Thursday, November 23, 2017

PEMIKIRAN KALAM TENTANG PERBUATAN TUHAN DAN PERBUATAN MANUSIA
Makalah Disusun Guna Memenuhi Tugas Kelompok
Mata Kuliah Ilmu Tauhid
Dosen pengampu:Muhammad Miftah,M.Pd.I

Disusun Oleh:
Ahmad Rotib                          (1710610059)
Chandri Vidya Sari                (1710610066)
Zuly
Zuly Mar'atul Luthfiyah        (1710610077)



PROGRAM STUDI TADRIS MATEMATIKA
JURUSAN TARBIYAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGRI  KUDUS
2017


BAB I
PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang
Ilmu Tauhid (kalam) merupakan disiplin ilmu keislaman yang mengedepankan pembicaraan tentang persoalan-persoalan kalam Tuhan. Persoalan-persoalan kalam ini biasanya mengarah pada perbincangan yang mendalam dengan dasar argumen-argumen. Baik secara rasional (aqliyah) maupun naqliyah argumentasi rasional yang dimaksud adalah landasan pemahaman yang cenderung menggunakan metode berpikir filosofis. Sedangkan argumentasi naqliyah biasanya berdasar pada argumentasi berupa dalil-dalil Quran dan Hadits.
Dampak dari ilmu kalam ini juga melahirkan banyak aliran banyak perbedaan pemikiran tentang perbuatan-perbuatan Tuhan dan perbuatan-perbuatan manusia. Oleh karena itu mengenai perbedaan ini untuk lebih jelasnya akan di bahas dalam makalah ini.
B.      Rumusan Masalah
1.   Bagaimanakah pemikiran tiap aliran mengenai Perbuatan-perbuatan Tuhan?
2.   Bagaimanakah pemikiran tiap aliran mengenai Perbuatan-perbuatan  Manusia ?
3. Bagaimana hubungan tiap aliran mengenai perbuatan tuhan dan perbuatan manusia?
C.      Tujuan Masalah
1.     Untuk menjelaskan pemikiran tiap aliran mengenai Perbuatan-perbuatan Tuhan
2.     Untuk menjelaskan pemikiran tiap aliran mengenai Perbuatan-perbuatan  Manusia
3.     Untuk menjelaskan hubungan antar aliran mengenai perbuatan tuhan dan perbuatan manusia.
BAB II
PEMBAHASAN


A.      Perbuatan Tuhan.
Semua aliran dalam suatu pemikiran kalam berpendapat bahwasannya tuhan sebagai pencipta, melaksanakan kehendaknya, Tuhan pasti melakukan berbagai perbuatan. Perbuatan disini dipandang sebagai konsekuensi logis dari dzat yang memiliki kemampuan untuk melakukannya. Diantara perbuatan tuhan menurut aliran Mu’tazilah, Asy’ariyah dan Maturidiyah sebagai berikut.
1.   Aliran Mu’tazilah
Aliran Mu’tazilah merupakan aliran kalam yang bercorak rasional.  Aliran Mu’tazilah ini berpendapat bahwa perbuatan tuhan yaitu :
a.    Kewajiban-kewajiban Tuhan terhadap manusia.
Dilihat dari uraian tentang kekuasaan mutlak tuhan dan keadilan tuhan, kaum Mu’tazilah berpendapat bahwa tuhan mempunyai kewajiban-kewajiban terhadap manusia. Kewajiban-kewajiban itu dapat disimpulkan dalam satu kewajiban. Yaitu kewajiban berbuat baik. Namun, tidak berarti bahwa tuhan tidak mampu melakukan perbuatan buruk. Tuhan tidak melakukan perbuatan buruk karena ia mengetahui keburukan dari perbuatan buruk itu.[1] Didalam al-Qur’an telah jelas dikatakan bahwa tuhan tidaklah berbuat zalim. Ayat-ayat Al-Qur’an yang dijadikan dalil oleh aliran Mu’tazilah untuk mendukung pendapatnya adalah Q.S. Al-Anbiya ayat ke 23 yang berbunyi :

لاَ يُسْأ لُ عَماَ يَفْعَلُ وَهُمْ يُسْا لُوْنَ
Artinya : “Ia tidak boleh ditanya tentang apa yang ia lakukan, sedang merekalah yang akan ditanya kelak”.


