METODE
IJTIHAT
(URF DAN DZARIAH)
Makalah
disusun guna memenuhi tugas
Mata
kuliah: Ushul Fiqih
Dosen Pengampu: Masturi, Lc, M.Pd.
Disusun
kelompok 8:
1. Chandri vidya Sari ( 1710610066 )
2. Umi Istiqomah ( 1710610067 )
3. Anisa Tri Rahmawati (
1710610068 )
PRODI
TADRIS MATEMATIKA
JURUSAN TARBIYAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA
ISLAM NEGERI KUDUS
TAHUN 2018
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Konsep bahwa islam sebagai agama wahyu
yang mempunyai doktrin-doktrin ajaran tertentu yang harus diimani, juga tidak
melepaskan perhatiannya terhadap kondisi masyarakat tertentu. Kearifan lokal
(hukum)islam tersebut ditunjukkan dengan beberapa ketentuan hukum dalam alquran yang merupakan pelestarian terhadap tradisi masyarakat
pra-islam.
S.waqar Ahmad Husaini mengemukakan,
bahwa agama islam sangan memperhatikan
tradisi dan konvensi masyarakat untuk dijadikan sumber bagi juris
prudensi hukum islam dengan penyempurnaan dan batasan-batasan tertentu.prinsip
demikian terus dijalankan oleh Nabi Muhammad saw.
Kebijakan bebijakan beliau yang
berkaitan dengan hukum yang tertuang dalam sunnahnyabanyak mencerminkan
kearifan beliau terhadap tradisi-tradisi para sahabat atau masyarakat. Sehingga
sangatlah penting bagi umat muslim untuk mengetahui serta mengamalkan salah
satu metode Ushul fiqih untuk meng-istimbath setiap permasalahan dalam
kehidupan ini.
B.
Rumusan Masaah
1. Apa pengertian ‘urf dan dzari’ah ?
2. Apa saja macam-macam ‘urf dan dzari’ah ?
3. Bagaimana kehujjahan ‘urf dan dzari’ah ?
C. Tujuan
1. Mengetahui Pengertian urf dan dzariah.
2. Mengetahui macam-macam urf dan dzariah.
3. Mengetahui kehujjahan urf dan
dzariah.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian ‘Urf dan Dzari’ah
1. ‘Urf
Menurut
bahasa, urf berarti sesuatu yang dikenal.Menurut istilah ialah segala sesuatu
yang telah dikenal dan menjadi kebiasaan manusia baik berupa ucapan, perbuatan
atau tidak melakukan sesuatu. Sebagian ushuliyyin, seperti al-Nasafi dari
kalangan hanafi, ibnu Abidin, al-Rahawi dalam Syarh kitab al-Mannar dan Ibnu wa
al-Nazha’ir berpendapat bahwa urf sama dengan adat. Tidak ada perbedaan antara
keduanya.Namun sebagian ushuliyyin, seperti ibnu human dan al-bazdawi
membedakan antara adat dengan urf dalam membahas kedudukannya sebagai salah
satu dalil untuk menetapkan hukum syara’.Adat didefinisikan sebagai sesuatu
yang dikerjakan berulang-ulang tanpa adanya hubungan rasional.Sedangkan urf
ialah kebiasaan mayoritas kaum, baik dalam perkataan atau perbuatan.Dalam
pengertian ini adat lebih di banding urf.Adat mencakup seluruh jenis urf,
tetapi tidak sebaliknya. Kebiasaan individu-individu atau kelompok tertentu
dalam maka, berpakaian , tidur, dan sebagainya dinamakan adat, tetapi tidak
disebut ‘urf. Tetapi, dari sisis yang lain, urf lebih umum dibanding adat,
sebab adat hanya mencakup perbuatan, sedang urf mencakup perbuatan dan ucapan
sekaligus.[1]
2. Dzari’ah
Secara
etimologi, dzari’ah berarti “jalan menuju kepada sesuatu”. Ada juga yang mengkhususkan
pengertian dzari’ah dengan “sesuatu yang membawa kepada yang dilarang dan
mengandung kemudlaratan”, akan tetapi, Ibnu Qayyin Al-Jauziyah mengatakan bahwa
pembahasan pengertian dzari’at kepada sesuatu yang dilarang saja tidak tetap,
karena ada juga dzari’ah yang bertujuan kepada yang dianjurkan oleh sebab itu,
menurutnya, pengertian dzari’at lebih baik dikemukakan yang bersifat umum, sehingga
dzari’ah mengandung dua pengertian,
yaitu: yang dilarang, disebut dengan sad al-dzari’ah dan yang dituntut untuk
dilaksanakan disebut fath al-dzari’ah.
