dan syiah.
B.    Saran
Kami menyadari bahwa makalah yang kami susun masih jauh dari kesempurnaan, maka dari itu kami membutuhkan kritik dan saran yang membangun demi perbaikan makalah kami selanjutnya.

DAFTAR PUSTAKA

Umam, Chaerul, dkk. 2000. Ushul Fiqih I. Bandung: CV. PustakaSetia.
Amiruddin, Zen. 2009. Ushul Fiqih. Yogyakarta: Teras.
Khallaf, Abdul Wahab. 1994. Ilmu Ushul Fiqh. Semarang: Dina Utama.
Suwarjin. 2012. Ushul Fiqh. Yogyakarta: Teras.
Koto, Alaiddin. 2004. Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqih. Jakarta: PT. RajaGrafindoPersada
Asmuni, Yusran. 1996. DirasahIslamiyah II; Pengantar Studi Sejarah Kebudayaan Islam dan Pemikiran. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.
Kallaf, Abdul Wahhab, 2000. Kaidah-kaidah Hukum Islam: Ilmu Ushul Fiqh.Jakarta: raja grafindo Persada.
Asmawi. 2011. Perbandingan Ushul Fiqh. Jakarta: Amzah.
Syarifuddin, Amir. 2001. Ushul fiqh. Jakarta: Logos.
Suratmaputra, Ahmad Munif. 2002FilsafatHukum Islam Al-Ghazali: Mashlahah-Mursalah dan Relevansinya dengan Pembaharuan Hukum Islam. Jakarta: PustakaFirdaus.
Sesi Tanya Jawab
SOAL
1.     Adakah hubungan antara istishab dan mashalihul mursalah ? (Setiti Minarnik 1710610070)
2.     Apakah fungsi dari istishab ? (M. Adib Zaki Iqbal 1710610046)
3.     Berikan contoh istishab dan mashalihul mursalah ! (Lailatun Nikmah 1710610058)
JAWABAN
1.     Hubungan antara istishab dan mashalihul mursalah adalah sama-sama digunakan untuk menentukan suatu hukum. (Lusiana Maulida 1710610063)
2.     a).  Untuk menentukan suatu hukum dalam Islam.
b).  Mempermudah menetapkan suatu hukum berdasarkan ketetapan hukum yang terdahulu, sampai adanya dalil yang dapat membuktikan perubahan hukumnya.(M.Fathur Rahman 1710610064)
3.    Contoh maslahah mursalah : diperbolehkan seseorang tidak berpuasa  dalam bulan ramadhan ketika sedang sakit atau sedang dalam perjalananjauh. Begitu pula diperbolehkannya seseorang mengqashar shalatbilaia sedang dalam bepergian jauh.

Contoh Istishab : seluruh pepohonan yang ada dihutan merupakan milik bersama manusia dan masing-masing berhak menebang dan mengambil manfaatkan pohon dan buahnya, sampai pada bukti yang menunjukkan bahwa hutan itu telah menjadi milik orang. (Zaini Fa’iq 1710610065)





[1]Chaerul Umam, dkk, Ushul Fiqih I, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2000), hlm. 135.
[2]Suratmaputra, Ahmad Munif, FilsafatHukum Islam Al-Ghazali: Mashlahah-MursalahdanRelevansinyadenganPembaharuanHukum Islam, (Jakarta: PustakaFirdaus, 2002), hlm. 104.
[3]ibid
[4]Suwarjin, Ushul Fiqh, (Yogyakarta: Teras, 2012), hlm. 141-142.
[5]Alaiddin Koto, Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqih, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2004), hlm. 122.
[6]Chaerul Umam, dkk, Ushul Fiqih I, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2000), hlm. 139.
[7]Suwarjin, UshulFiqh, (Yogyakarta: Teras, 2012), hlm. 141-142.
[8]Opcit, chaerulumam, dkk, hlm. 140.
[9]Ibid, Chaerul Umam, dkk, hlm. 141-142.
[10]Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, (Semarang: Dina Utama, 1994), hlm. 121.
[11]Suwarjin, Ushul Fiqh, (Yogyakarta: Teras, 2012), hlm. 139.
[12]Abdul Wahhab Kallaf, Kaidah-kaidah Hukum Islam: Ilmu Ushul Fiqh, terj. Noer Iskandar al-Barsany dan Moch. Tolchah Mansoer, (Jakarta: raja grafindo Persada, 2000), hlm. 77.
[13]Ibid
[14]Suwarjin, Ushul Fiqh, (Yogyakarta: Teras, 2012), hlm. 135.
[15]Amir Syarifuddin, Ushul fiqh, (Jakarta: Logos, 2001), hal. 313-314
[16]Ibid