Dan Surat Ar-Rum 30:8 yang berbunyi :

مَا خَلَقَ السَّموتِ وَالأَرْضَ وَمَا بَيْنَهُمَا اِ لاَّ بِا لْحَقِّ
Artinya : “ Allah tidak menjadikan langit dan bumi dan apa yang ada diantara  keduanya, melainkan dengan tujuan yang benar “
Seorang tokoh yang bernama , Qadi Abd Al-Jabar [2] berpendapat bahwa ayat yang diatas memberi petunjuk bahwa tuhan hanya berbuat baik. Dengan demikian, tuhan tidak perlu ditanya. Maksudnya yaitu : ketika seseorang yang dikenal baik,[3] dan secara nyata berbuat baik, maka tidak perlu ditanya mengapa berbuat baik ?. Sedangkan, ayat yang kedua menurut Al-Jabar , bahwasannya mengandung petunjuk bahwa tuhan tidak pernah dan tidak akan melakukan perbuatan-perbuatan buruk. Andaikata tuhan melakukan perbuatan buruk, maka pernyataan bahwa tuhan menciptakan langit dan bumi serta segala isinya dengan hak, tentulah tidak benar atau berita bohong.
Dalam faham ini, termasuklah juga kewajiban-kewajiban seperti kewajiban tuhan dalam menepati janji-janjinya,[4] kewajiban tuhan mengirim rasul-rasul untuk memberi petunjuk kepada manusia, dan kewajiban tuhan memberi rezeki kepada manusia dan sebaginya.
b.   Berbuat Baik dan Terbaik.
Adanya konsep tentang keadilan tuhan, mendorong kelompok mu’tazilah untuk berpendapat bahwa tuhan mempunyai kewajiban berbuat baik dan terbaik terhadap manusia.
Dalam istilah arabnya berbuat baik dan terbaik bagi manusia disebut ( Al- salah wa al-aslah ).[5] Maksudnya yaitu kewajiban tuhan berbuat baik bahkan yang terbaik bagi manusia. Hal ini memang merupakan salah satu keyakinan yang penting bagi kaum Mu’tazilah.
c.    Beban di Luar Kemampuan Manusia.
Memberi beban di luar kemampuan manusia ( Taklif ma la yutaq ) adalah bertentangan dengan faham berbuat baik dan terbaik. Oleh karena itu kaum Mu’tazilah tidak dapat menerima faham bahwa tuhan dapat memberikan manusia beban yang tak dapat dipikul. Hal ini juga bertentang dengan faham mereka tentang keadilan tuhan. Tuhan akan bersifat tidak adil, kalau ia memberikan beban yang terlalu berat kepada manusia.
d.   Pengiriman Rasul-rasul.
Bagi aliran Mu’tazilah , dengan kepercayaan mereka bahwasannya akal dapat mengetahui hal-hal gaib, sehingga menurutnya pengiriman rasul-rasul tidaklah begitu penting. Namun, mereka memasukkan pengiriman rasul-rasul kepada umat manusia menjadi salah satu kewajiban tuhan.
Argumentasi mereka adalah kondisi akal yang tidak dapat mengetahi setiap apa yang harus diketahui manusia tentang tuhan dan alam gaib. Oleh karena itu , tuhan berkewajiban berbuat yang baik dan terbaik bagi manusia dengan cara mengirim rasul. Tanpa rasul, manusia tidak akan memperoleh hidup baik didunia dan di akhirat nanti.
e.    Janji dan Ancaman.
Dalam pebuatan-perbuatan tuhan termasuk perbuatan menepati janji dan menjalankan ancaman ( Al-wa’d wa al-waid )[6] . Janji dan ancaman merupakan salah satu dari lima dasar kepercayaan aliran Mu’tazilah, hal ini erat hubungannya dengan dasar kedua , yaitu keadilan. Tuhan tidak akan bersifat tidak adil jika tidak menepati janji untuk memberi pahala kepada orang yang berbuat baik, dan menjalankan ancaman terhadap orang yang berbuat jahat.
Menurut Abd Al-Jabar, hal ini akan membuat tuhan mempunyai sifat berdusta. Selanjutnya keadaan menepati janji dan tidak menjalankan ancaman bertentangan dengan maslahat dan kepentingan manusia. Oleh karena itu, menepati janji dan menjalankan ancaman adalah wajib bagi tuhan.