Berikut ini pengertian dzari’ah
menurut para ulama’, yaitu:
1. Sad al-dzari’ah
Imam
al-Syathibi mendefinisikan dzari’ah dengan: “melakukan sesuatu pekerjaan yang
selama mengandung kemaslahatan untuk menuju kepada suatu kemafsyadatan.”
Maksutnya
seseorang melakukan suatu pekerjaan yang pada dasarnya yang dibolehkan karena
mengandung suatu kemaslahatan, tetapi tujuan yang akan dia capai berakhir pada
suatu kemafsadatan.
Contohnya,
pada dasarnya jual beli itu halal, karena jual beli merupakan salah satu sarana
tolong menlong untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia.Seseorang membeli sebuah
kendaraan berharga tigapuluh juta rupiah secara kredit adalah sah karena pihak
penjual memberikan keringanan kepada pembeli untuk tidak segera melunasinya.
Akan tetapi, bila kendaraan itu dijual kembali kepada penjual (pembeli kredit)
dengan harga tunai sebesar limabelas juta rupiah,maka tujuan ini akan membawa
kepada suatu kemafsadatan, karena seakan-akan dalam yang diperjual belikan
tidak ada dan pedagang kendaraan itu tinggal menunggu keuntungan saja.
Maksutnya pembeli saat membeli kendaraan mendapatkan uang sebesar limabelas
juta rupiah tetapi ia harus melunasi hutangnya (kredit kendaraan itu) sebesar
tigapuluh juta rupiah. Jual beli seperti ini dalam fiqih disebut dengan bai’u
al ajal.Gambaran jual beli seperti ini menurut al-Syathibi, tidak lebih dari
melipat gandakan hutang tanpa sebab.Karennya, perbuatan seperti ini dilarang.[2]
2. Fath al-Dzari’ah
Fath
al-Dzari’ah adalah suatu perbedaan yang dapat membawa kepada sesuatu yang
dianjurkan, bahkan diwajibkan syara’. Misalnya, sholat jumat itu hukumnya
wajib, maka berusaha untuk sampai kemasjid dengan meninggalkan segala aktifitas
lain juga diwajibkan.
Tapi
menurut wahbah al-Zuhaili hal tersebut bukanlah termasuk dalam dzari’ah, tetapi
termasuk dalam kaidah yang oleh jumhurul
ulama’ ushul fiqih disebut sebagai muqaddimah (pendahuluan ) dari suatu
pekerjaan . menunaikan yang wajib itu, juga diwajibkan, sesuai kaidah yang
mengatakan
مالايتم الوجب إلابه فهو واجب
Artinya:Apabila
suatu kewajiban tergantung kepada sesuatu yang lain, maka suatu yang lain ini pun
wajib dikerjakan.[3]
B.
Macam-macam Urf dan Dzari’ah
Dilihat
dari segi obyeknya, urf dibagi dua, yaitu:
1. Urf lafzdi qouli iyalah kebiasaan
masyarakat dalam mempergunakan lafadz tertentu dalam mengungkapkan sesuatu,
sehingga maksna ungkapan itulah yang dipahami dan terlintas difikiran
masyarakat.