2.     Aliran Asy’ariyah.
a.    Kewajiban-Kewajiban Tuhan Terhadap Manusia.
Menurur aliran Asy’ariyah, faham kewajiban tuhan yang dikatakan oleh aliran Mu’tazilah, tidak dapat diterima karena bertentangan dengan faham kekuasaan dan kehendak mutlak tuhan yang mereka anut. Faham yang mengatakan bahwa tuhan dapat berbuat sekehendak hatinya terhadap makhluk mengandung arti bahwa tuhan tidak mempunyai kewajiban apa-apa.
       Sebagaimana dikatakan Al-Gazali, perbuatan-perbuatan tuhan bersifat tidak wajib ( ja’iz ) dan tidak satupun darinya yang mempunyai sifat wajib.
b.   Berbuat Baik dan Terbaik.
       Hal ini ditegaskan oleh Al-Gazali,[7] ketika mengatakan bahwa tuhan tidak berkewajiban berbuat baik dan terbaik bagi manusia. Dengan demikian, aliran Asy’ariyah tidak menerima faham tuhan mempunyai kewajiban. Tuhan dapat berbuat sekehendak hatinya terhadap makhluknya.
c.    Beban di Luar Kemampuan Manusia.
       Aliran Asy’ariyah, karena percaya pada kekuasaan mutlak tuhan dan berpendapat bahwa tuhan tidak mempunyai kewajiban apa-apa. Aliran Asy’ariyah menerima faham pemberian beban di luar kemampuan manusia. Asy’ariyah sendiri dengan tegas mengatakan dalam al-Luma’,[8] bahwa tuhan dapat meletakkan pada manusia beban yang tidak dapat dipikul. Al-Gazali juga mengatakan demikian  dalam al-Iqtisad.
d.     Pengiriman Rasul-rasul.
       Walaupun pengiriman rasul memiliki arti penting dalam teologi. Namun Aliran Asy’ariyah menolak sebagai kewajiban tuhan. Karena hal itu bertentangan dengan keyakinan mereka bahwa tuhan tidak mempunyai kewajiban apa-apa terhadap manusia. Faham ini dapat membawa akibat yang tidak baik. Sekiranya tuhan tidak mengutus rasul kepada umat manusia, hidup manusia akan mengalami kekacauan.
       Tanpa wahyu manusia tidak dapat membedakan perbuatan baik dan perbuatan buruk, manusia akan berbuat apa saja yang dikehendakinya. Namun, sesuai dengan faham Asy’ariyah tentang kekuasaan dan kehendak mutlak tuhan, hal ini tidak menjadi permasalahan bagi teologi mereka. Tuhan berbuat apa saja yang dikehendakinya. Kalau tuhan menghendaki manusia hidup dalam masyarakat kacau.
e.    Janji dan Ancaman.
       Bagi kaum Asy’ariyah faham ini tidak dapat berjalan sejajar dengan keyakinan mereka tentang kekuasaan dan kehendak mutlak tuhan, dan tentang tidak adanya kewajiban-kewajiban bagi tuhan. Tuhan tidak mempunyai kewajiban menepati janji dan menjalankan ancaman yang tersebut dalam al-Qur’an dan Hadits.
       Tetapi disini timbul persoalan bagi kaum Asy’ariyah,[9] karena dalam al-Qur’an dengan tegas dikatakan bahwa siapa yang berbuat baik akan masuk surga dan siapa yang berbuat jahat akan masuk neraka.
       Untuk mengatasi hal ini,  kata-kata arab man, allazina dan sebagainya yang menggambarkan arti siapa, oleh Asy’ariyah sendiri diberi interpretasi “bukan semua orang, tetapi sebagian “.dengan demikian kata “ siapa” dalam ayat “ Barang siapa menelan harta anak yatim piatu dengan cara tidak adil, maka ia sebenarnya menelan api masuk kedalam perutnya”. Mengandung arti bukan seluruh tetapi sebagian orang yang menelan harta yatim piatu. Yang sebagian akan terlepas dari ancaman atas dasar kekuasaan dan kehendak mutlak tuhan. Dengan interpretasi demikianlah Asy’ariyah mengatasi persoalan wajibnya tuhan menepati janji dan menjalankan ancaman.
3.     Aliran Maturidiyah.
Dalam sejarah pertumbuhan aliran-aliran kalam, dikenal dua subsekte aliran Maturidiyah, yaitu Maturidiyah Samarkand dan Maturidiyah Bukhara. Subsekte yang pertama tumbuh di Samarkand dengan pendirinya Abu Mansur Muhammad bin Muhammad bin Mahmud Al-Maturidi.[10] Adapun subsekte yang kedua lahir Bukhara dengan pendirinya adalah Abu Yasr Muhammad Al-Basdawi.[11]