2. Urf amali ialah kebiasaan masyarakat
yang berkaitan dengan perbuatan biasa atau muamalah keperdataan.
Dari
segi cakupannya Urf dibagi dua, yaitu:
1. Urf’amm ialah kebiasaan tertentu yang
berlaku secara luas diseluruh masyarakat dan seluruh daerah.
2. Urf khash ialah kebiasaan yang berlaku
didaerah dan masyarakat tertentu.
Dilihat
dari segi diterima atau ditolaknya urf dibagi dua yaitu:
1. Urf shahih, ialah urf yang tidak
bertentangan dengan salah satu dalil syara’, tidak bertentangan dengan maslahah
mu’tabarah dan tidak mendatangkan mafsadah yang nyata. Urf shahih adalah urf
yang baik dan dapat diterima karena tidak bertentangan dengan syara’. Seperti
mengadakan pertunangan sebelum akad nikah. Atau kebiasaan masyarakat bersalaman
dengan teman sesama jenis kelamin kala bertemu.
2. Urf fasid yaitu urf yang tidak baik dan
tidak dapat diterima karena bertentangan dengan syara’. Seperti kebiasaan
mengadakan sesajian. Atau sebagai kebiasaan para pedagang mengurangi timbangan.
Hukum urf yang shahih harus
dipelihara dan dilestarikan sebagai bagian darihukum islam. Sedangkan urf fasid
harus ditinggalkan karena bertentangan dengan dalil dan semangat hukum islam
dalam membina masyarakat.[4]
Adapun dua pembagian dzari’ah yang dikemukakan
para ulama’ushul fiqih.dzari’ah dilihat dari segi kualitas kemafsadatannya dan
dzari’ah dilihat dari jenis kemafsyadatannya.
1. Dzariah dilihat dari segi kualitas
kemafsyadatannya.
Imam
assyatibi Mengemukakan bahwa dari segi kualitas kemafsyadatannya, dzari’ah
terbag menjadi empat macam:
a. Perbuatan yang dilakukan itu membawa
kepada kemafsyadatannya secara pasti (qath’i), misalnya seseorang menggali
sumur didepan pintu rumah orang lain pada malam hari dan pemilik rumah tidak
memilikinya. Bentuk memafsyadatan perbuatan ini dapat dipastikan, yaitu
terjatuhnya pemilik rumah ke dalam sumur tersebut. Dan itu dapat dipastikan
karena pemilik rumah tidak mengetahui adanya sumur didepan pintu rumahnya.
Perbuatan seperti ini dilaang dan jika teryata pemilik rumah jatuh kesumur
tersebut, maka penggali lobang dikenakan hukuman, karena perbuatan itu
dilakukan dengan sengaja untuk mencelakakan orang lain.
b. Perbuatan yang dilakukan itu boleh
dilakukan karena jarang membawa kepada kemafsyadatan, misalnya menggali sumur
ditempat yang biasanya tidak memberi mudhorot atau menjual sejenis makanan yang
biasanya tidak memberi mudhorot kepada orang yang memakannya perbuatan seperti
ini tetap pada hukum asalnya , yaitu mubah (boleh), karena yang dilarang itu
adalah apabila diduga keras bahwa
perbuatan itu membawa kemafsyadatan , sedangkan kasus ini jarang terjadi
kemafsyadatan.
c. Perbuatan yang dilakukan itu biasanya
atau besar kemungkinan membawa kepada kemafsyadatan. Misalnya, menjual senjata
kepada musuh atau menjual anggur kepada
produsen minuman keras. Menjual senjata kepada musuh sangat mungkin senjataitu
akan digunakan untuk perang atau paling tidak digunakan untuk membunuh.