a.      Kewajiban-kewajiban Tuhan terhadap manusia.
       Dalam pandangan kewajiban-kewajiban tuhan , menurut Maturidiyah Samarkand dan Maturidiyah Bukhara ada perbedaan pendapat yaitu :
       Menurut Maturidiyah Samarkand, yang juga memberikan batas pada kekuasaan dan kehendak mutlak tuhan, berpendapat bahwa perbuatan tuhan hanyalah menyangkut hal-hal yang baik saja, dengan demikian , tuhan mempunyai kewajiban melakukan yang baik bagi manusia.
       Sedangkan menurut, Maturidiyah Bukhara dimana memiliki pandangan yang sama dengan Asy’ariyah mengenai faham bahwa tuhan tidak mempunyai kewajiban . Namun, sebagaimana dijelaskan oleh Badzawi, tuhan pasti menepati janjinya, seperti memberi upah kepada orang yang berbuat baik. Walaupun mungkin saja membatalkan ancaman bagi orang yang berdosa besar.
b.     Berbuat Baik dan Terbaik.
       Kaum Maturidiyah dengan kedua golongannya,[12] tidak sefaham dengan kaum Mu’tazilah. Dimana kaum Mu’tazilah berpendapat bahwasannya tuhan mempunyai kewajiban berbuat baik dan terbaik terhadap manusia.
c.      Beban di Luar Kemampuan Manusia.
       Mengenai memberikan beban diluar kemampuan batas kemampuannya ( Taklif ma la yutaq ), aliran Maturidiyah Bukhara menerimanya. Tuhan, kata Al-Bazdawi, tidaklah mustahil meletakkan kewajiban-kewajiban yang tak dapat dipikulnya atas diri manusia.
       Sedangkan golongan Maturidiyah Samarkand, mengambil posisi yang dekat dengan aliran Mu’tazilah. Menurut Syarh al-Fiqh al Akbar, al-Maturidi Samarkand tidak setuju dengan pendapat kaum Asy’ariyah dalam hal ini, karena al-Qur’an mengatakan bahwa tuhan tidak membebani manusia dengan kewajiban-kewajiban yang tidak terpikul. Pemberian beban yang tidak terpikul memang tidak dapat sejalan dengan faham golongan Samarkand bahwa manusialah sebenarnya yang mewujudkan perbuatan-perbuatannya dan bukan tuhan.
d.     Pengiriman Rasul-rasul.
      Pengiriman rasul dipandang Maturidiyah Samarkand sebagai kewajiban tuhan, kewajiban menepati janji dan pemberian ancaman.
       Aliran Maturidiyah golongan Bukhara sefaham dengan aliran Asy’ariyah. Menurut mereka pengiriman rasul tidaklah bersifat wajib dan hanya bersifat mungkin.
e.      Janji dan Ancaman.
       Kaum Maturidiyah Bukhara dalam hal ini tidak seluruhnya sefaham dengan kaum Asy’ariyah. Dalam pendapat mereka, sebagai dijelaskan oleh al-Bazdawi, tidak mungkin tuhan melanggar janjinya untuk memberi upah kepada orang yang berbuat baik, tetapi sebaliknya bukan tidak mungkin tuhan membatalkan ancaman untuk memberi hukuman kepada orang yang berbuat jahat. Oleh karena itu nasib orang yang berdosa besar ditentukan oleh kehendak mutlak tuhan. Jika tuhan berkehendak untuk memberi ampun kepada orang yang berdosa, tuhan akan memasukkannya bukan kedalam neraka, tetapi kedalam surga, dan jika ia berkehendak untuk memberi hukuman kepadanya tuhan akan memasukkannya kedalam neraka buat sementara atau buat selama-lamanya. Bukan tidak mungkin bahwa tuhan memberi ampun kepada seseorang tetapi dalam hal itu, tidak memberi ampun kepada orang lain sungguhpun dosanya sama.
       Uraian al-Bazdawi di atas mengandung arti bahwa tuhan wajib menepati janji untuk memberi upah kepada yang berbuat baik. Dengan demikian , tuhan, dalam faham al-Bazdawi mempunyai kewajiban terhadap manusia. Pendapat ini berlawanan dengan pendapatnya yang dijelaskan sebelumnya, bahwa tuhan sekali-kali tidak mempunyai kewajiban apa-apa terhadap manusia. Dari sini dapat diketahui bahwa menurut paham al-Bazdawi tuhan boleh saja melanggar janji-janjinya.