Demikian juga dengan penjual anggur
kepada produsen minuman keras sangat mungkin anggur yang dijual itu akan
di proses menjadi menjadi minuman keras,
prbuatan seperti ini sangat dilarang karena dugaan keras (zat al-ghalib) bahwa
perbuatan itu membawa padakemafsyadatan , sehingga dapat dijadikan patokan
dalam menetapkan laranan terhadap perbuatan itu.
d. Perbuatan itu pada dasarnya boleh
dilakukan karena mengandung kemaslahatan tetapi memungkinkan juga perbuatan itu
membawa kepada kemafsyadatan. Misalnya, kasus jual beli yang menjadi sarana
bagi riba, ini dihukumi haram.
2. Dzari’ah dari segi jenis kemafsyadatan
yang ditimbulkan.
Menurut Ibnu
qoyyim al-zauziyah,dzari;ah dari segi ini terbagi kepada,
a. Perbuatan ini membantu kepada
kemafsadatan seperti meminum miniman keras yang mengakibatkan mabuk, dan mabuk
itu suatu kemafsyadatan.
b. Perbuatan ini pada dasarnya perbuatan
yang dibolehkan atau yang dianjurkan, tetapi dijadikan jalan untuk melakukan
suatu perbuatan yang haram, baik dengan tujuan yang di sengaja atau tidak.
Perbuatan yang mengandung tujuan disengaja
atau tidak . perbuatan yang mengandung tujuan di sengaja.misalnya,
seseorang menikahi seorang wanita yang ditalak tiga suaminya dengan tujuan agar suami pertama wanita itu bisa
menikahinya kembali (nikah al-tahlil). Perbuatan yang dilakukan tanpa tujuan
sejak semula adalah mencaci maki ibu bapak orang lain. Akibat mencaci maki
orang tua orang lain, menyebabkan orang tuanya juga akan dicaci maki oleh orang
tersebut.
Keduamacam dzari’ah ini ibnu qoyyim al-zauziyah
dibagi lagi kepada:
a. Yang kemaslahatan pekerjan itu lebih
kuat dari kemafsyadatannya.
b. Yang memafsyadatan lebih besar dari
kemaslahatannya.
Kedua bentuk dzari’ah ini, menurutnya ada empat bentuk yaitu:
a. Yang secara sengaja ditunjukkan untuk suatu kemafsyadatan, seperti meminum
minuman keras. Pekerjaan seperti ini dilarang oleh syara’.
b. Pekerjaan yang pada dasarnya
diperbolehkan, tetapi ditunjukkan untuk melakukan suatu kemafsyadatan, seperti
nikah al-taqlil, pekerja seperti inipun
dilarang oleh syara’
c. Pekerjaan ini hukumnya boleh dan
pelakunya tidak bertujuan untuk suatu kemafsadatan, tetapi biasanya akan
berakibat suatukemafsadatan , seperti
mencaci maki sesembahan orang yang munafik yang diduka keras akan mengakibatkan
munculnya cacian yang sama terhadap Allah SWT, pekerjaan seperti ini pun
dilarang oleh syara’.
d. Suatu pekerjaan yang pada dasarnya
diperbolehkan,tetapi adakalanya perbuatan itu membawa kepada suatu kemafsyadatan,
seperti melihat wanita yang sudah dipinang. Dalam kasus ini menurut Ibnu qoyyim
kemaslahatannya lebih besar dari pada kemafsyadatannya. Oleh sebab itu,
diperbolehkan sesuai kebutuhan.[5]
C.
Kehujjahan ‘Urf dan Dzari’ah
Para ulama’ memandang urf sebagai salah
satu dalil untuk mengistimbatkan hukum islam. Hal ini dapat dilihat dari
beberapa ucapan ulama, misalnya : (adat istiadat itu dapat dijadikan hukum ),(sesuatu
yang telah dikenalkebaikannya oleh urf, itu seperti sesuatu yang di
syariatkan), (sesuatu yang ditetapkan dengan urf itu seperti sesuatu yang
ditetapkan berdasarkan dalil syara’) dan
lain-lain.[6]
Ada juga sebagian ulama’ yang memperkuat
kehujjahan urf dengan dalil alquran dan hadits. Mereka mengemukakan ayat 199
surat Al-A’raf sebagai dalil yang berarti ‘jadilah engkau pemaaf dan suruhlah
orang mengerjakanyang ma’ruf, dan berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh.