       Bagi Maturidiyah golongan Bukhara [13] , tuhan tidak mungkin melanggar janji untuk memberi upah kepada orang yang berbuat baik.
Kontradiksi yang terdapat dalam pendapat al-Bazdawi ini mungkin timbul dari keinginannya untuk mempertahankan kekuasaan dan kehendak mutlak tuhan, tetapi dalam hal itu ingin pula mempertahankan keadilan tuhan. Mengatakan bahwa tuhan dapat memasukkan orang yang berbuat baik kedalam neraka, adalah bertentangan sekali dengan rasa keadilan, tetapi mengatakan bahwa tuhan dapat memasukkan orang yang berbuat jahat kedalam surga , tidaklah bertentangan dengan rahmat tuhan.
B.      Perbuatan Manusia
    Akar masalah pebuatan manusia adalah keyakinan bahwa Tuhan adalah pencipta alam semesta, termasuk di dalamnya manusia sendiri. Tuhan bersifat maha kuasa dan mempunyai kehendak yang bersifat mutlak, dari sini timbulah pernyataan sampai di manakah manusia sebagai ciptaan Tuhan bergantung kepada kekuasaan Tuhan dalam menentukan perjalanan hidupnya?
    Berikut ini merupakan perbuatan-perbuatan manusia menurut aliran Mu’tazilah, Asy’ariyah dan Maturidiyah.
1.     Aliran Mu’tazilah
       Aliran Mu’tazilah memandang manusia mempnyai daya yang besar dan bebas. Oleh karena itu, mu’tazilah menganut faham Qadariyah atau free will. Menurut al-juba’i dan abd al-jubraa, manusialah yang menciptakan perbuatan-perbuatannya. Manusia sendirilah yang berbuat baik dan buruk. Kepatuhan terhadap Tuhan dan ketaatan seseorang kepada Tuhan adalah atas kehendak dan kemauannya sendiri. Daya (al-sititha’ah) untuk mewujudkan kehendak terdapat dalam diri manusia sebelum adanya perbuatan.
       Perbuatan manusia bukanlah di ciptakan Tuhan pada diri manusia, tetapi manusia sendirilah yang mewujudkan perbuatannya. Lantas bagaimana dengan daya? Mu’tazilah dengan tegas menyatakan bahwa daya juga berasal dari manusia. Daya yang terdapat pada diri manusia adalah tempat terciptanya perbuatan. Jadi, Tuhan tidak dilibatkan dalam perbuatan manusia. Aliran Mu’tazilah mengecam keras faham yang mengatakan bahwa Tuhanlah yang menciptakan perbutan. Bagaimana mungkin, dalam satu perbuatan akan ada dua daya yang menentukan?
       Dengan faham ini, aliran Mu’tazilah mengaku Tuhan sebagai pencipta awal, sedangkan manusia berperan sebagai pihak yang berkreasi untuk mengubah bentuknya.
       Meskipun berpendapat bahwa Allah tidak menciptakan perbuatan manusia dan tidak pula menentukanya, kalangan Mu’tazilah tidak mengingkari ilmu azalai Allah yang mengetahui segala apa yang membedakannya dari penganut qadariyah murni.
       Untuk membela fahamnya, aliran Mu’tazilah mengungkapkan dalam Al Quran Surat As-Sajdah ayat 7 yang berarti: yang membuat segala sesuatu yang di ciptakan sebaik-baiknya (Q.S As-Sajdah :7)
       Yang di maksud oleh ayat di atas, adalah semua perbuatan Tuhan adalah baik. Dengan demikian, perbuatan manusia bukanlah perbuatan Tuhan, karena di antara perbuatan manusia terdapat perbuatan jahat. Dalil ini di kemukakan untuk mempertegas bahwa manusia akan mendapat balasan atas perbuatannya. Sekiranya perbuatan manusia adalah perbuatan Tuhan, balasan dari Tuhan tidak akan ada artinya.
       Disamping argumentasi anqilah di atas, aliran Mu’tazilah mengemukakan argumentasi rasional berikut ini.
a.      Kalau Allah menciptakan perbuatan manusia, sedangkan manusia sendiri tidak mempunyai perbuatan, batAllah taklif syar’i. Hal ini karena syariat adalah ungkapan perintah dan larangan yang merupakan thalab. Tidak terlepas dari kemampuan, kebebasan, dan pilihan.