Diantara hadis yang di dijadikan dalil
kehujjahan urf adalah hadits yang diriwayatkan jama’ah selain tirmidzi yang
menceritakan kisah pengaaduan hindun perihaal sifat bakhil suaminya Abu sofyan,
dalam pemberian nafkah. Beliau bersabda:
خذيمايكفيكوولدكبالمعروف
Artinya:
Ambillah (dari harta suamimu)kadar yang cukup untukmu dan anakmu menurut ukuran
yang ma’ruf.”
Disamping
dalil diatas, para ulama’ yang menggunakan urf sebagai dalil mengemukakan
beberapa argument kehujjahan urf:
1. Kita mendapati allah meresipir urf-urf
orang arab yang dipandang baik. Seperti diakuinya beberapa system perdagangan
dan perserikatan, baik berupa jual beli, mudharabah,ijarah,salam dan
lain-lainnya.beberapa jenis transaksi tersebut menunjukkan bahwa allah
melestarikan urf shahih yang sesuai dengan kemaslahatan manusia.
2. Urf pada dasarnya berdasarkan pada salah
satu dalil-dalil syara’ yang mu’tabarah, seperti ijma’, maslahah mursalah, dan
sad al-zhara’. Kebolehan istihna’ telah menjadi ijma’ ulama’ dan ijma’ ulama’
adalah dalil yang mu’tabar
3. Para ulama’ dari masa kemasa telah
menggunakan ijma’ sebagai dalil atau hujjah hukum islam.[7]
Tentang
kehujjahan saddu dzari’ah ada beberapa pendapat:
1. Imam malik dan imam Ahmad Ibnu hambal
dikenal sebagai dua orang imam yang memakai saddu Dzari’ah. Oleh karena itu
kedua imam ini menganggap bahwa saddu dzariah dapat menjadi hujjah. Khususnya
imam malik yang dikenal selalu menggunakan didalam menetapkan hukum-hukum syara’.
Imam malik didalam mempergunakan saddu Dzariah sama dengan mempergumakan
masalih mursalah dan urf wal adah.
2. Ulama’ hanafiyyah , syafiiyah dan syiah
menerima saddu dzariah sebagai dalil dalam masalah-masalah tertentu dan
menolaknya dalam kasus-kasus lain.Suatu analisis ilmiah yang mendalam
menyimpulkan dua dasar.
1) Dzari’ah itu dijadikan pegangan apabila
ia menyebabkan kerusakan yang disebutkan nash. Namun, dijadikan qiyas, apabila
membawa kebolehan yang disebut nash. Wajib menutup dzari’ah padayang membawa
kerusakan disebabkan kerusakan itu diketahui nash, begitu juga sebaliknya .maka
dzari’ah disisni ditunjukkan untuk tuntuk kepada nash.
2) Segala yang berhubungan dengan amanat menurut
hukum syari’atnya tidak boleh dicegah karena kadang-kadang menimbulkan khianat.
Bahaya yang diakibatkan oleh dzari’ah lebih banyak dari pada bahaya yang bisa
dihindarkandengan meninggalkan dzari’ah itu.
Dengan demikian maka mukhallaf
wajib benar-benar mengetahui akan bahaya menggunakan atau bahaya
meninggalkan dzari’ah. Merekapun harus menarjihkan diantara
keduanya, kemudian harus mengambil mana yang rajih.[8]
D.
Syarat-syarat Urf
Oleh karena urf bukan merupakan dalil
yang berdiri sendiri, melainkan tergantung oleh dalil asli hukum syara’, maka
ada sejumlah persyaratan yang harus dipenuhi bagi pengguna urf tersebut, yaitu:
1.‘Urf tersebut harus benar-benar kebiasaan
masyarakat.maksutnya kebiasaan orang tertentu dalam masyarakat tidak dapat
dikatakan ‘urf.