b.     Kalau manusia tidak bebas untuk melakukan perbuatannya, runtuhlah teori pahala dan hukuman yang muncul dari konsep faham al-wa’d wa al-wa’id (janji dan ancaman). Hal ini karena perbuatan ini menjadi tidak dapat di sandarkan kepadanya secara mutlak sehingga berkonsekuensi pujian atau celaan.
c.      Kalau manusia tidak mempunyai kebebasan dan pilihan, pengutusan para nabi tidak ada gunanya sama sekali. Bukankah tujuan pengutusan itu adalah dakwah dan dakwah harus dibarengi kebebasan pilihan?
       Konsekuensi lain dari faham di atas, Mu’tazilah berpendapat bahwa manusia terlibat dalam penentuan ajal kerena ajal itu ada dua macam, pertama, adalah al-ajal ath-thabi’i ajal inilah yang di pandang Mu’tazilah sebagai kekuasaan mutlak Tuhan untuk menentukannya. Adapun jenis yang kedua adalah ajal yang dibikin manusia itu sendiri, minsalnya membunuh seseorang atau bunuh diri di tiang gantungan, atau minum racun. Ajal yang ini dapat dipercepat dan diperlambat.
2.     Aliran Asy’ariyah
      Keadilan Tuhan mengandung arti bahwa Tuhan mempunyai kekuasaan mutlak terhadap makhluk-Nya dan dapat berbuat sekehendak hati-Nya. Tuhan dapat memberi pahala kepada hamba-Nya atau sebaliknya memberi siksa dengan sekehendak hati-Nya dan itu semua adil bagi Tuhan karena Dia penguasa Mutlak.
Aliran Asy’ariyah berpendapat bahwa manusia berada dalam posisi yang lemah. Ia diibaratkan seperti anak kecil yang tidak punya pilihan dalam hidupnya. Oleh karena itu, aliran ini lebih dekat kepada paham Jabariyah daripada paham Mu’tazilah. Argumen yang diajukan oleh Asy’ari untuk membela keyakinannya adalah
                                                                وَاللَّهُ خَلَقَكُمْ وَمَا تَعْمَلُونَ                   
Artinya: “Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu” (Q.S. Ash-Shaffaat(37):96)
Wa ma ta’maluun pada ayat diatas diartikan Al-Asy’ari dengan apa yang kamu perbuat dan bukan apa yang kamu buat.  Al-Asy`ari juga menjelaskan bahwa Tuhan tidak tunduk kepada siapapun dan tidak satu dzat lain di atas Tuhan yang dapat membuat hukum serta menentukan apa yang boleh di buat dan apa yang tidak boleh di buat Tuhan malah lebih jauh dikatakan oleh Asyari kalau memang Tuhan menginginkan, ia dapat saja meletakkan beban yang tak terpikul oleh manusia.
Menurut faham Asy’ariyah, perbuatan manusia pada hakikatnya adalah perbuatan tuhan dan diwujudkan dengan daya tuhan dan bukan daya manusia. Dengan demikian, manusia dapat melaksanakan beban yang tidak dapat dipikul , karena yang mewujudkan perbuatan manusia bukanlah daya manusia yang terbatas, tetapi daya tuhan yang tidak terbatas.
3.     Aliran Maturidiyah
      Ada perdebatan antara maturidiyah samarkand dan maturidiyah bukhara mengenai perbuatan manusia. Kelompok samarkand lebih dekat dengan faham Mu’tazilah, sedangkan kelompok bukhara lebih dekat dengan faham asy’ariyah. Kehedak dan daya berbuat pada diri manusia menurut maturidiyah samarkand adalah kehendak dan daya manusia dalam arti kata sebenarnya, dan bukan dalam arti kiasan.[14]Perbedaannya dengan Mu’tazilah adalah bahwa daya untuk berbuat tidak diciptakan sebelumnya, tetapi bersama-sama dengan perbuatannya. Daya yang demikian porsinya lebih kecil dari pada daya yang terdapat dalam faham Mu’tazilah. Oleh karena itu, manusia dalam faham al-marturidi, tidaklah sebebas manusia dalam Mu’tazilah.
Maturidiyah bukhara dalam banyak hal sependapat dengan maturidiyah samarkand. Hanya saja golongan ini memberikan tambahan dalam masalah daya. Menurutnya untuk perwujudan perbuatan, perlu ada dua daya. Manusia tidak mempunyai daya untuk melakukan perbuatan, hanya Tuhanlah yang dapat melakukan perbuatan yang telah diciptakan tuhan baginya.