2.Urf terebut harus masih berlaku
pada saat hukum yang didasarkan pada ‘urf tersebut ditetapkan. Jika ‘urf telah
berubah, maka hukum tidak dapat dibangun
diatas ‘urf tersebut.
3.Tidak terjadi
kesepakatan untuk tidak memberlakukan ‘urf oleh pihak-pihak yang terlibat
didalamnya.
4.‘Urf tersebut
tidak bertentangan dengan nash atau prinsip-prinsip umum syari’ah.
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Urf menurut bahasa ialah sesuatu yang
dikenal.Menurut istilah ialah segala sesuatau yang telah dikenal dan menjadi
kebiasaan manusia baik berupa ucapan, perbuatan atau tidak melakukan sesuatu.
Dzari’ah menurut etimologi iyalah “jalan
menuju kepada sesuatu.”Ada yang menghususkan pengertian dzari’ah dengan
“sesuatu yang membawa kepada yang dilarang dan mengandung kemudlaratan.
Macam-macam dzari’ah dilihat dari segi
kualitas kemafsyadatannya dibagi menjadi empat yaitu: perbuatan yang dilakukaan
itu membawa kepada kemafsadatan secaracpasti (qath’i), perbuatan yang dilakukan
itu boleh dilakukan karena jarang membawa kepada kemafsadatan, perbuatan yang
dilakukan itu biasanya atau besar kemungkinan membawa kepada kemafsadatan dan
perbuatan itu pada dasarnya boleh dilakukan karena mengandung kemaslahatan
tetapi memungkinkan juga perbuatan itu
membawa kapada kemafsadatan. Dzariah dari segi jenis kemafsadatan yang
ditimbulkan dibagi menjadi dua yaitu: perbuatan itu memawa kepada suatu
kemafsadatan seperti minum minuman keras yang mengakibatkan mabuk, dan mabuk
itua suatu memafsadatan dan perbuatan
itu pada dasarnya perbuatan yang di perbolehkan
atau yang dianjurkan, tetapi dijadikan jalan untuk melakukan sesuatu
perbuatan yang haram, baik dengan tujuan yang disengaja atau tidak.
B.
Saran
Kami
menyadari bahwa pembuatan makalah ini masih banyak terdapat kekurangan. Oleh
karena itu, kritik dan saran yang membangun dari pembaca senantiasa pemakalah
harapkan, yang nantinya dapat dijadikan sebagai usaha perbaikan lebih lanjut.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Sulaiman, Sumber Hukum Islam Permasalahan dan
Fleksibilitasnya, (Jambi: Sinar Grafika, 1995).
Haroen, Nasrun, Ushul
Fiqih I, (Jakarta: Logos Publishing House, 1996).
Suwarjin, Ushul
Fiqih, (Ypgyakarta: teras, 2012).
Uman, Chaerul, Ushul
Fiqih I, (Bandung: Pustaka Setia, 2002).
[1]Suwarjin, Ushul
Fiqih, (Ypgyakarta: teras, 2012), hlm. 148-149.
[2]Nasrun Haroen, Ushul
Fiqih I, (Jakarta: Logos Publishing House, 1996), hlm. 160-162.
[3]Nasrun Haroen, Op.Cit.,
hlm. 172.
[4]Chaerul Uman, Ushul
Fiqih I, (Bandung: Pustaka Setia, 2002), hlm. 160-164.
[5]Nasrun Haroen, Op.Cit.,
hlm. 162-166.
[6]Sulaiman Abdullah, Sumber Hukum Islam Permasalahan dan Fleksibilitasnya, (Jambi: Sinar
Grafika, 1995), hlm.79.
[7]Suwarjin, Op.Cit.,
hlm. 151-153.
[8]Chaerul Uman, Op.Cit.,
hlm. 190-193.