C.    Hubungan antar aliran tentang perbuatan Tuhan dan perbuatan Manusia
             Aliran Asy’ariyah muncul sebagai reaksi pertentangan terhadap Aliran Mu’tazilah. Dalam banyak hal, Aliran Asy’ariyah menolak faham yang dikemukakan oleh Mu’tazilah. Dilain pihak muncul Aliran Maturidiyah yang terbagi menjadi 2 golongan, Samarkand dan Bukhara. Golongan ini juga berbeda pendapat tentang beberapa hal, Maturidiyah  Samarkand cenderung sependapat dengan Aliran Mu’tazilah, sedangkan Maturidiyah Bukhara cenderung sefaham dengan Aliran Asy’ ariyah.

BAB III
PENUTUP

A.           Kesimpulan.
Perbuatan Tuhan menurut Aliran Mu’tazilah, Aliran Asy’ariyah, Aliran Maturidiyah:
a.      Kewajiban-kewajiban Tuhan terhadap manusia.
Aliran
b.     Berbuat Baik dan Terbaik.
c.      Beban di Luar Kemampuan Manusia.
d.     Pengiriman Rasul-rasul.
e.      Janji dan ancaman
Perbuatan Manusia menurut Aliran Mu’tazilah, Aliran Asy’ariyah, Aliran Maturidiyah sebagai berikut
1.     Aliran Mu’tazilah
Perbuatan manusia bukanlah di ciptakan Tuhan pada diri manusia, tetapi manusia sendirilah yang mewujudkan perbuatannya.
2.     Aliran Asy’ariyah
Perbuatan manusia pada hakikatnya adalah perbuatan tuhan, karena yang mewujudkan perbuatan manusia bukanlah daya manusia yang terbatas, tetapi daya tuhan yang tidak terbatas.
3.     Aliran Maturidiyah
Maturidiyah bukhara dalam banyak hal sependapat dengan maturidiyah samarkand. Hanya saja Maturidiyah bukhara memberikan tambahan dalam masalah daya.

DAFTAR PUSTAKA
Rosihon, Anwar , Ilmu Kalam,  Bandung: CV Pustaka Setia, 2009.
Nasution, Harun, Teologi Islam, Jakarta: UI Press, 1986.
Ahmad, Muhammad,  Tauhid Ilmu Kalam, Bandung: Setia Pustaka, 1998.
Mushaf Al-Huffaz, Al-qur’an hafalan dan terjemahan.






[1] Anwar Rosihon, ILMU KALAM, ( Bandung: CV Pustaka Setia, 2009), hlm. 154.
[2] Dalam kitab “Mutasyabih al-Qur’an”, disebutkan nama lengkap al-Jabar ibn Ahmad ibn’Abd al-Jabbar ibn Ahmad ibn al-Khalil ibn’Abd Allah al-Hamzani al-Asadabi, namun lebih dikenal dengan nama Al-Qadi ‘Abd al-Jabbar, tahun kelahirannya hanya diperkirakan antara 320-325 dan wafat dikota Ray pada tahun 415 H.
[3] Op.cit.
[4] Harun Nasution, Teologi Islam (Jakarta:UI-Press, 1986), hlm.128.
[5]  Ibid, hlm. 129.
[6] Ibid, hlm132.
[7] Muhammad Ahmad, Tauhid Ilmu Kalam (Bandung:Setia Pustaka, 1998), hlm, 183
[8] Op.Cit.
[9] Ibid, hlm. 33.
[10] Muhammad bin Muhammad Abu Mansur Al-Maturidi, ia dilahirkan disebuah kota yang bernama maturid didaerah samarqand, pada tahun 853 M, dan meninggal pada tahun 333 H /944 M.
[11] Abu Yars Muhammad Al Bazdawi yang lahir pada tahun 421 H, dan meninggal pada tahun 493 H.
[12] Loc.Cit
[13] Op.Cit.
[14] Ibid, hlm. 112